JAKARTA (Panjimas.com) – Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menggelar rapat pleno ke-17 di Kantor MUI, Jalan Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat, pada hari Rabu (26/4).
Rapat pleno tersebut mengusung tema “Membangkitkan Marwah Politik Umat Islam”. Usai menggelar rapat pleno tersebut Dewan Pertimbangan MUI menyampaikan enam poin Tausiyah Kebangsaan.
Dalam forum tersebut, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI KH Didin Hafidhuddin, didaulat untuk membacakan Taushiyah Kebangsaan Dewan Pertimbangan MUI.
“Pertama, kehidupan bangsa dewasa ini, terutama terkait pilkada serentak dan hal-hal yang mengitarinya telah menimbulkan perbedaan pandangan dan kepentingan politik yang tajam yang nyaris membawa perpecahan bangsa,” kata KH Didin saat membacakan Tausiyah Kebangsaan di Kantor MUI, Rabu (26/4/2017).
Ia mengatakan, keadaan saat ini diperparah oleh pertentangan pendapat dan sikap terhadap kasus penistaan agama serta proses peradilannya. Oleh karena itu, Dewan Pertimbangan MUI berpesan agar tidak terjebak dalam pertentangan dan permusuhan. Perbedaan aspirasi dan kepentingan politik tidak harus membawa perpecahan. Persaudaraan kebangsaan tidak harus sampai terganggu.
Kedua, sikap dan pandangan keagamaan MUI tentang kasus penistaan agama pada 11 Oktober 2016 diperkuat serta didukung Taushiyah Kebangsaan Dewan Pertimbangan MUI pada 9 November 2016. Maka kesimpulannya, harus dilakukan penegakan hukum secara berkeadilan, transparan dan memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Ia mengungkapkan, Dewan Pertimbangan MUI tidak bermaksud mencampuri proses peradilan. Namun, proses peradilan atas kasus penistaan agama secara kasat mata telah menunjukan hal yang patut diduga adanya campur tangan lain. Campur tangan tersebut ditunjukkan dengan adanya penundaan penuntutan dan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). Juga JPU yang cenderung membebaskan terdakwa.
“Maka Dewan Pertimbangan MUI menilai bahwa tuntutan itu telah mengusik rasa keadilan masyarakat, khususnya umat Islam,” ujarnya.
KH Didin menegaskan, Dewan Pertimbangan MUI memesan kepada lembaga penegak hukum agar berhati-hati dan berhenti dari kecenderungan mempermainkan hukum.
Ketiga, Dewan Pertimbangan MUI mengajak penyelenggara negara khususnya lembaga penegak hukum untuk bersungguh-sungguh dan secara konsisten serta konsekuen menegakkan hukum secara berkeadilan.
Jika ada campur tangan pemerintah dalam proses penegakan hukum, menurutnya, hal tersebut akan berpotensi menimbulkan ketidakpercayaan (distrust). Kemudian membawa sikap ketidaktaatan (disobedience) rakyat terhadap hukum dan penegakan hukum. Jika ketidakadilan hukum terjadi, maka rakyat akan mudah bangkit dan bergerak untuk memprotes demi tegaknya kebenaran serta keadilan.
Keempat, Dewan Pertimbangan MUI mengajak semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat, umat berbagai agama mengembangkan toleransi dan wawasan kebinekaan sejati. Hal itu adalah budaya dan etika untuk tidak memasuki wilayah keyakinan pihak lain dan tidak mengganggu hal-hal suci yang dianut pihak lain. Hal ini dilakukan dalam rangka memelihara keamanan negara dan kerukunan bangsa.
“Kelima, sehubungan dengan situasi dan kondisi kehidupan bangsa akhir-akhir ini, seyogyanya segenap penyelenggara negara tidak terbelenggu dan tersandera oleh satu faktor perusak dan pemecah belah bangsa. Terlalu rendah derajat kita jika hal itu terjadi dan terlalu mahal harga yang harus dibayar jika kerusakan dan perpecahan terjadi di negeri ini,” katanya.
Keenam, Dewan Pertimbangan MUI mengimbau seluruh umat Islam sebagai umat mayoritas di negeri ini untuk menjadi perekat bangsa dan mengedepankan akhlak agung dalam melakukan muamalah secara nasional. Di samping itu umat Islam dituntut untuk mengukuhkan ibadah dan tazkiyatun nafs dalam rangka menjaga keutuhan NKRI. [AW]