Oleh: Ustadz Felix Siauw (Inspirator Muda Islam)
JAKARTA (Panjimas.com) – Allah telah menurunkan agama Islam sebagai agama yang benar, sempurna dan paripurna. Mengatur segala hal termasuk di dalamnya adalah urusan kepemimpinan dan sistem kepemimpinan, tentang siapa yang layak menjadi pemimpin dan dengan apa dia harus memimpin.
Bila kita melihat di dalam Kitabullah dan Sunnah, ada beberapa syarat dan panduan bagi seseorang agar layak menjadi seorang pemimpin. Disingkat menjadi 7 syarat yaitu, Islam, laki-laki, balig, berakal, merdeka (bukan budak), adil (bukan orang fasik) serta mampu memikul tugas-tugas dan tanggung jawab kepala negara.
Allah misalnya dengan tegas menggariskan bahwa tidak boleh bagi kaum Muslim memiliki pemimpin seorang selain Muslim, karena pasti akan terjadi mudharat di dunia.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin atau peindung) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)”. (QS An-Nisaa [4]: 144)
Dan tentu banyak lagi dalil lain di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang merinci bagaimana syarat dan keutamaan seorang pemimpin di dalam Islam. Tidak hanya memberikan batasan, Islam pun memberikan contoh nyata pemimpin amanah ini semisal Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Khalifah Umar bin Khaththab, Khalifah Utsman bin Affan, Khalifah Ali bin Abu Thalib dan tentu saja Rasulullah Muhammad saw.
Namun Islam tidak hanya merinci pemimpin seperti apa yang harus ada diantara kaum Muslim. Lebih daripada itu, Islam lebih banyak merinci seperti apa seorang pemimpin harus memimpin, dengan apa dia memimpin.
Dengan kata lain, Islam justru lebih menekankan pentingnya sistem kepemimpinan dibandingkan dengan pemimpin. Sistem kepemimpinan inilah yang harus berdasar Kitabullah dan Sunnah, sedangkan pemimpin di dalam Islam adalah orang yang tinggal menjamin pelaksanaan hukum Allah dan Rasul semata.
Misalnya, tatkala Allah memerintahkan ketaatan terhadap ulil amri (empunya urusan atau pemimpin), maka Allah menggandengkan perintah ketaatan tersebut dengan Kitabullah dan Sunnah sebagai syarat wajib ketaatan pada pemimpin.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS An-Nisaa [4]: 58
Muhammad bin Ka’ab, Za’id bin Aslam, dan Syahr bin Hausyab berkata “Sesungguhnya ayat ini diturunkan untuk para umara’ (para pemimpin), yaitu mereka yang berwenang memutuskan hukum diantara manusia”.
Ibnu Katsir menanambahkan dalam tafsirnya, “Artinya, Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanah, menetapkan hukum diantara manusia dengan adil dan hal lainnya, yang mencakup perintah-perintah dan syariat-syariat-Nya yang sempurna, agung dan lengkap”.
Lalu Allah melanjutkan ayat diatas dengan ayat yang lebih khusus lagi, yaitu perintah ketaatan pada pemimpin, dan kewajiban pemimpin dalam menerapkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS An-Nisaa [4]: 59)
Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang berkata bahwa “Ayat ini turun berkenaan dengan Abdullah bin Hudzafah yang diutus oleh Rasulullah saw pada sebuah pasukan”.
Imam Ali menceritkan, bahwa Rasulullah saw mengutus sebuah pasukan dan mengangkat seorang Anshar sebagai pimpinan pasukan itu. Ketika mereka keluar, maka ia marah karena suatu hal kepada mereka seraya berkata, “Bukankah Rasulullah telah memerintahkan kalian untuk taat kepadaku?”. Mereka menjawab, “Betul”. Dia berkata lagi, “Kumpulkanlah kayu bakar untukku”. Kemudian dia meminta api, lalu membakarnya, seraya berkata, “Aku berkeinginan keras agar kalian masuk ke dalamnya”. Maka nyaris saja mereka masuk ke dalamnya. Maka seorang pemuda diantara mereka berkata, “Sesungguhnya (jika kalian lari, maka) kalian lari menuju Rasulullah saw untuk menghindarkan diri dari api ini. Jangan kalian terburu-buru hingga kalian bertemu Rasulullah saw. Apabila beliau memerintahkan kalian untuk masuk ke dalam api itu maka masuklah”. Maka mereka pun kembali kepada Rasulullah saw mengabarkan hal itu. Maka Rasulullah pun bersabda, “Seandainya kalian masuk ke dalam api iu, pasti kalian tidak akan keluar lagi darinya selama-lamanya. Ketaatan itu hanyalah (berlaku) pada sesuatu yang ma’ruf”. (HR Ahmad)
Dalam lafadz lain sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, “Sama sekali tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan, ketaatan itu dalam kebaikan”. (HR Bukhari)
Dalam ayat ini juga secara jelas disampaikan agar setiap pemimpin dan yang dipimpin senantiasa menggunakan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pemutus atas semua pertikaian dan perselisihan. Karena wajib bagi manusia untuk menerapkan hukum-hukum Allah. Elok kiranya kita membaca uraian Ibnu Katsir berkaitan dengan ayat ini.
Jadi apapun yang ditetapkan dalam Al-Kitab dan As-Sunnah, serta terdapat dalil tentang kebenarannya (dalam Al-Kitab dan As-Sunnah), maka itulah kebenaran. Selain kebenaran itu, tidak ada lagi kecuali kesesatan. Karena itu Allah berfirman “Jika kamu beriman pada Allah dan Hari Akhir”, maksudnya, hendaklah kalian kembalikan berbagai pertengkaran dan ketidaktahuan kalian kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Berhukumlah kalian kepada keduanya, pada berbagai hal yang kalian sengketakan. “Jika kamu beriman pada Allah dan Hari Akhir”, artinya, orang yang tidak berhukum pada Al-Kitab dan As-Sunnah dalam setiap pertikaian, serta tidak merujuk pada keduanya, maka ia tidak termasuk orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir. (Tafsir Ibnu Katsir)
Maka tugas kaum Muslim tidak selesai hanya pada memilih pemimpin, namun juga harus memilih pemimpin yang menjamin penerapan Kitabullah dan Sunnah sebagai pertanda iman dan perlindungan terhadap iman.
Mengenai lebih pentingnya sistem kepemimpinan ini, telah diindikasikan dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ummul Hushain, bahwa ia mendengar Rasulullah saw bersabda dalam khutbah haji Wada’, “Sekalipun yang memerintah kalian adalah seorang budak (sementara) ia memimpin kalian dengan Kitabullah. Maka dengar dan taatlah kepadanya”. (HR Muslim)
Maka “siapa yang memimpin” tidak lebih penting dibanding “dengan apa dia memimpin”. Karena benar dan salahnya pemimpin tergantung “dengan apa dia memimpin”. Bila dia memimpin dengan menerapkan Al-Qur’an dan As-Sunnah maka dia benar dan mulia. Maka taat kepada pemimpin yang menerapkan Kitabullah ini menjadi suatu kewajiban, walaupun dia secara pribadi bermaksiat dan berbuat dosa.
“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka mencintai kalian dan kalian mencintai mereka, mereka mendoakan kalian dan kalian mendoakan mereka. Dan sejelek-jelek pemimpin kalian adalah mereka yang membenci kalian dan kalian membenci mereka, mereka mengutuk kalian dan kalian mengutuk mereka” Beliau ditanya, “Wahai Rasulullah, tidakkah kita memerangi mereka?” maka beliau bersabda: “Tidak, selagi mereka mendirikan shalat bersama kalian. Jika kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang tidak baik maka bencilah tindakannya, dan janganlah kalian melepas dari ketaatan kepada mereka”. (HR Muslim)
Imam An Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan: Rasulullah saw memerintahkan untuk menaati ulil amri meski pun pada dirinya terdapat kekurangan tersebut selama ia memimpin dengan Kitabullah. Para ulama berkata, “maksudnya selama ia berpegang teguh kepada Islam dan menyeru kepada Kitabullah Ta’ala walau bagaimana pun keadaan diri mereka, agama mereka dan akhlak mereka”. (Imam Nawawi)
Lalu bagaimana dalam keadaan seperti saat ini, ketika kita tidak memiliki pemimpin yang amanah dan menerapkan sistem amanah berupa Kitabullah dan Sunnah? Maka kewajiban kita adalah mengadakannya, mendidik dan memahamkan pada ummat Muslim kewajiban yang agung yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, bukan hanya lalu memilih pemimpin yang paling sedikit mudharatnya, lalu mengabaikan kewajiban yang mengharuskan pemimpin untuk berhukum pada hukum-hukum Allah.
Disinilah pentingnya para ulama, dalam mencerahkan ummat Muslim, bahwa tiada kebenaran dan kebaikan kecuali itu datang dari Allah Swt, dan tiada yang bisa menyelamatkan dan membangkitkan ummat Islam kecuali penerapan syariat Islam. Karena kebangkitan itu telah dicontohkan Rasulullah dengan Islam, dan dengan Islam itu pula semua manusia diselamatkan dan menjadi mulia.
Sehingga tidak adil, bila kita mendukung satu calon pemimpin dengan mengusung ke-Islam-an dirinya yang bisa jadi benar bisa jadi tidak, lalu mengelu-elukannya atas calon pemimpin yang lain yang diposisikan tidak Islami, tapi kita tidak mewajibkan dia untuk menerapkan syariat Islam. Lebih daripada itu malah mendukung agenda-agenda yang tidak sesuai bahkan bertentangan dengan Islam.
Tidak pantas bagi kita mengusung “pemimpin yang ini Islami, yang disana tidak”, sementara hukum-hukum Allah tidak pernah dibicarakan dan tidak pernah disampaikan, lantas dimana letak “Islami”nya?
Mengenai pendapat “akhaffu adh-dhararain” atau “memilih yang paling rendah mudharatnya diantara dua mudharat” tentu masih bisa diperdebatkan dalam sebuah diskusi. Tapi yang sangat berbahaya adalah apabila ummat merasa puas hanya dengan memilih pemimpin, namun santai-santai saja dalam hal “dengan apa pemimpin itu memimpin”.
Yang sangat berbahaya adalah apabila ummat merasa sudah melaksakan kewajibannya hanya dengan memilih, namun merasa ringan saat pemimpin itu meninggalkan dan melalaikan hukum Allah. Padahal mereka mengaku beriman pada Allah dan Hari Akhir.
Karenanya kami berlepas pada hingar bingar pesta yang bukan pesta kami, namanya pesta demokrasi yang terjadi tentu bukan berdasarkan aturan Allah. Satu pihak sibuk mencela dan mencari kesalahan pihak lain dan sibuk mempromosikan dan memuja calon yang dijagokannya. Mencela hal yang belum ada dan menampakkan aib jadi trend, begitupula memuji yang berlebihan dan memuja hal yang tidak ada.
Padahal manusia bisa berubah, apalagi pada masa kini, sangat mudah berubah. Tahun lalu masih berpasangan tahun depan sudah saling mencela. Kemarin masih gandengan sekarang sudah musuhan. Tanpa Islam dan komitmen terhadap Kitabullah dan Sunnah, tidak ada jaminan keselamatan dan kebangkitan.
Tapi tentu dalil bisa didebat dengan dalil yang lebih baik, namun seburuk-buruk sikap dalam perbedaan adalah saling mencela. Dan semoga kita semua yang berjuang mencari ridha Allah —apapun dalil dan caranya— mampu menahan diri dari mencela sesama. Karena perjuangan seseorang dalam berdakwah bisa jadi berpahala atau tidak berpahala, tapi mencela sesama Muslim sudah pasti salah dan dosa.
Semoga Allah segera karuniakan persatuan dan ukhuwah bagi ummat Muslim di seluruh dunia, dan mengaruniakan mereka pemimpin yang tidak hanya siap mati demi bangsa dan rakuyat, tapi siap mati dalam ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya. [GA]