PANJIMAS.COM – Dikisahkan oleh Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad yang dikenal dengan sebutan Ibnu Jauhari di dalam kitab “Dzakhair al-Wa’idhin wa Sya’air adz-Dzakirin”, dia berkata “Abdul Wahid berkata, ‘Aku pernah keluar untuk mengikuti beberapa peperangan dan di suatu hari aku menyendiri tanpa seorang teman.
Tiba-tiba aku bertemu dengan seorang anak muda yang sedang mengerjakan shalat sementara tombaknya dia tancapkan dan di atasnya digantung mushaf al-Qur’an. Aku berhenti untuk melihat keadaan dirinya.
Kemudian kukatakan pada diriku sendiri, ‘Semoga aku dapat bertemu dan berkenalan dengan salah seorang waliyullah.’ Sehingga ketika pemuda tadi selesai mengerjakan shalat, aku mendekat dan aku uccapkan salam kepadanya serta kutanyakan, “Dari mana dan akan kemana engkau? Semoga Allah memberimu rahmat,” Si pemuda berkata, “Aku adalah penduduk kota Damaskus.”
Aku kembali bertanya, “Akan ke manakah tujuanmu?” Dia menjawab, “Aku telah memohon kepada Rabbku agar aku dinikahkan dengan bidadari dan aku saat ini akan bergabung dengan kaum muslimin untuk berperang, semoga Allah memberiku karunia syahid.” Aku kembali bertanya, “Siapakah namamu?” Dia pun menjawab , “ Namaku Ahmad, aku disebut dengan julukan Abu Qatadah.” Maka aku memintanya untuk berjalan bersama pasukan dengan menunggang untaku.
Ahmad menerima tawaranku akan tetapi tidak mau menaiki untaku. Kembali aku katakan kepadanya, “Alangkah lebih baiknya jika engkau bergabung bersama kami dengan menaiki unta daripada engkau harus berjalan tanpa alas kaki.” Tetapi pemuda itu menolak dengan berkata, “Aku telah berniat meminang bidadari dengan cara berjalan kaki.” Kemudian kami lanjutkan perjalanan sampai kami berjumpa dengan musuh. Dan segera kami turun ke medan pertempuran. Kami dengar panglima Islam memanggil, “Wahai pasukan Allah, naikilah kuda-kuda kalian dan bergembiralah dengan jannah Allah.”
Pemuda yang bernama Ahmad bangun dan berkata kepadaku, “Alaika as-salam semoga kita dapat berjumpa kembali,” dan langsung menyerang musuh. Dia terus menghantam musuh di kiri dan kanan dengan menggunakan pedangnya. Hingga seorang pasukan musyrikin melepaskan anak panah yang tepat mengenai tubuhnya, dan sesaat kemudian dia terjatuh.
Peperangan semakin sengit berlangsung antara dua pasukan, hamburan debu semakin meninggi. Pada saat peperangan berhanti, aku berujar kepada sahabatku, “Carilah pemuda yang bersama kita tadi,” mereka pun segera menyebar untuk mencari si pemuda. Dan akhirnya kami menemukannya telah tergeletak bersama tubuh-tubuh yang tak bernyawa, si pemuda sedang mengalami detik-detik akhir kehidupannya.
Para sahabatku membawa si pemuda ke hadapanku, kemudian aku letakkan kepalanya pada pangkuanku dan aku bersihkan debu yang menempel di wajahnya. Aku berkata, “Wahai sahabat, berbicaralah jika engkau mampu untuk mengucapkan kata-kata.” Dia membuka mata dan melihatku seraya berkata, “Bawalah baju, tongkat dan mushafku kemudian carilah rumahku. Jika engkau menemukan rumahku dan engkau berjumpa dengan seorang gadis kecil berumur lima tahun, maka sampaikan salamku kepadanya. Sesungguhnya gadis kecil itu adalah anak perempuan kesayanganku. Aku tidak memiliki sesuatu di dunia ini kecuali dia.” Begitu selesai mengucapkan kata-kata itu si pemuda menghembuskan nafas terakhirnya.
Pada saat peperangan telah berakhir, kami kembali menuju Damaskus. Setiba di Damaskus aku segera mencari rumah si pemuda. Ketika sampai di depan rumahnya, keluarlah seorang gadis kecil. Begitu melihatku dia kembali ke dalam rumah sambil berteriak, “ Wahai ibunda, bapak telah kembali dan datang bersamanya beberapa orang pasukan.” Kemudian keluarlah ibu bersama gadis kecil yang kembali berkata kepada ibunya, “Aku ingin melihat bapakku.” Mendengar ucapannya kami menangis dan tangisan kami semakin keras sehingga ibu itu bertanya, “Wahai saudara sekalian jika kalian datang dengan membawa kabar baik maka beritahukanlah kepada kami.”
Aku berkata, “Semoga Allah melipatgandakan pahala kalian melalui Abu Qatadah.” Wanita tersebut menangis mendengar ucapanku seraya berkata, “Semoga rahmat Allah tercurah kepada Abu Qatadah.” Lalu kami berikan kepada mereka berdua Jubah yang terpecik darah milik Abu Qatadah. Si gadis kecil berbicara kepada ibunya, “Wahai ibunda, apakah ini darah ayahku?” kemudian ia menangis dan memekik serta keluarlah ruh dari tubuh gadis kecil itu.
Kisah yang sangat mengharukan sekaligus memberikan inspirasi bagi setiap orang tua. Ia akan memberikan sesuatu apapun kepada anaknya sesuatu yang terbaik dalam hidupnya. Tanpa terkecuali barang-barang mewah yang biasa diberikan orang tua kepada anaknya. Abu qotadah memberikan kita pelajaran berharga, bahwa hadiah yang terbaik untuk keluarga (anak dan istri adalah syahid di jalan Allah SWT). Tak lebih dari itu yang dapat memberikan syafa’at nantinya di yaumil kiamah (hari akhirat).
Pengharapan anak akan bertemu ayah tercinta begitu besar dirasa sang anak. Ayah dan Ibu merupakan ‘tokoh’ yang tak ada gantinya dalam kehidupan. Menjadi panutan (tauladan) anak dalam meniru tingkah laku. Kisah Abu Qotadah ini mengajarkan kita mengenai cita-cita keluarga terhadap kehidupan yang sesungguhnya. [Miftahul Jannah]