Tilawatul Qur’an Bukan Pentas Hiburan
Umat Islam dihebohkan dengan video viral nyawer saat tilawatil qur’an yang dibacakan seorang muslimah. Dua orang pria memberikan sejumlah uang kertas, bahkan salah satu di antara mereka sempat menyelipkannya di jilbab sang muslimah.
Bila kita telusuri di media sosial, aksi sawer ternyata bukan kali pertama terjadi. Nyawer akhir-akhir ini sering dilakukan dalam berbagai kesempatan, kepada para pembaca Al-Qur’an (qari dan qariah). Bahkan ada seorang qari yang penutup kepalanya (kupluk) terselip banyak uang saweran. Sang qari diam saja saat hadirin menyelipkan uang-uang tersebut dan melanjutkan bacaan Al-Qur’an.
Padahal, sebelumnya aksi nyawer kepada para qari dan qariah belum pernah ada. Entah mengapa, belakangan aksi tersebut marak dilakukan di tengah kaum muslimin.
Asal Usul Nyawer
Nyawer sebenarnya berasal dari budaya adat sunda. Dalam buku berjudul “Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Jawa Barat” yang diterbitkan oleh Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, tahun 1980, halaman 123 disebutkan:
Upacara Sawer (Nyawer). Sawer atau nyawer asal katanya awer, mempunyai arti “Air jatuh menciprat.” Sesuai dengan praktek juru sawer yang menabur naburkan perlengkapan nyawer seolah-olah menciprat cipratkan air kepada kedua mempelai wanita dan pria serta semua yang ikut menyaksikan di sekelilingnya.
Jadi, nyawer adalah kegiatan yang dilakukan dalam resepsi pernikahan orang Sunda. Nyawer berarti menabur atau melemparkan saweran yakni benda-benda kecil berupa beras bercampur kunyit serta uang receh, permen dan sebagainya ke arah pengantin maupun pada para tamu undangan.
Namun, dalam perkembangannya aksi nyawer megalami pergeseran. Menurut pandangan masyarakat secara umum, nyawer identik dengan persepsi negatif yang bermakna memberikan uang atas rasa suka/puas kepada biduan dangdut, sinden, penari jaipong, lengger dan semacamnya.
Persepsi masyarakat itu tak jauh berbeda dengan pengertian kata sawer dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yakni “Meminta uang kepada penonton atau penonton memberi uang kepada pemain (pada pertunjukan keliling, seperti kuda kepang, topeng).”
Jika demikian, maka layakkan nyawer itu dilakukan saat pembacaan Al-Qur’an?
Adab Interaksi dengan Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kitab suci bagi umat Islam. Syaikh Wahbah Az-Zuhaili dalam tafsirnya mendefinisikan Al-Qur’an sebagai berikut,
هو كلام اللّه المعجز ، المنزّل على النّبي محمد صلّى اللّه عليه وسلم، باللفظ العربي، المكتوب في المصاحف، المتعبّد بتلاوته، المنقول بالتواتر، المبدوء بسورة الفاتحة، المختوم بسورة الناس.
Al-Qur’an adalah firman Allah yang merupakan mukjizat, diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, dengan lafazh Bahasa Arab, tertulis di dalam mushaf, membacanya adalah ibadah, dinukil secara mutawatir, diawali surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat Annas. (Tafsir Al-Munir, I/13).
Sebagai kalamullah yang harus diimani, maka bagi umat Islam mengagungkan Al-Qur’an adalah wajib.
أجمع المسلمون على وجوب تعظيم القرآن العزيز على الإطلاق وتنزيهه وصيانته
Kaum muslimin ijma’ (sepakat) atas wajibnya mengagungkan Al-Qur’an yang mulia secara mutlak, menyucikan dan menjaganya. (At-Tibyan fii Adabi Hamalatil Qur’an, hal. 164).
Oleh sebab itu, untuk memuliakan Al-Qur’an ada adab-adab yang harus dipenuhi oleh orang-orang berinteraksi dengannya. Banyak ulama yang menjabarkan tentang adab-adab memuliakan Al-Qur’an, salah satunya Al-Imam Abu Zakariya Yahya Muhyiddin bin Syaraf bin Hizam An-Nawawi yang menulis kitab khusus sebagai pedoman para ahlul qur’an, yakni At-Tibyan fii Adabi Hamalatil Qur’an.
Untuk diketahui, pembahasan adab-adab dalam tulisan ini hanyalah sebagian kecil saja, dengan banyak merujuk pada kitab At-Tibyan, guna menyikapi fenomena sawer kepada pembaca Al-Qur’an dan perlakuan sejenisnya.
Pertama, hendaknya orang yang membaca Al-Qur’an memiliki niat ikhlas karena mengharap ridha Allah. Tidak boleh berharap pujian dan sanjungan dari manusia.
Ketahuilah, di antara golongan yang lebih dahulu akan diadili di hari kiamat adalah para pembaca Al-Qur’an. Apabila didapati tujuan membaca Al-Qur’an itu menyimpang, mereka akan dilempakan ke dalam neraka.
وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ : فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيْكَ القُرْآنَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ : عَالِمٌ وَقَرَأْتَ القُرْآنَ لِيُقُالَ هُوَ قَارِىٌ، فَقَدْ قِيْلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّلا اُلْقِيَ فِيْ النَّارِ
“Dan seorang yang menuntut ilmu, lalu mengajarkannya serta membaca Al-Qur`an. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Kemudian Allah menanyakannya: Amal apakah yang telah engkau lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu? Ia menjawab: Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya, serta aku membaca Al-Qur`an hanyalah karena engkau. Allah berkata : Engkau dusta! Engkau menuntut ilmu agar dikatakan seorang alim (yang berilmu) dan engkau membaca al Qur`an supaya dikatakan (sebagai) seorang qari (pembaca al Qur`an yang baik). Memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka.” (HR. Muslim).
Maka, Al-Imam An-Nawawi menegaskan pentingnya niat ikhlas dari para ahlul qur’an.
فأول ذلك يجب على القارئ الإخلاص كما قدمناه ومراعاة الأدب مع القرآن فينبغي أن يستحضر في نفسه أنه يناجي الله تعالى ويقرأ على حال من يرى الله تعالى فإنه إن لم يكن يراه فإن الله تعالى يراه
Adab Pertama, seorang yang membaca Al-Qur’an sudah sepatutnya melakukannya dengan ikhlas sebagaimana yang telah saya kemukakan sebelumnya, juga demi menjaga adab terhadap Al-Quran.
Hendaknya dia menghadirkan dalam hatinya bahwa dia sedang bermunajat kepada Allah Subhanahu wa Taala dan membaca Al-Quran seperti keadaan orang yang melihat Allah Subhanahu wa Taala. Jika dia tidak bisa melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah Subhanahu wa Taala melihatnya. (At-Tibyan fii Adabi Hamalatil Qur’an, hal. 54).
Kedua, ahlul Qur’an senantiasa menghiasinya perilakunya dengan akhlak yang baik, menjauhi perangai buruk dan menjaga wibawanya. Al-Imam An-Nawawi menulis kitab khusus sebagai panduan Ahlul Qur’an, di antaranya beliau sampaikan dalam kitab tersebut,
قد تقدم جمل منه في الباب الذي قبل هذا ومن آدابه أن يكون على أكمل الأحوال وأكرم الشمائل وأن يرفع نفسه عن كل ما نهى القرآن عنه إجلالا للقرآن وأن يكون مصونا عن دنئ الاكتساب شريف النفس مرتفعا على الجبابرة والجفاة من أهل الدنيا متواضعا للصالحين وأهل الخير والمساكين وأن يكون متخشعا ذا سكينة ووقار
Sebenarnya adab-adab ini sudah saya kemukakan sebagiannya pada bagian yang sebelum ini. Diantara adab-adab menghafal Al-Quran ialah hendaknya berada dalam keadaan paling sempurna dan perilaku paling mulia.
Hendaknya dia menjauhkan dirinya dari segala sesuatu yang dilarang Al-Quran, hendaknya dia terpelihara dari pekerjaan yang rendah, berjiwa mulia, tidak merasa rendah diri terhadap para penguasa yang sombong dan pencinta dunia yang buruk. Merendahkan diri (tawadhu’) kepada orang-orang shaleh dan ahli kebaikan, serta kaum miskin. Hendaklah dia seorang yang khusyuk memiliki ketenangan dan wibawa. (At-Tibyan fii Adabi Hamalatil Qur’an, hal. 54).
Inilah yang perlu diperhatikan oleh para qari dan qariah serta para huffazh agar senantiasa menjaga muruah sebagai hamilul qur’an.
Memberi saweran merupakan tindakan yang merendahkan martabat ahlul qur’an, apalagi bila yang melakukan adalah lawan jenis, yakni laki-laki ajnabi yang bukan mahram terhadap seorang muslimah.
Maka, seharusnya ia tidak diam ketika mendapati reaksi (nyawer) jamaah terhadapnya; menabur uang di hadapannya, mengalungkan uang, hingga menyelipkan uang di peci/kupluk dan jilbabnya. Karena sawer menyawer adalah perlakuan yang identik dengan aktivitas hiburan, seperti diterangkan di atas.
Ketiga, tidak boleh menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber pendapatan, mencari nafkah atau mata pencaharian.
ومن أهم ما يؤمر به أن يحذر كل الحذر من اتخاذ القرآن معيشة يكتسب بها فقد جاء عن عبد الرحمن بن شبيل رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اقرؤوا القرآن ولا تأكلوا به ولا تجفوا عنه ولا تغلوا فيه
Hal yang perlu menjadi perhatian bagi penghafal Al-Quran ialah supaya menghindarkan diri dari menjadikan Al-Quran sebagai sumber penghasilan atau mata pencaharian dalam kehidupannya. Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Syibil radhiyallohu anhu, katanya: Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam bersabda:
Bacalah Al-Quran, tetapi jangan menggunakannya untuk mencari makan, jangan menjauhinya dan jangan pula berlebihan. (HR. Ahmad).
وعن جابر رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم: اقرؤوا القرآن من قبل أن يأتي قوم يقيمونه إقامة القدح يتعجلونه ولا يتأجلونه
Diriwayatkan dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : “Bacalah Al-Qur’an sebelum datang suatu kaum yang menegakkannya seperti menegakkan anak panah, mereka terburu-buru dan tidak mengharapkan hasilnya di masa depan.”
ورواه أبو داود بمعناه من رواية سهل بن سعد معناه يتعجلون أجره إما بمال وإما سمعة ونحوها
Abu Dawud meriwayatkan yang semakna dari riwayat Sahl bin Saad, artinya mereka mengharapkan upahnya dengan segera berupa uang atau ketenaran dan sebagainya. (At-Tibyan fii Adabi Hamalatil Qur’an, hal. 56).
Jika menjadikan bacaan Al-Qur’an sebagai mata pencaharian saja dilarang, apalagi menjadikannya sebagai obyek saweran.
Para qari bukanlah biduan, bukan pula pelaku hiburan yang menjadikan jasa lantunan suaranya sebagai obyek mengais pendapatan.
Keempat, qari (pembaca Al-Qur’an) harus membaca Al-Qur’an dengan benar sesuai kaidah dan tartil.
وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا
“Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan.” (QS. Al-Muzzammil: 4).
Diajurkan membaguskan bacaan Al-Qur’an. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ
“Barangsiapa yang tidak memperindah suaranya ketika membaca Al Quran, maka ia bukan dari golongan kami. (HR. Abu Daud).
Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah menjelaskan hadits di atas dalam bab tersediri dalam kitabnya, Zaadul Ma’ad. Di akhir tulisan bab itu, beliau menyimpulkan,
وهذا أمر مركوز في الطباع تقاضيه، ولم ينه عنه الشارع مع شدة تقاضي الطباع له، بل أرشد إليه وندب إليه، وأخبر عن استماع الله لمن قرأ به، وقال: “لَيْسَ مِنَّا مَن لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقرآنِ ” وفيه وجهان: أحدهما: أنه إخبار بالواقع الذي كلُّنا نفعله، والثاني: أنه نفي لهدي من لم يفعله عن هديه وطريقته صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Perkara seperti ini telah tertancap dalam jiwa dan tidak dilarang syariat karena begitu jauh merasuk ke jiwa. Bahkan, syariat membimbing dan memotivasi kepadanya seraya mengabarkan bahwa Allah mendengar siapa yang membaca demikian. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Bukan dari kami yang tidak melagukan Al-Qur’an.” Untuk hadits ini ada dua pengertian;
Pertama, kabar akan realita yang kita semua melakukannya. Kedua, penafian bagi mereka yang tidak melakukannya dari petunjuk dan jalan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. (Zaadul Ma’ad, I/474).
Sebagaimana ditegaskan di atas, jangan sampai memperindah bacaan Al-Qur’an justru melanggar kaidah yang utama. Maka seorang qori tentunya orang yang sudah mempelajari ilmu tata cara membaca Al-Qur’an seperti tajwid dan yang lainnya, agar tidak salah dalam bacaannya. Karena Al-Qur’an bukanlah nyanyian yang dilantunkan semaunya.
وقال أقضى القضاة الماوردي في كتابه الحاوي القراءة بالألحان الموضوعة ان أخرجت لفظ القرآن عن صيغته بإدخال حركات فيه أو إخراج حركات منه أو قصر ممدود أو مد مقصور أو تمطيط يخفي به بعض اللفظ ويتلبس المعنى فهو حرام يفسق به القارئ ويأثم به المستمع لأنه عدل به عن نهجه القويم إلى الاعوجاج
Qadhi Qudhat, Al-Imam Al-Mawardi berkata dalam kitabnya Al-Haawi: Membaca dengan lahn yang dibuat-buat, jika mengeluarkan lafazh Al-Quran dari bentuknya (shighah), yaitu dengan memasukkan harakat-harakat ke dalamnya atau mengeluarkan harakat-harakat darinya atau memendekkan yang panjang dan memanjangkan yang pendek atau memanjangkan hingga menyembunyikan sebagian lafadznya dan mengacaukan maknanya, maka perbuatan itu haram dan pembacanya menjadi fasik serta orang yang mendengarnya pun ikut berdosa.
Hal itu karena bermakna ia mengalihkannya dari jalan yang lurus ke jalan yang bengkok. (At-Tibyan fii Adabi Hamalatil Qur’an, hal. 111).
Kelima, ketika mendengar bacaan Al-Qur’an yang indah, maka orang yang mendengarnya seyogianya menyimak dengan khusyu’ dan mentadabburinya. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-A’raf: 204).
Syaikh Abdullah Nashir As-Sa’di mengungkapkan hikmah di balik adab mendengar bacaan Al-Qur’an dalam ayat tersebut.
هذا الأمر عام في كل من سمع كتاب اللّه يتلى، فإنه مأمور بالاستماع له والإنصات، والفرق بين الاستماع والإنصات، أن الإنصات في الظاهر بترك التحدث أو الاشتغال بما يشغل عن استماعه. وأما الاستماع له، فهو أن يلقي سمعه، ويحضر قلبه ويتدبر ما يستمع، فإن من لازم على هذين الأمرين حين يتلى كتاب اللّه، فإنه ينال خيرا كثيرا وعلما غزيرا، وإيمانا مستمرا متجددا، وهدى متزايدا، وبصيرة في دينه، ولهذا رتب اللّه حصول الرحمة عليهما، فدل ذلك على أن من تُلِيَ عليه الكتاب، فلم يستمع له وينصت، أنه محروم الحظ من الرحمة، قد فاته خير كثير.
Perintah ini adalah keumuman bagi semua orang yang mendengar Al-Qur’an, kitabullah yang dibaca. Sungguh, ia (pendengar) diperintahkan untuk diam dan mendengarkannya. Perbedaan antara diam dan mendengarkan adalah bahwa diam secara zahir adalah dengan meninggalkan pembicaraan atau tidak menyibukkan diri dengan sesuatu yang membuatnya tidak mendengar.
Adapun mendengar maka maksudnya adalah mencurahkan pendengaran (menyimak) dengan menghadirkan hati dan merenungkan apa yang didengar.
Barangsiapa yang melazimkan kedua perkara ini ketika kitabullah dibaca, maka dia akan mendaptkan kebaikan yang banyak, ilmu yang melimpah, iman yang diperbarui, petunjuk yang selalu bertambah dan bashirah dalam agamanya. Oleh karena itu Allah mengaitkan diraihnya rahmat dengan kedua perkara tersebut. Hal ini menujukkan bahwa barangsiapa yang dibacakan Al-Qur’an kepadanya, lalu dia tidak menyimak dan tidak diam memperhatikan, maka dia terhalang meraih bagian dari rahmat dan dia telah kehilangan kebaikan yang melimpah. (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, I/314).
Adab mendengarkan bacaan Al-Qur’an ini yang sering dilupakan. Dengan menyimak bacaan Al-Qur’an dan merenungi maknanya, maka akan mendatangkan hidayah (petunjuk), bagi siapa pun yang Allah kehendaki. Maka semestinya ketika bacaan Al-Qur’an itu dilantunkan suasananya terasa hening.
Bukan malah gaduh, bersorak sorai, ngobrol satu sama lain apalagi nyawer. Jelas tindakan tersebut bukan adab memuliakan Al-Qur’an.
Jika menilik sejarah, tidak sedikit di antara para salafus shalih yang Allah beri petunjuk lewat bacaan Al-Qur’an.
Umar bin Khattab yang dulu memusuhi Islam, mendapatkan hidayah lewat lantunan surat Thaha. Raja Najasyi menangis ketika mendengar surat Maryam saat dibacakan Ja’far bin Abi Thalib. Ia pun memeluk Islam secara diam-diam, dengan bukti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melakukan shalat ghaib saat mendengar kabar wafatnya Raja Najasyi.
Lalu, Fudhail bin Iyadh yang dahulu dikenal sebagai gembong penyamun mendapatkan hidayah saat mendengar lantunan surat Al-Hadid ayat 16.
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ ۖ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan al-kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan diantara mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. Al-Hadid: 16).
Fudhail di kemudian hari menjadi periwayat hadits dan banyak ulama yang berguru padanya Sebut saja Ibnul Mubarak, Yahya bin Said Al-Qatthan, Sufyaan bin Uyainah, Abdurrahman bin Mahdi dan Imam As-Syafii.
Jadi sekali lagi, seorang Muslim yang mengimani kitabullah hendaknya menjaga adab mendengar bacaan Al-QUr’an. Bukan seperti orang kafir yang berbuat gaduh saat Al-Qur’an dibacakan. Al-Imam Ibnu Katsir mengatakan,
لما ذكر تعالى أن القرآن بصائر للناس وهدى ورحمة، أمر تعالى بالإنصات عند تلاوته إعظامًا له واحترامًا، لا كما كان يعتمده كفار قريش المشركون في قولهم: لا تَسْمَعُوا لِهَذَا الْقُرْآنِ وَالْغَوْا فِيهِ [فصلت:26]
Ketika Allah Ta’ala menyebutkan bahwa Al-Qur’an menjadi bukti-bukti yang nyata bagi manusia dan petunjuk serta rahmat bagi mereka, lalu Allah Ta’ala memerintahkan agar mereka mendengarkannya baik-baik serta penuh perhatian dan tenang di saat Al-Qur’an dibacakan, untuk mengagungkan dan menghormatinya. Janganlah seperti yang sengaja dilakukan oleh orang-orang kafir Quraisy saat mendengarnya, sebagaimana yang disitir oleh Al-Qur’an, bahwa mereka berkata:
لَا تَسْمَعُوا لِهَذَا الْقُرْآنِ وَالْغَوْا فِيهِ
Janganlah kalian mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al-Qur’an ini dan buatlah hiruk pikuk terhadapnya. (QS. Fushshilat: 26).
(Tafsir Ibnu Katsir, III/536).
Subhanallah, jika orang-orang kafir Quraisy yang mendustakan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam membuat gaduh saat Al-Qur’an dibacakan.
Maka sungguh Allah telah menguatkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dengan mukjizat besar, ketika sekelompok jin beriman kepadanya lewat bacaan Al-Qur’an.
Oleh sebab itu Allah memuji para jin yang beriman dan mendengarkan Al-Quran dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,
وَإِذْ صَرَفْنَا إِلَيْكَ نَفَرًا مِنَ الْجِنِّ يَسْتَمِعُونَ الْقُرْآَنَ فَلَمَّا حَضَرُوهُ قَالُوا أَنْصِتُوا فَلَمَّا قُضِيَ وَلَّوْا إِلَى قَوْمِهِمْ مُنْذِرِينَ
“Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al-Qur’an, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan(nya) lalu mereka berkata: Diamlah kamu (untuk mendengarkannya). Ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan. (QS. Al-Ahqaf: 29)
Jin saja mengerti adab dalam mendengarkan ayat-ayat Allah, sebagaimana perkataan Ibnu Katsir,
استمعوا وهذا أدب منهم
“ Dengarkanlah, ini menggambarkan adab dan sopan santun mereka (para jin) kepada apa yang didengarnya.” (Tafsir Ibnu Katsir. VII/302).
Keenam, apabila terjadi kemunkaran ketika bacaan Al-Qur’an diperdengarkan maka siapa saja yang hadir dan melihat hal itu, wajib mencegahnya (nahi munkar).
وعلى الحاضرين مجلس القراءة إذا رأوا شيئا من هذه المنكرات المذكورة أو غيرها أن ينهوا عنه حسب الإمكان باليد لمن قدر وباللسان لمن عجز عن اليد وقدر على اللسان وإلا فلينكر بقلبه والله أعلم
Diwajibkan atas orang-orang yang menghadiri majlis membaca Al-Quran jika melihat kemunkaran-kemunkaran tersebut atau lainnya agar melarangnya sekuat tenaga dengan tangan bagi siapa yang mampu dan dengan lisan bagi siapa yang tidak mampu melakukannya dengan tangan dan mampu melakukannya dengan lisan.
Jika tidak sanggup dengan semua itu, maka dengan hatinya (membencinya adalah hati). Wallahualam. (At-Tibyan fii Adabi Hamalatil Qur’an, hal. 96).
Nyawer kepada seorang muslimah qariah oleh laki-laki ajnabi yang bukan mahram adalah bentuk kemunkaran yang tak boleh didiamkan.
Maka, para ulama, asatidz dan tokoh agama selayaknya memberikan bimbingan, mencegah aksi sawer kepada qura (para pembaca Al-Qur’an) yang marak di tengah masyarakat agar tidak terjadi lagi. Karena hal tersebut bukan perkara yang baik bila membudaya di masyarakat.
Sementara itu, apabila di anatara kaum muslimin memiliki niat baik untuk memuliakan pembaca Al-Qur’an maka silahkan bersedekah dengan cara yang beradab.
Ketujuh, menundukkan pandangan. Al-Imam An-Nawawi memberikan pembahasan menarik, yakni agar para pendengar Al-Qur’an agar menundukkan pandangan kepada laki-laki yang berparas tampan.
وأقبح من هذا كله النظر إلى ما لا يجوز النظر إليه كالأمرد وغيره فإن النظر إلى الأمرد الحسن من غير حاجة حرام سواء كان بشهوة أو بغيرها سواء أمن الفتنة أو لم يأمنها هذا هو المذهب الصحيح المختار عند العلماء وقد نص على تحريمه الإما الشافعي ومن لا يحصى من العلماء ودليله قوله تعالى قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ
Lebih buruk dari semua itu adalah pandangan kepada sesuatu yang tidak boleh dipandang, seperti memandang lelaki muda yang mulus wajahnya dan yang seumpamanya. Memandang kepada lelaki muda yang berwajah mulus dan tampan tanpa adanya kebutuhan hukumnya adalah haram.
Sama saja dengan syahwat atau pun tanpa syahwat, sama saja aman dari fitnah atau tidak aman. Ini adalah madzhab yang shahih dan kuat di kalangan ulama. Imam Asy-Syafii dan para ulama yang tidak sedikit jumlahnya telah menyebutkan dengan jelas pengharamannya. Dalilnya ialah firman Allah Subhanahu wa Taala (dalam surat An-Nur: 30) Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, Hendaklah mereka menahan pandangannya. (At-Tibyan fii Adabi Hamalatil Qur’an, hal. 93).
Bila jamaah laki-laki memandangan laki-laki yang tengah membaca Al-Qur’an saja tidak boleh, yakni diperintahkan menundukkan pandangan, apalagi bila pembaca Al-Qur’an itu adalah seorang wanita.
Perintah menundukkan pandangan ini penting, mengingat orang membaca Al-Qur’an memiliki suara yang bagus atau merdu. Sehingga dikhawatirkan bisa menimbulkan rasa suka/jatuh cinta.
Oleh sebab itu, bagi panitia penyelenggara, hendaknya mempertimbangkan mengundang qariah (muslimah pembaca Al-Qur’an) apabila kegiatan itu dilangsungkan secara terbuka dan disaksikan masyarakat umum. Terlebih lagi bila jamaahnya terdapat kaum laki-laki. Hal itu untuk mencegah terjadinya fitnah, terutama terhadap sang qariah.
Demikian artikel ini ditulis, sebagai pedoman ringkas adab berinteraksi dengan Al-Qur’an. Sekaligus, menyikapi fenomena yang terjadi di tengah masyarakat. Bahwa tilawah Al-Qur’an bukanlah pentas hiburan semisal dangdutan, lengger, campur sari atau jaipongan.
Maka jangan disamakan perlakuan terhadap majelis dibacakannya Al-Qur’an dengan memberikan saweran. Karena mengagungkan Al-Qur’an ada tata caranya secara khusus, yang bisa dipelajari dalam kitab-kitab salafus shalih.
Semoga Allah memberikan ampunan apabila terdapat kesalahan dalam penulisan, serta menjadi amal shalih bagi siapa saja yang mengamalkan. Wallahu a’lam.