Panjimas.com- Segala puji bagi Allah Rab semesta alam, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah yang mulia dan kepada para keluarganya, sahabatnya dan semua yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari kiamat amma ba’du.
Pada bulan Shafar tahun ke 4 H datang kepada Rasulullah rombongan dari ‘Addhal dan Qorroh lalu mereka berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami tertarik dengan Islam maka utuslah bersama kami beberapa orang dari sahabatmu yang memahamkan kami terhadap agama Islam membacakan kepada kami Al-Qur’an dan mengajarkan kami syariat-syariat Islam. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengutus bersama mereka 6 atau 10 orang diantaranya Murtsid bin Abu Murtsid, Khubaib bin Adi, Zaid bin Datsnah, Abdullah bin Thoriq dan Kholid bin Bakir radiyallahu ‘anhum.
Maka mereka berangkat bersama kaum itu hingga sampai disebuah tempat bernama Roji’ –mata air milik Hudzail- yang terletak di Hijaz, merekapun berkhianat. Lalu para sahabat meminta pertolongan kepada kaum Hudzail namun mereka tidak menghiraukan sedang mereka berada diatas kendaraan meraka, kecuali beberapa orang membawa pedang yang telah mereka sarungkan. Maka para sahabat mengambil pedang-pedang tersebut untuk melawan kaum itu. Lalu mereka berkata, “Demi Allah kami tidak akan membunuh kalian akan tetapi kami ingin mendapatkan sesuatu dari orang-orang Mekah dengan ditukar dengan kalian kami berikan perjanjian untuk tidak kami bunuh”.
Adapun Murtsid Kholid bin Bakir dan ‘Ashim bin Tsabit mereka berkata: “Demi Allah kami tidak akan menerima perjanjian dari orang musyrik selama-lamanya”. Kemudian ‘Ashim dan kedua temannya melawan mereka sampai mereka sendiri terbunuh. Ketika ‘Ashim terbunuh Hudzail hendak mengambil kepalanya untuk dijual kepada Salafah binti Sa’d. Dia pernah bernadzar ketika kedua putranya terbunuh di perang Uhud, jika ia bisa mendapatkan kepala ‘Ashim dia akan minum khamr dengan tengkorak kepalanya. Namun niat Hudzail tersebut terhalng oleh lalat-lalat penyengat yang melindungi ‘Ashim dari mereka. Maka salah seorang dari mereka berkata, “tinggalkan ia sampai nanti sore pasti sudah hilang lalat-lalat itu hingga kita bisa membawanya. Lalu Allah mengirimkan aliran air dilembah itu membawa jasad ‘Ashim.
Adapun Khubaib, IIbnu Datsnah dan ‘Abdullah bin Thoriq mereka berhasil ditawan, lalu mereka dibawa ke Mekkah untuk dijual hingga ketika mereka sampai di Dzhohron, ‘Abdullah bin Toriq berhasil melepaskan tangannya dari ikatan kemudian mengambil pedangnya dan merekapun mundur lalu melemparinya dengan batu hingga ia terbunuh.
Sedangkan Khubaib bin Adi dan Zaid bin Datsnah mereka berhasil dibawa masuk Mekkah dan menukarnya dengan dua tawanan Quraisy dari Hudzail. Adapun Zaid dijual kepada Shofwan bin Umayyah untuk dibunuh sebagai balasan atas kematian ayahnya. Maka dia mengirimkannya bersama seorang budak bernama Nasthos ke Tan’im dan mengeluarkannya dari tanah Harom untuk dibunuh. Hingga berkumpulah orang-orang Quroisy termasuk didalamnya Abu Sufyan bin Harb. Maka dia berkata kepada Zaid, “Sukakah kamu jika Muhammad sekarang menggantikan posisimu untuk kami bunuh sedang kamu bersama keluargamu dirumah?” dia menjawab, “Demi Allah aku tak rela jika Muhammad sekarang ditempatnya dimana dia ada sekarang, tertusuk duri sedangkan aku dirumah duduk bersama keluargaku!” maka berkata Abu Sufyan, “Aku belum pernah melihat seorang mencintai orang lain melebihi kecintaan para sahabat Muhammad kepada Muhammad”.
Bercerita Maawiyah (budak perempuanHujair bin Abi Ihab) ,“dahulu Khubaib dipenjara di rumahku, Suatu hari aku pernah mengintipnya sedang ditangannya ada satu tandan dari buah anggur yang ia makan darinya dan ketika itu saya tidak mengetahui ada anggur dimuka bumi untuk dimakan (mungkin karena sedang tidak ada anggur di Mekkah). Dia berkata kepadaku ketika telah tiba waktu eksekusinya,“tolong beri aku pisau (untuk cukur) agar aku bisa bersih-bersih diri sebelum eksekusi.” Perempuan itu berkata, “maka aku berikan kepada anakku (masih kecil) pisau dan ku berkata padanya, “masuklah kamu dan berikan pisau ini kepada laki-laki itu”. Lalu wanita itu melanjutkan kisahnya, “demi Allah dia benar-benar bersama anak itu didalam penjaranya . Aku (Hujair bin abi Harb) bertanya padanya, “apa yang kau perbuat?” wanita itu menjawab, “sungguh demi Allah orang itu telah pantas membunuh anak itu sebagai ganti atas dirinya (yang akan segera dibunuh), yaitu nyawa dengan nyawa”. Namun tatkala dia menerima pisaunya itu dari tangannya dia berkata, “Demi Allah ibumu tak perlu takut kalau aku berkhianat ketika ibumu mengutusmu dengan pisau ini kepadaku”.
Kemudian mereka keluar membawa Khubaib sampai ke Tan’im untuk menyalibnya, lalu Khubaib berkata, “jika kalian tidak keberatan saya ingin shalat dua rokaat dulu”. Mereka berkata: “silahkan lakukan”. Maka dia sholat dua rakaat dan menyempurnakan shalatnya tersebut kemudian dia menemui mereka dan berkata, “sungguh kalaulah bukan karena aku takut kalian akan menyangkaku memanjangkan sholat karena takut mati, maka aku akan perbanyak lagi sholat”. Inilah Khubaib yang pertama kali mencontohkan dua raka’at sholat sebelum eksekusi mati.
Kemudian mereka mengangkatnya ke tiang penyalib dan tatkala telah sempurna penyaliban dia berkata,
“Ya Allah sungguh kami telah sampaikan risalah RasulMu maka sampaikanlah kepadanya apa yang mereka perbuat kepadaku.”
Kemudia dia berkata lagi,
“Ya Allah ingatlah mereka semua, bunuhlah mereka semua dan jangan Kau sisakan seorangpun dari mereka semua”.
Lalu melantunkan sebuah sya’ir,
فلست أبالي حين أقتل مسلما
على أي جنب كان لله مصرعي
وذلك في ذات الإله وإن يشأ
يبارك على أوصال شلو ممزع
Sungguh aku tak peduli selama aku muslim
Di sisi tempat manapun untuk Allah matiku
Itu semua untuk Allah dan jika Dia menghendaki
Dia memberkahi setiap potongan tubuhku yang tercerai berai
Kemudian ‘Uqbah bin Harits menghampirinya dan membunuhnya. (Habibi)
Referensi : Fi dhilalis sirah, Syaikh Manshur Asy- Syami.