(Panjimas.com) – Bismillah.. Alhamdulillahi robbil ‘aalamin… Shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada Nabi kita, Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Pada tahun 1981 diriku terlahir ke dunia dari sebuah keluarga yang sederhana. Ayahku adalah seorang pegawai negeri sipil (PNS) dinas pendapatan daerah (Dispenda). Beliau beragama dalam KTP beragama Islam dengan sebuah faham “keyakinan” saja, atau menganut paham Murjiah. Sedangkan ibuku dari kalangan keluarga Nashrani (Kristen).
Maka ketika aku lahir, mereka memberikan nama kepadaku dengan nama yang berbau Kristen, yaitu Iwan Kristiana. Namun akhirnya aku memilih untuk memeluk agama Islam, dan mengganti namaku dengan nama Umar Al Faruq.
Dari perkawinan orang tuaku yang menyimpang dari Syari’at Islam tersebut, pada akhirnya seluruh anggota keluargaku, baik kakak maupun adikku semua nama belakangnya berbau KRISTEN. Kami tinggal dan hidup di Surabaya Barat yang terkenal kerusakannya pada sisi lingkungannya, termasuk disitulah tempat lokalisasi (perzinahan –red) terbesar di Asia, yaitu tempat lokalisasi Gang Dolly, yang sekarang telah dibubarkan oleh Pemkot Surabaya, Alhamdulillah.
Pada saat usiaku menginjak kelas 5 SD, ayahku meninggal lantaran sakit. Sepeninggal kematian ayahku, praktis tinggal ibuku yang membanting tulang demi mencukupi kebutuhan sehari-hari, disamping mengharapkan pensiunan dari kmatian ayahku.
Pada saat itulah pengawasan orang tuaku terhadap anak-anak mulai kendor dan teledor, sehingga sangat mudah sekali aku ikut-ikutan pada gaya lingkunganku yang pada saat itu memang terkenal dengan lingkungan yang tidak baik. Sampai pada akhirnya, seteah lulus SMA, aku sudah gak asing lagi dengan yang namanya Narkoba. Dan hampir setiap hari aku mengkomsumsinya. Sampai pada akhirnya, yakni tahun 2000 aku tertangkap membawa 1 paket narkoba yang menyebabkan aku harus mendekam di Rutan selama 8 bulan.
Sebebas dari Rutan ternyata tidak membuatku jera, akan tetapi malah semakin menjadi-jadi. Bahkan, dari sisi nilai wibawa di masyarakat tambah semakin “WAW” saja. “Inilah aku mantan narapidana” hehe.. Mungkin seperti itulah perasaanku saat itu.
Dengan modal pernah masuk penjara dan di tambah lagi pergaulan di dalam penjara yang mayoritas adalah para perampok, akhirnya pergaulan di dalam penjara di lanjut sampai diluar penjara, ujung-ujungnya adalah sejumlah rumah mewah bukanlah hal yang biasa lagi jika aku dan komplotanku berhasil membobolnya.
Dengan hidup serba kemewahan dari hasil yang haram tersebut membuatku banyak mempunyai teman dari kalangan preman dan perampok. Sampai pada akhirnya, area jalanan perumahan Manukan tempat tinggalku telah aku kuasai dari segi keamanannya. Dan mereka, para penghuni kios harus menyetor uang keamanan kepadaku sebesar 150 ribu per kios atau toko.
Pada saat itu tahun 2001. Dan jika diantara mereka ada yang telat membayarnya, maka aku dan komplotanku gak segan-segan memukuli pemiliknya dan bahkan sempat ada yang aku bakar kiosnya lantaran tidak mau membayar dan menyetor uang keamanan kepadaku.
Waktu berlalu tak terasa, tingkat kejahatanku dan komplotanku sudah pada taraf perampokan Nasabah bank, dimana ada kesempatan dan iming-iming hasil yang menggiurkan, maka akan kami “SIKAT”. Sampai pada puncak terakhir, kami merampok uang setoran Bank Jatim yang mengakibatkan seorang security-nya mampus kami DOOR, dan gak berselang lama kami pun buron. Akhirnya satu persatu dari kami pun tertangkap. Tapi naas bagi partnerku yang tewas satu orang di berondong timah panas polisi saat penangkapan.
Pasca itulah vonis mati kemudian menanti diriku. Namun ternyata aku di vonis seumur hidup sebelum akhirnya Kasasiku diterima MA (Mahkamah Agung –red) menjadi 20 tahun kurungan penjara. Dengan beban 20 tahun penjara itulah hidupku didalam penjara Rutan Medaeng yang serba surganya penjara makin gak terkontrol, dan bahkan tidak ada kebaikan sedikitpun. Dan intinya adalah maksiat terus sehari-harinya.
Akhirnya aku di pindahkan ke Lapas Surabaya (SBY) yang dahulu terkenal kering merontang dari sisi penghasilan. Dan saat itu aku di tempatkan satu kamar yang mana dikamar tersebut terdapat napi kasus “teroris” (Pemerintah Indonesia menyebutnya begitu, namun kalau kami menyebut mereka sebagai mujahidin) yang menjadi imam shalat dikamar tersebut.
Bermula dari bertempat di kamar tersebutlah, awal dimana Allah SWT memberiku hidayah mengenal Islam yang haq (benar dan lurus –red) dan sejati Islam yang tidak pernah aku pelajari semenjak memeluk Islam. Dari kamar itu aku mulai dibimbing napi ‘teroris” tersebut untuk memahami hakikat tujuan hidup di dunia ini, yaitu dengan Men-Tauhidkan Allah.
Alhamdulillah, sedikit demi sedikit aku mulai faham tentang ajaran Syari’at Islam dengan benar dan mengenal Allah lebih dekat dengan ketaatan dan bisa menjadi seorang mukmin yang bersyukur, dan bersabar dalam setiap keadaan. Dengan bekal ilmu yang aku miliki inilah, alhamdulillah aku bisa meng-Islamkan ibuku pada akhir-akhir hidupnya sampai pada akhirnya beliau meninggal dalam keadaan Islam, insya Allah walhamdulillah.
Kini diriku tidaklah di Lapas SBY lagi, melainkan sudah dipindahkan di Pulau Nusakambangan Cilacap Jateng. Disinilah pondasi tauhid aku bisa semakin kokoh lantaran Allah SWT mengumpulkan aku dengan para ustadz-ustadz yang sama-sama menyeru kepada ajaran yang sama seperti saat aku berada di Lapas SBY, yaitu ajaran Tauhid atau aqidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah, yakni golongan yang berpegang teguh terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman Salafush Shalih..
Alhamdulillah, kemaksiatan-kemaksiatan yang dahulu merajai hatiku, kini telah musnah dan rasa takut akan adzab yang merajai hatiku sekarang ini berangsur-angsur mulai hilang. Perkara-perkara yang haram telah aku talaq tiga untuk aku tinggalkan atas izin Allah.
Aktivitas-aktivitas yang dulu tidak bermanfaat, sekarang berganti menjadi aktivitas-aktivitas yang lebih bermanfaat dari sisi ibadah kepada Allah SWT. Contohnya adalah sampai ukuran tetes air mata saja bisa mnjadi sebab mendapatkan naungan dari Allah SWT dihari kiamat kelak..
Aku bersyukur berada dipenjara sebagai perantara turunnya hidayah dari Allah SWT kepadaku. Dan dari penjara ini pula, aku bisa memahami Syari’at Islam dengan benar dan bisa terealisasikan dalam kehidupanku saat ini sebagai seorang mukmin yang sejati melalui perantara ustadz-ustadz yang disebut sebagai “teroris” oleh Pemerintah Indonesia itu..
Semoga kisah ini bermanfaat, dan bisa memberi ibrah bagi kawan-kawanku kaum Muslimin semuanya yang masih berkubang dalam kemaksiatan dan kemungkaran, agar segera bertaubat dan kembali menapaki jalan Allah SWT untuk memperjuangkan agama-Nya. Hanya Allah yang memberi taufiq dan hidayah. [Edt; GA]