JAKARTA (Panjimas.com) – Jurnalis Islam Bersatu (JITU) bekerjasama dengan Pusat Edukasi, Rehabilitasi, dan Advokasi Yayasan Perisai Nusantara Esa menggelar diskusi piblik bertema “Ranu dan Ancaman Kriminalisasi Jurnalis” bertempat di Hotel Sofyan Inn, Tebet, Jakarta, pada Ahad (21/05/2017).
Ranu Muda Adi Nugroho, merupakan wartawan Panjimas.com, yang saat ini tengah menjalani persidangan, lantaran melakukan peliputan aksi nahi munkar di cafe Social Kitchen, bersama dengan tokoh-tokoh Laskar Umat Islam Surakarta (LUIS).
Hadir pada kesempatan itu sebagai pembicara Dewan Syuro JITU Mahladi Murni, Pengacara Publik LBH Pers Gading Yonggar, Anggota Komisi I DPR Arwani Thomafi, Sekretaris PP Pemuda Muhammadiyah Pedri Kasman, Advokat Senior Munarman, dan Pengurus Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah Mustofa Nahrawardaya.
Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Gading Yonggar menyatakan, sepanjang 2016 terdapat 83 kasus kekerasan atau penghalang-halangan kerja termasuk juga kriminalisasi terhadap jurnalis dengan pola beragam, baik fisik maupun verbal.
Namun, Gading mengatakan, tantangan kerja jurnalis jika ditarik lebih dalam tidak hanya mengenai kekerasan dan kriminalisasi di lapangan. Tapi dari hulunya juga terdapat dalam peraturan yang menjadi celah untuk kekerasan dan kriminalisasi tersebut.
“Beberapa terdapat dalam KUHP yang notabene adalah pasal warisan kolonial,” ujarnya.
Ia menyebutkan, regulasi itu diantaranya pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik, pasal 311 KUHP tentang fitnah, dan pasal 207 KUHP tentang penghinaan terhadap penguasa.
Selain itu, sambungnya, juga pasal lex specialis yang secara eksplisit sama namun menyasar media sosial yakni pasal 27 ayat 3 Undang-undang ITE.
Menurutnya, frasa-frasa dalam pasal-pasal tersebut rancu, multitafsir dan interpretasi. Serta tidak mempunyai kepastian hukum.
“Dan tidak hanya bisa menyasar jurnalis atau organisasi masyarakat sipil, tapi juga rakyat biasa yang mengkritik pemerintah dapat dikriminalisasi dengan pasal-pasal ini,” ungkapnya.
Gading mengungkapkan, ruang-ruang kriminalisasi itu terbuka lebar yang mana kerap kali dimanfaatkan penguasa untuk membungkam suara publik.
“Jadi tantangannya juga di regulasi. Kalau dibairkan akan banyak Ranu yang lain. Konsekuensinya pasal ini harus dicabut,” pungkasnya. [AW]