JAKARTA (Panjimas.com) – Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak mengungkap kisah lucu di balik proses autopsi jenazah Siyono.
Hal itu disampaikan Dahnil saat membuka kajian bulanan PP Muhammadiyah, Menteng Jakarta Pusat.
Untuk diketahui, proses autopsi sempat ditunda, hingga untuk yang kedua kalinya, proses autopsi baru bisa dilakukan.
Ketika itu Prof Dr Hafid Abbas, Siane Indriani dari Komnas HAM dan Dahniel Anzar, mereka bertiga berdebat dengan aparat terkait landasan hukum proses autopsi jenazah Siyono.
“Kami diminta melapor dulu, minta izin dulu ke Densus 88, tapi kemudian Prof Abbas, Bu Siane dan saya di situ menyampaikan bahwa Komnas HAM punya legal standing untuk melakukan penyelidikan dan salah satunya proses penyelidikan itu adalah autopsi untuk mencari bukti segala macam,” kata Dahnil di hadapan ratusan orang yang memadati kajian bulanan Muhammadiyah di Menteng, Jakarta Pusat, pada Jum’at (8/4/2016).
Setelah perdebatan itu, di mana pihak aparat seolah hendak mempersulit proses autopsi karena harus meminta izin Densus 88, tiba-tiba Kapolri, Jenderal Pol Badrodin Haiti menelpon.
“Positifnya lagi, pak Kapolri kemudian menelpon, kemudian mempersilahkan melakukan autopsi, tapi harus disertai oleh satu orang dokter ahli forensik dari kepolisian,” ujarnya.
Akhirnya dikirimlah satu dokter ahli forensik dari Polda Jawa Tengah, guna mendampingi proses autopsi yang dilakukan oleh para ahli forensik dari Muhammadiyah.
“Pak Kapolres bilang gini, ‘harus ada satu orang dokter ahli forensik dari Polda’,” tiru Dahnil.
Padahal saat itu dari Muhammadiyah ada sembilan dokter-dokter senior ahli forensik yang rata-rata profesor. Hingga akhirnya, aparat harus menahan malu.
“Pak Kapolres ini dengan tegas menyampaikan, nanti harus ada dokter ahli forensik dari Kepolisian Daerah Jawa Tengah. Kemudian Dr Gatot, ketua tim forensik Muhammadiyah bertanya, ‘siapa nama dokter forensiknya?’ Pak Kapolresnya menjawab dengan tegas, ‘Dr dr Hastri, ahli forensik. Kemudian Dr Gatot menjawab, oh Hastri itu murid saya’,” tuturnya.
Sambil bergurau, Dahnil pun menyampaikan jika Muhammadiyah punya banyak sekolah dan universitas, jadi pasti ada di antara mereka ada yang pernah menjadi murid di Muhammadiyah.
“Makanya nggak mungkin pak, Muhammadiyah itu teroris,” selorohnya.
Tak berhenti sampai di situ, Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah (KOKAM), yang sudah beberapa hari melakukan pengamanan, baik di rumah keluarga Siyono maupun di pemakaman, dikejutkan dengan kedatangan pasukan Brimob, jelang proses autopsi.
“Tiba-tiba datang sekelompok Brimob, kami di dalam bersama Prof Hafid Abbas di tempat autopsi. Pas kami keluar, Brimob ramai sekali, senjata lengkap, baju hitam dengan topeng,” ujarnya.
Aneh, hanya ke makam saja, aparat kepolisian sampai harus mengerahkan pasukan Brimob bersenjata laras panjang, lengkap dengan seragam hitam, rompi anti peluru, sepatu laras dan helm kevlar. Seolah-olah suasa begitu mencekam dan akan terjadi perang.
“Teman-teman Kokam ternyata tidak gentar, mereka bilang ke saya, ‘mereka bersenjata lengkap tapi kami bersenjatakan iman’ akhirnya bicara baik-baik dengan Pak Kapolres, Brimobnya meninggalkan tempat,” tandasnya.
Begitulah suasanya jelang autopsi jenazah Siyono, yang sebelumnya tak terungkap ke publik, disampaikan oleh Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar yang nyaksikan di lokasi kejadian. [AW]