(Panjimas.com)- Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam memberikan tarbiyah kepada para sahabatnya, sementara Al Qur’an masih turun kepadanya. Beliau mengajarkan kepada para sahabat agar menghormati keawalan ahlus sabiqah. Al Qur’an telah menyatakan atas hal ini, sebagaimana yang tertuang dalam ayat berikut:
“Tidaklah sama diantara kalian, orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum pemaklukkan (Makkah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik”. (Qs. Al Hadid: 10).
Tak mungkin bagi Khalid bin Walid Rodhiyallohu ‘anhu naik sampai kedudukan Abu Bakar ash Shiddiq, meskipun Khalid dengan pedangnya mempunyai andil yang besar terhadap keruntuhan singgasana Kisra dan Kaisar (Persia dan Romawi).
Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam tidak menyamakan antara orang-orang yang dibebaskan pada Futuh Makkah dengan para Muhajirin yang awal. Bahkan Rabbul ‘Izzati tidak mempersamakan antara mereka. Allah Ta’ala berfirman tentang thabaqah (tingkatan) golongan Muhajirin dan golongan Anshar:
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar”. (Qs. At Taubah: 100).
Pada waktu Abu Bakar berselisih dengan Umar maka Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam berkata dengan marah, “Mengapa engkau tidak biarkan sahabatku! Mengapa engkau tidak biarkan sahabatku! Mengapa engkau tidak biarkan sahabatku!” Yang dimaksud sahabatku adalah Abu Bakar.
Pada waktu Abu Bakar agak terlambat memulai shalat ketika Rosululloh sedang sakit keras. Salah seorang hadirin berkata kepada Umar, “Mengapa engkau tidak maju dan mengimami orang-orang?” Tatkala Rosululloh Shollalohu ‘alaihi wa sallam mendengar suara tapi bukan suara Abu Bakar, maka beliau berkata, “Siapa yang mengimami orang-orang?” Mereka menjawab, “Umar!” Lalu beliau bersabda, “Alloh dan Rosul-Nya menolak hal tersebut! Alloh dan Rosul-Nya menolak hal tersebut! Hendaknya Abu Bakar yang mengimami shalat orang-orang”.
Tatkala Abdurrahman bin ‘Auf berselisih dengan Khalid bin Walid, lalu Khalid mencela Abdurrahman bin ‘Auf, maka Rosululloh murka dan menegur Khalid:
“Janganlah kalian mencaci para sahabatku –padahal Khalid juga sahabatnya-. Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, seandainya salah seorang di antara kalian berinfak emas semisal gunung Uhud, niscaya tidak akan mencapai (pahalanya) satu Mud (dari infak) seorang diantara mereka ataupun setengahnya”.
Dengan demikian, seseorang memperoleh kehormatan karena keawalannya dalam Islam. Seseorang memperoleh kehormatan karena hijrahnya, bahkan sampai dalam penguburan mayatnya. Adalah Rosululloh pada peperangan Uhud mendahulukan mengubur sahabat yang lebih banyak hafalan Qur’annya:
Beliau bersabda:
“Supaya mengimami shalat orang-orang yang paling fasih membaca Kitabulloh, jika tidak, maka diantara mereka yang paling mengerti dengan sunnah Rosululloh, jika tidak, maka siapa di antara mereka yang paling dahulu berhijrah”
Yang paling dahulu berhijrah diantara mereka apabila dalam hal pengetahuan mereka atas Kitabulloh dan Sunnah Rosul-Nya sama.
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam wafat, sementara beliau telah menjadikan as sabiqunal awwalun sebagai sahabat-sahabat kepercayaannya. Kesepuluh sahabat yang berada di sekelilingnya pada permulaan dakwah adalah mereka yang dijanjikan masuk Jannah. Tidak berpengaruh kesalahan terhadap perjalanan seseorang diantara mereka, Sehingga ketika Umar hampir mangkat, maka ia mencalonkan mereka sebagai khalifah penggantinya.
Umar berwasiat: “Sesungguhnya saya –sebagaimana kata Umar- mencalonkan kepada kalian enam orang yang mana ketika Rasulullah saw wafat, maka beliau dalam keadaan ridha atas mereka”. Lalu umar menyebut keenam sahabat yang dijanjikan masuk Jannah oleh Rosululloh. Mereka adalah enam orang yang paling dahulu keislamannya dan yang paling dahulu hijrahnya.
Adalah Rosululloh saat beliau memimpin perjalanan dakwah, maka beliau mengajarkan kepada kita bahwa kebaikan yang banyak dapat menutupi kesalahan-kesalahan yang kecil.
Beliau bersabda:
“Maafkanlah orang-orang yang memiliki jasa besar dari kesalahan mereka. Demi dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sesungguhnya salah seorang diantara mereka tergelincir (dalam kesalahan) namun tangannya di tangan Ar Rahman”.
Ibnul Qayyim menetapkan suatu kaidah, sehubungan dengan hadits di atas:
“Seseorang apabila banyak kebajikannya dan kebaikannya dalam masyarakat, maka ia diberi pengampunan, dimana hal itu tidak diberikan pada yang lain, dan tidak dihiraukan sebagian kesalahan-kesalahan yang ia lakukan, hal mana tidak berlaku bagi yang lain”.
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Apabila volume air mencapai kadar dua qullah*, maka air tersebut tidak mengandung kotoran”.
* Dua qullah adalah volume air sebanyak kurang lebih 60 cm3.
Air yang banyak, apabila kemasukan najis kecil di dalamnya, maka najis tersebut tidak mempengaruhi kesuciannya. Demikian pula halnya seseorang apabila banyak kebajikannya, maka sebagian kesalahan-kesalahan kecilnya tidak dipandang atau tidak dihiraukan. Kesalahan-kesalahan kecil tersebut akan tenggelam dalam lautan kebajikannya.
Oleh karenanya, tatkala Umar meradang terhadap Hathib bin Abi Balta’ah, yang telah melakukan tindak pengkhianatan besar, membocorkan rahasia Rosululloh yang akan berencana menyerang Makkah dengan mengirim surat kepada kaum kafir Quraisy. Umar berkata memohon idzin kepada Rosululloh, “Wahai Rosululloh, perkenankanlah saya memenggal lehernya, karena sesungguhnya dia telah menjadi munafik”. Ternyata beliau melarangnya, dan mengajarkan kepada mereka kaedah ini:
“Tidakkah engkau tahu hai Umar, sesungguhnya dia ikut dalam Perang Badr Boleh jadi Alloh telah melihat hati para ahli Badr, lalu dia berfirman: “Berbuatlah sekehendak kalian, karena sesungguhnya Aku telah mengampuni kalian”.
Dikutip dari Tarbiyyah Jihadiyyah karya Assyahid Abdulloh ‘Azzam -Rohimahulloh-.
[Nzal]