JAKARTA (Panjimas.com) – Tim Advokasi Pondok Pesantren Ibnu Mas’ud yang terdiri dari Pusat Bantuan Hukum Dompet Dhuafa (PBH Dompet Dhuafa, Social Movement Institute (SMI), Amnesty International Indonesia dan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta), menggelar konferensi pers terkait rencana penutupan paksa pondok pesantren tersebut.
Konferensi pers digelar di Kantor Amnesty Internasional yang terletak di HDI Hive Menteng 3rd Floor Jalan Probolinggo Nomor 18, Menteng Jakarta Pusat, pada hari Kamis (14/9/2017). Hadir dalam konferensi pers tersebut, Raafi Ardikoeseoma selaku Koordinator Jaringan Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid selaku Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, H Agus Purwoko yang merupakan Ketua Yayasan Al Urwatul Wutsqa Ponpes Ibnu Mas’ud, Alghiffari Aqsa selaku Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Evi Risna Yanti, SH, MKn, Direktur Pusat Bantuan Hukum Dompet Dhuafa dan Arah Mardani, SH dari lembaga yang sama.
Berikut ini merupakan pernyataan lengkap, siaran pers bersama yang disampaikan dalam konferensi pers tersebut.
Siaran Pers Bersama
Tim Advokasi Pondok Pesantren Ibnu Mas’ud
Ratusan anak-anak Pondok Pesantren Ibnu Mas’ud terancam akan kehilangan pondoknya pada tanggal 17 September 2017. Ibnu Mas’ud, tempat belajar hafalan Al Quran yang banyak memfasilitasi anak tidak mampu dan terpinggirkan, dianggap sebagai sarang teroris dan mengajarkan tindakan terorisme. Perasaan tidak adil terhadap tindakan pemerintah dan trauma yang mendalam dikhawatirkan akan muncul pasca pembubaran. Oleh karenanya Tim Advokasi Pondok Pesantren Ibnu Mas’ud yang terdiri dari beberapa organisasi, termasuk organisasi hak asasi manusia, menolak pembubaran pesantren Ibnu Mas’ud.
Dipicu oleh peristiwa pembakaran umbul-umbul merah putih oleh salah seorang pendamping santri (MS) pada tanggal 16 Agustus 2017, atas desakan massa dan Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) akhirnya tiga orang pengurus menandatangani pernyataan akan membubarkan pesantren pada tanggal 17 September 2017. Tim Advokasi Pondok Pesantren Ibnu Mas’ud telah mendalami peristiwa tersebut dan berpendapat bahwa tindakan pembakaran yang dilakukan oleh MS merupakan tindakan individu di luar sepengetahuan pengurus pondok pesantren sehingga tidak bisa diganjar dengan hukuman kolektif kepada seluruh pengurus dan murid berupa pembubaran pesantren. Terlebih MS telah mengakui kesalahannya dengan alasan khilaf karena kondisi psikologis dan memang merasa kecewa dengan pemerintah karena banyaknya ketidakadilan; korupsi, pembakaran pencuri ampli, dan lain-lain. Tim Advokasi juga mencermati bahwa pasal perusakan bendera yang dikenakan kepada MS adalah keliru karena umbul-umbul tidak memenuhi kualifikasi bendera sebagaimana Pasal 4 UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan.
Instrumen HAM internasional tidak memberikan kewenangan negara untuk melakukan upaya-upaya pemidanaan berdasarkan suatu konsep “penghinaan, penodaan, atau pencemaran” suatu simbol-simbol abstrak. Terduga pelaku pembakaran umbul-umbul seharusnya hanya diancam pasal-pasal pidana umum, seperti perusakan barang milik orang lain atau publik.
Selain itu Tim Advokasi juga berpendapat bahwa kesepakatan tiga orang pengurus untuk membubarkan pondok pesantren adalah cacat hukum sehingga pembubaran tidak pernah ada. Pertama, perjanjian dibuat dengan paksaan. Kedua, ketiga pengurus yang menandatangani perjanjian bukanlah subjek hukum yang sah untuk membubarkan pondok pesantren atau yayasan. Apalagi sebagai negara anggota Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, Indonesia mempunyai kewajiban untuk menghormati dan melindungi hak-hak tiap orang untuk bebas berekspresi, berserikat, dan berpikir, berkeyakinan, serta beragama. Hak-hak ini telah pula diratifikasi dan dijamin oleh Konstitusi Indonesia.
Selama sebulan pasca peristiwa pada tanggal 17 Agustus 2017, pengurus Pondok Pesantren berkali-kali didatangi kepolisian, tentara, perwakilan Kementrian Agama, Lurah, Camat dan berbagai institusi lain yang mengingatkan pembubaran. Litbang Kementrian Agama juga melakukan survei yang tendensius mengarah kepada kesimpulan pesantren merupakan tempat mengajarkan ajaran ekstrim atau kekerasan. Selain itu terdapat juga intimidasi yang berusaha memancing tindakan emosional dari penghuni pesantren. Terdapat pula ancaman pengerahan massa kembali untuk pembubaran Ibnu Mas’ud pada tanggal 17 September 2017 nanti.
Kami terus prihatin melihat aparat kepolisian Indonesia terus mudah didikte oleh tekanan massa yang berpotensi menghasilkan pelanggaran HAM terhadap individu-individu yang berasal dari kelompok-kelompok minoritas rentan. Baik instrumen HAM internasional maupun ketentuan hukum positif Indonesia mewajibkan seluruh aparatur Polri untuk menjamin semua hak asasi manusia yang melekat di setiap WNI. Polri terus menambah panjang daftar ketidakmampuan mereka dalam melindungi hak-hak asasi warga karena tekanan massa.
Berdasarkan hal tersebut, maka kami Tim Advokasi Ponpes Ibnu Mas’ud yang terdiri dari Pusat Bantuan Hukum Dompet Dhuafa (PBH Dompet Dhuafa), Social Movement Institute (SMI), Amnesty Internasional Indonesia, dan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta) menyatakan sebagai berikut:
- Menghentikan upaya pembubaran pondok pesantren ibnu Mas’ud karena surat pernyataan yang ditandatangani oleh orang yang tidak berwenang dan dibuat atas dasar paksaan tidak bisa dijadikan dasar pembubaran Pondok Pesantren Ibnu Mas’ud. Pembubaran tidak pernah ada;
- Mendesak Muspida dan Muspika menghindari cara-cara kekerasan, pemaksaan, dan pengerahan aparat ataupun ormas dalam menuntut pembubaran Pondok Pesantren Ibnu Mas’ud. Penutupan suatu pondok pesantren ataupun sebuah badan hukum haruslah berdasarkan hukum dan tunduk pada prinsip hak asasi manusia;
- Meminta Polres Kabupaten Bogor dan Polda Jawa Barat untuk memberikan perlindungan hukum terhadap Pondok Pesantren Ibnu Mas’ud, terutama jika terdapat tekanan massa untuk pembubaran.
- Pemerintah harus bisa memfasilitasi Pondok Pesantren yang memiliki kekhususan dan memberikan bantuan sarana untuk perkembangan pesantren. Pembubaran Pondok Pesantren secara paksa tidak akan menyelesaikan masalah dan hanya akan menimbulkan trauma yang mendalam kepada anak-anak yang menjadi peserta didik.
- Jika terdapat orang-orang yang di Pondok Pesantren yang diduga terkait dengan kegiatan terorisme, maka tindakan yang tepat adalah memproses secara hukum, bukan membubarkan pesantren secara keseluruhan.
Demikian siaran pers ini kami sampaikan. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Jakarta, 14 September 2017
Hormat Kami
Tim Advokasi Pondok Pesantren Ibnu Mas’ud
Narahubung:
1. Eko Prasetyo (SMI-08175459085)
2. Alghiffari Aqsa (LBH Jakarta-081280666410)
3. Usman Hamid (Amnesty Internasional Indonesia-0811812149)
4. Arah Mardani (Pos Bantuan Hukum Dompet Dhuafa-085883376011)