PANJIMAS.COM – Umat Islam kembali difitnah dan disakiti, saat memperingati Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1438 H lalu. Hal itu menyusul penayangan film berjudul Aku Adalah Kau Yang Lain yang sempat diungggah oleh jejaring social milik Divisi Humas Polri.
Meski sudah dihapus di jejaring sosial tersebut, hingga kini belum ada permohonan maaf dari institusi penegak hukum tersebut.
Film yang dibuat oleh Anto Galon dan dinobatkan sebagai pemenang Police Movie Festival itu, menuai kecaman dari umat Islam.
Dalam film tersebut diceritakan, saat itu ambulans membawa pasien melintas dan mesti melewati jalan yang tengah ditutup karena sedang berlangsung pengajian. Namun ambulans yang membawa pasien sakit itu tak diperbolehkan lewat.
Cuplikan adegan dalam film itulah yang membuat umat Islam marah, karena merasa disudutkan dan difitnah sebagai pelaku intoleran.
Bagaimana realitanya? Benarkah umat Islam begitu intoleran seperti digambarkan dalam film berdurasi tujuh menit itu?
Dalam Aksi Bela Islam bertajuk “Zikir dan Tausiah Nasional”, Sabtu (11/02) atau yang populer disebut Aksi 112, ada peristiwa menakjubkan sebagai wujud indahnya toleransi saat itu.
Di saat yang bersamaan, dimana jutaan Umat Islam hadir dan tumpah ruah ke jalan, ternyata di dalam Gereja Katedral tengah berlangsung upacara pernikahan dua insan beragama nasrani, mereka adalah Asido dan Fellicia.
Apakah saat itu umat Islam menghalangi kedua mempelai itu memasuki gereja? Sebaliknya, justru Laskar Front Pembela Islam (FPI), juga ikut mengawal bahkan memayungi kedua mempelai pengantin yang beragama Nasrani tersebut.
Saking tertibnya pengamanan Aksi 112, sesuai pandangan mata jurnalis Panjimas.com yang saat itu meliput di lapangan, mobil pengantin milik umat Nasrani pun dikawal oleh umat Islam agar dimudahkan jalannya menuju Gereja Katedral. (Baca: Kisah Cinta dan Toleransi di Katedral)
Selain itu, tamu pernikahan di Gereja yang memarkir kendaraannya di sekitar Lapangan Banteng, dikawal, dijaga dan dipinjami payung oleh peserta dan tim pengamanan Aksi 112 untuk bisa sampai ke gereja. Peristiwa ini tak luput dari mata kamera dan hingga kini diabadikan dalam situs berbagi video Youtube. (Baca: [VIDEO] Pemandangan Unik Aksi 112, Laskar FPI Kawal Mempelai Pangantin Nasrani ke Gereja Katedral)
Di sisi lain, aksi brutal dan intoleran justru melanda umat Islam yang minoritas di pedalaman Papua, Tolikara.
Di saat Umat Islam seluruh dunia, gegap gempita merayakan Idul Fitri secara serempak, muslim Tolikara justru bersedih. Jangankan merayakan, shalat Idul Fitri saja gagal dilaksanakan di Tolikara. (Baca: [Foto & Video Istimewa] Melawan Lupa, Tragedi Idul Fitri Kelabu di Tolikara)
Pada rakaat pertama, takbir ke tujuh, pukul tujuh, pada tanggal (17/7/2015), massa dari Pemuda Kristen Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) melakukan penyerangan terhadap umat Islam yang tengah melaksanakan shalat Idul Fitri. ( [VIDEO] TRAGEDI TOLIKARA Fakta & Data Penyerbuan Terhadap Umat Islam Tolikara )
Kerukunan antar umat beragama yang dibina selama bertahun-tahun, hancur berkeping-keping. Puing-puing rumah kios (RUKI) yang hangus terbakar, menjadi saksi betapa brutalnya aksi teror tersebut. Masjid Baitul Muttaqin di Tolikara, rata dengan tanah, hanya menyisakan papan nama yang seolah bercerita, betapa zalimnya perbuatan mereka sehingga menyebabkan hancurnya rumah Allah.
Tak hanya itu, Jurnalis Panjimas.com turun langsung melakukan investigasi di lapangan pun mendapati situasi kabupaten Tolikara lebih mencengangkan. Bila melongok Kabupaten Tolikara, di jantung Papua ini, seolah bukan berada di negara Indonesia. Pasalnya, simbol-simbol bendera Zionis terpampang di mana-mana dan rumah-rumah rata dicat biru putih, seperti warna bendera Yahudi, bak berada di salah satu propinsi negara Israel.
Bahkan, kabupaten ini juga menerapkan Perda Intoleran, di mana menurut hasil investigasi Komnas HAM, diantaranya melarang pengeras suara rumah ibadah Muslim, lalu Muslimah dilarang berjilbab bila keluar rumah (di tempat umum). (Baca: Astaghfirullah, Temuan Komnas HAM: Perda Intoleran di Tolikara Larang Muslimah Berjilbab)
Meski Komnas HAM sudah menemukan pelanggaran HAM dalam peristiwa Tolikara, hingga kini kasus tersebut tak menyentuh aktor intelektual di balik peristiwa Idul Fitri kelabu tersebut. (Baca: Komnas HAM Temukan Empat Dugaan Pelanggaran HAM dalam Tragedi Tolikara)
Dari realita yang ada, seharusnya berbagai pihak bisa menilai, mana film provokatif yang tak memiliki dasar realita alias hoax dan kenyataan sesungguhnya, dengan berbagai bukti yang ada.
Jangan sampai, pihak aparat penegak hukum dan mengayomi masyarakat, justru ikut menebar hal yang tak memiliki dasar dan meresahkan masyarakat. [AW]
https://youtu.be/06cBsW0HlS0