PANJIMAS.COM – Allahu akbar, Segala puji bagi Allah Ta’ala yang telah melegakkan hati kaum mukminin dan memberikan pelipur lara hati kaum muslimin, dengan tewasnya 11 penghina Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ya, menghina Rasulullah tidak seperti menghina manusia lainnya, menghina Rasulullah sama saja dengan menghina Allah sebagai Dzat yang mengutusnya, dan juga berarti menghina Islam karena untuk menyampaikan risalah in beliau diutus.
Maka berdasarkan dalil-dalil qath’I dari Al-Quran dan As-Sunnah, para pencela Rasulullah adalah kafir murtad, Jika demikian, sangat wajar apabila umat Islam bangkit berdiri memprotes dan melawan para pencela Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Allah Ta’ala berfirman:
وَإِنْ نَكَثُوا أَيْمَانَهُمْ مِنْ بَعْدِ عَهْدِهِمْ وَطَعَنُوا فِي دِينِكُمْ فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ إِنَّهُمْ لَا أَيْمَانَ لَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَنْتَهُونَ
“Jika mereka merusak sumpah (janji)-nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti.” (QS. At-Taubah: 12)
Dalam ayat di atas, Allah menyebut orang yang mencerca agama sebagai gembong kekafiran. Tentu saja predikat ini lebih buruk dari sekedar kekafiran belaka.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah menjuluki mereka sebagai gembong kekafiran dikarenakan cercaan mereka terhadap agama. Maka pastilah, bahwa setiap orang yang mencerca agama adalah gembong kekafiran.” (Ash-Sharimul Maslul, Ibnu Taimiyyah, hlm. 17, 512, 546) –
Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan dalam tafsirnya, “dari ayat ini diambil dasar hujjah (argumentasi) untuk membunuh orang yang mencerca Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam, atau orang yang mencerca agama Islam atau mencelanya.”
Adapun dalam As-Sunnah, dari Ibnu Abbas radiallahu ‘anhuma.
أَنَّ أَعْمَى كَانَتْ لَهُ أُمُّ وَلَدٍ تَشْتُمُ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَتَقَعُ فِيهِ فَيَنْهَاهَا، فَلَا تَنْتَهِي فَلَمَّا كَانَ ذَاتَ لَيْلَةٍ أَخَذَ الْمِعْوَلَ فَجَعَلَهُ فِي بَطْنِهَا وَاتَّكَأَ عَلَيْهِ فَقَتَلَهَا فَبَلَغَ ذَلِكَ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، فَقَالَ أَلَا اشْهَدُوا، فَإِنَّ دَمَهَا هَدَرٌ.
“Ada seorang buta mempunyai ummu walad (budak perempuan yang memiliki anak dari majikannya) yang selalu memaki dan mencela Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lelaki tadi melarangnya namun tidak berhenti , maka pada suatu malam, orang buta tadi mengambil edang tipis, lalu ia letakkan diatas perut budak tadi, maka ia menindihnya dan tewaslah budak tadi, maka ketika berita itu sampai kepada Rasulullah, beliau bersabda, “”Saksikanlah oleh kalian semua bahwa darahnya tumpah sia-sia.” (HR. Abu Dawud dan para perawinya tsiqat).
Imam Shan’ahi mengatakan bahwa hadits ini dalil bahwa penghina Rasulullah dibunuh, dan darahnya sia-sia. (Subulussalam 2/384)
Muadz dan Muawidz bin Afra’, 2 remaja eksekutor Abu Jahal
Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu. seperti yang terdapat di dalam Shahih Al-Bukhari, menggambarkan sikap dan tindakan yang sangat ajaib dari kedua pemuda pemberani ini! Abdurrahman bin Auf menuturkan,
“Pada perang Badar, saya berada di tengah-tengah barisan para Mujahidin. Ketika saya menoleh, ternyata di sebelah kiri dan kanan saya ada dua orang anak muda belia- usia antar 12-14 tahun-. Seolah-olah saya tidak bisa menjamin mereka akan selamat dalam posisi itu.”
Kedua pemuda belia itu adalah Muadz bin Amr bin Jamuh dan Muawwidz bin Afra’ Radhiallahu ‘anhuma. Abdurrahman bin Auf sangat heran melihat keberadaan kedua anak muda belia ini di dalam sebuah peperangan yang sangat berbahaya seperti perang Badar. Abdurrahman merasa khawatir mereka tak akan mendapatkan bantuan atau pertolongan dari orang-orang di sekitar mereka berdua, disebabkan usia keduanya yang masih muda.
Beliau melanjutkan kisahnya dengan penuh takjub,
“Tiba-tiba salah seorang dari kedua pemuda ini berbisik kepada saya, ‘Wahai Paman, manakah yang bernama Abu Jahal?” Pemuda yang mengatakan hal ini adalah Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu Ia berasal dari kalangan Anshar dan dirinya belum pernah melihat Abu Jahal sebelumnya. Pertanyaan mengenai komandan pasukan kaum musyrikin, sang lalim penuh durjana di Kota Mekkah dan “Fir’aun umat ini”, menarik perhatian Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu. Lantas ia pun bertanya kepada anak muda belia tadi, “Wahai anak saudaraku, apa yang hendak kamu lakukan terhadapnya?”
Sang pemuda belia itu menjawab dengan jawaban yang membuat Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘anhu tak habis pikir! Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Saya mendapat berita bahwa ia adalah orang yang pernah mencaci maki Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demi Allah yang jiwa saya dalam genggaman-Nya! Jika saya melihatnya, pupil mata saya tidak akan berkedip memandang matanya hingga salah seorang di antara kami terlebih dahulu meninggal.”
Abdurrahman bin Auf menuturkan, “Seorang pemuda belia yang lain (Muawwidz bin Afra’ Radhiyallahu ‘anhu) menghentak saya dan mengatakan hal yang serupa.” Lalu Abdrurahman melanjutkan kisahnya, “Tiba-tiba saja saya melihat Abu Jahal berjalan di tengah-tengah kerumunan orang ramai. Saya berkata, “Tidakkah kalian melihat orang itu ia adalah orang yang baru saja kalian tanyakan kepadaku!”
Melihat Abu Jahal, darah amarah kedua pahlawan belia ini pun membara. Tekad bulat mereka semakin mantap untuk merealisasikan tugas yang sangat mulia, yang senantiasa bergeliat dalam mimpi dan benak pikiran meraka.
Sekarang, mari kita simak bersama penuturan Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu ketika ia menggambarkan situasi yang sangat menakjubkan tersebut, seperti yang terdapat dalam riwayat Ibnu Ishaq dan di dalam kitab Ath-Thabaqat karya Ibnu Sa’ad.
Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Saya mendengar kaum musyrikin mengatakan, ‘tidak seorang pun dari pasukan kaum muslimin yang dapat menyentuh Al-Hakam (Abu Jahal)’.” Saat itu, Abu Jahal berada di tengah-tengah kawalan ketat laksana pohon yang rindang.
Abu Jahal, sang komandan terkemuka dari bangsa Quraisy datang dalam iring-iringan para algojo dan orang-orang kuat laksana hutan lebat. Mereka melindungi dan membelanya. Ia adalah simbol kekufuran dan komandan pasukan perang, sehingga sudah pasti jika pasukan batalyon terkuat di kota Mekkah dikerahkan untuk melindungi dan membelanya.
Di samping itu, kaum musyrikin juga saling menyerukan, “Waspadalah, jangan sampai pemimpin dan komandan kita (Abu Jahal) terbunuh!” Mereka mengatakan, “Tidak seorang pun musuh yang dapat menyentuh Abul-Hakam (Abu Jahal)!”
Meskipun Abu Jahal dilindungi sedemikian rupa dan pengawalannya begitu ketat, namun hal itu tak menghalangi Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu untuk tetap membulatkan tekadnya, melaksanakan tugasnya, serta merealisasikan cita-cita suci di dalam hidupnya.
Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Ketika saya mendengarkan perkataan itu, saya pun semakin membulatkan tekad. Saya memfokuskan diri untuk mendekatinya. Ketika tiba waktunya, saya langsung menghampirinya dan memukulkan pedang kepadanya hingga setengah kakinya (betis) terputus.”
Subhanallah! Hanya satu sabetan pedang dari tangan anak muda belia ini, betis seorang lelaki (Abu Jahal) putus dalam sekejap.
Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Pada perang itu (Badar), anaknya (Abu Jahal), Ikrimah -pada waktu itu ia masih musyrik – menebas lengan saya dengan pedangnya hingga hampir terputus dan hanya bergantung pada kulitnya saja.”
Muadz bin Amr bin Jamuh Radhiyallahu ‘anhu melanjutkan kisahnya,
“Pada hari itu, saya benar-benar berperang seharian penuh. Tangan saya yang hampir putus itu hanya bergelantungan di belakang. Dan ketika ia menyulitkan saya, saya pun menginjaknya dengan kaki, lalu saya menariknya hingga tangan saya terputus.”
Ia justru memisahkan tangan dari jasadnya agar bisa mengobarkan jihad dengan bebas dan leluasa! Subhanallah! Lantas, di mana teman pesaingnya untuk membunuh si durjana dan si lalim kelas kakap itu? Di mana Muawwidz bin Afra’ Radhiyallahu ‘anhu?
“Lalu Muawwidz bin Afra’ Radhiyallahu ‘anhu melintas di hadapan Abu Jahal yang sedang terluka parah, kemudian ia pun menebasnya dengan pedang. Kemudian membiarkannya dalam keadaan tersengal-sengal dengan nafas terakhirnya.”
Maksudnya, Muawwidz bin Afra’ Radhiyallahu ‘anhu juga berhasil merealisasikan tujuan dan cita-citanya. Ia menebas Abu Jahal dengan pedang di kala ia berada di tengah-tengah kerumunan para pengawal dan pelindungnya. Namun, ia berhasil memukul Abu Jahal hingga membuatnya terjungkal ke tanah seperti orang yang tak berdaya, tetapi ia masih mempunyai sisa-sisa nafas terakhir. Seperti yang sudah kita ketahui, bahwa Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu datang untuk menghabisi nyawa Abu Jahal.
Lantas keduanya datang menjumpai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Masing-masing mengatakan, “Saya telah membunuh Abu Jahal, wahai Rasulullah!”
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada mereka berdua sebagaimana yang terdapat di dalam riwayat Al Bukhari dan Muslim, “Apakah kalian telah menghapus (bercak darah yang menempel pada) pedang kalian?“ mereka berdua menjawab, “Belum.” Maka beliau melihat kedua pedang pahlawan cilik tersebut. Lantas beliau bersabda, “Kalian berdua telah membunuhnya.” (dinukil dari Risalah ila Syababil Ummah, Dr. Raghib As- Sirjani)
Catatan: dalam beberapa riwayat disebutkan, bahwa Muadz yang dimaksud adalah Muadz bin Afra’.- Wallahu a’alam- [AH]