PANJIMAS.COM -20 Dzulqa’dah 728 H, Ulama’ besar Mujadid yang memiliki karya-karya luar biasa,Majmu’ Fatawa, Dar`u Ta’arudl al-‘Aql wa an-Naql, Iqtidla` ash-Shirath al-Mustaqim Mukhalifah Ashhab al-Jahim, serta sejumlah karya lainnya, tepatnya pada malam Senin menghembuskan nafas terakhirnya.
Ya, Syaikhul Islam Taqiyyudin Ahmad bin Abdul Halim bin Abdus Salam bin Abdillah bin Al-Khidir bin Muhammad bin Taimiyah An-Numairy al-Harrany al-Dimasyqy, beliau meninggal pada usia 67 tahun di penjara dalam benteng Damaskus.
Beliau dilahirkan di kota Harran pada hari Senin, 10 Rabi’ul Awwal 661 H.
Kakeknya, Abu al-Barakat Majduddin Abdussalam bin Abdullah adalah imam, faqih, muhaddits.
Jamaluddin bin Malik mengatakan, ‘Fiqih dilunakkan untuk asy-Syaikh al-Majdu sebagaimana besi dilunakkan untuk Dawud’.
Dia adalah penulis kitab al-Muntaqa min Ahadits al-Ahkam, al-Muharrar fi al-Fiqh, dan al-Ahkam al-Kubra.
Ayahnya, Syihabuddin Abu al-Mahasin Abdul Halim bin Abdussalam membaca fikih di hadapan ayahnya, menyempurna-kannya, mengajar, berfatwa, mengarang, dan menjadi syaikh negerinya setelah ayahnya. Adz-Dzahabiy mengatakan, Syihabuddin adalah salah satu bintang petunjuk. Dia hanyalah tersembunyi karena terletak di antara cahaya bulan dan sinar matahari. Adz-Dzahabiy mengisyaratkan kepada ayah dan anaknya.
Meninggal Dalam Penjara
Hembusan-hembusan fitnah yang ditiupkan kaum munafiqin serta antek-anteknya yang mengakibatkan beliau mengalami tekanan berat dalam berbagai penjara, justru dihadapi dengan tabah, tenang dan gembira. Terakhir beliau harus masuk ke penjara Qal’ah di Dimasyq Pada tanggal 7 Sya’ban 726 H. Dan beliau berkata, “Sesungguhnya aku menunggu saat seperti ini, karena di dalamnya terdapat kebaikan besar.”
Dalam syairnya yang terkenal beliau juga berkata, “Apakah yang diperbuat musuh padaku !!!! Aku, taman dan dikebunku ada dalam dadaku Kemanapun ku pergi, ia selalu bersamaku dan tiada pernah tinggalkan aku. Aku, terpenjaraku adalah khalwat, Kematianku adalah mati syahid. Terusirku dari negeriku adalah rekreasi”.
Beliau pernah berkata dalam penjara, “Orang dipenjara ialah orang yang terpenjara hatinya dari Rabbnya, orang yang tertawan ialah orang yang ditawan orang oleh hawa nafsunya”.
Ternyata penjara baginya tidak menghalangi kejernihan fitrah islahiyah-nya, tidak menghalanginya untuk berdakwah dan menulis buku-buku tentang Aqidah, Tafsir dan kitab-kitab bantahan terhadap ahli-ahli bid’ah.
Bukan itu saja, murid-murid utama beliau pun ikut ditangkap. Mereka disiksa dan dipertontonkan kepada masyarakat. Termasuk di antara mereka, Ibnul Qayyim.
Walau dipenjara, Ibnu Taimiyah memanfaatkan momen itu untuk menulis kitab dan fatwa-fatwa kepada masyarakat yang kemudian disebarkan melalui orang-orang yang menjenguk beliau di penjara.
Hal inilah yang membuat geram penguasa waktu itu. Akhirnya, pada tanggal 9 Jumadil Akhir 728 H, dikeluarkan kebijakan baru untuk melarang apa pun yang keluar dari penjara. Ibnu Taimiyah pun dilarang membaca dan menulis.
Hal yang bisa dilakukan Ibnu Taimiyah adalah berdzikir dan melantunkan tilawah Alquran yang memang sudah melekat dalam hafalannya. Tidak kurang selama setiap sepuluh hari, beliau mengkhatamkan tilawahnya. Selama dua tahun beberapa bulan dalam penjara, sudah 81 kali Ibnu Taimiyah mengkhatamkan tilawah Alquran.
Di penjara tesebut, Ibnu Taimiyah sakit. Seorang menteri minta izin untuk menjenguk beliau. Dalam pertemuan itu, sang menteri memohon maaf atas ketidakmampuannya mengeluarkan Ibnu Taimiyah dari penjara. Tapi, Ibnu Taimiyah langsung mengatakan bahwa semua ini bukan karena kesalahan sang menteri. Dan beliau memaklumi posisi menteri tersebut.
Ibnu Taimiyah pun mengatakan, “Aku telah memaafkan orang-orang yang telah berbuat salah kepadaku, kecuali mereka yang telah menjadi musuh Allah dan Rasul-Nya.”
Salah seorang murid beliau, Ibnu Katsir, menuturkan bahwa Syaikh Ibnu Taimiyah meninggal dunia pada malam Senin, tanggal 20 Dzulqa’dah 728 H di dalam penjara. Dan kalimat terakhir yang diucapkan adalah tilawahnya di Surah Al-Qamar ayat 54-55
إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَنَهَرٍ
فِي مَقْعَدِ صِدْقٍ عِندَ مَلِيكٍ مُّقْتَدِرٍ
“Sesungguhnya orang-orang bertakwa itu di dalam taman-taman dan sungai-sungai, di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Berkuasa.”
Jenazah beliau disholatkan di masjid Jami’ Bani Umayah sesudah sholat Zhuhur. Semua penduduk Dimasyq (yang mampu) hadir untuk mensholatkan jenazahnya, termasuk para Umara’, Ulama, tentara dan sebagainya, hingga kota Dimasyq menjadi libur total hari itu. Bahkan semua penduduk Dimasyq (Damaskus); tua, muda, laki, perempuan, anak-anak keluar untuk menghormati kepergian beliau.
Seorang saksi mata pernah berkata, “Menurut yang aku ketahui tidak ada seorang pun yang ketinggalan, kecuali tiga orang musuh utamanya. Ketiga orang ini pergi menyembunyikan diri karena takut dikeroyok masa. “Bahkan menurut ahli sejarah, belum pernah terjadi jenazah yang disholatkan serta dihormati oleh orang sebanyak itu melainkan Ibnu Taimiyah dan Imam Ahmad bin Hambal. [AH]