“Terkesima Karena Dipejabatkan”
Kisah ustadz kampung oleh : Buya Gusrizal Gazahar Dt. Palimo Basa
PANJIMAS.COM – Musyawarah skala besar memang memiliki suasana yang berbeda.
Walaupun sudah kali ke empat bagi ustadz kampung namun kali ini, suasananya sangat berlain.
Hangat-hangat dingin rasanya karena diminati oleh banyak pihak yang tak ada hubungan dengan kegiatan tersebut. Jangankan hubungan nasab, bertali rahim pun tidak.
Namun anehnya, mereka lebih sibuk daripada ustadz kampung yang akan berangkat.
Siasat dan selidik menggelitik setiap hari. Dari yang ingin tahu sampai kepada yang ingin tempe.
Apakah ustadz kampung akan berangkat ? Kalau iya, dengan siapa ? Naik apa ? dan membawa misi apa ?
Walaupun suasana seperti ini sudah berulang kali terjadi namun kali ini cukup menggelisahkan dan membuat tidak nyaman.
حسبنا الله و نعم الوكيل
(Hasbunallahu wa ni’mal wakil)
adalah pegangan yang tak dilupakan oleh sang ustadz.
Akhirnya dalam kewaspadaan tingkat sedang, ustadz kampung berangkat menempuh jalan darat menuju ibu kota.
Alhamdulillah, tanpa ada rintangan yang berarti, kaki sang ustadz kampung pun menginjak tanah betawi.
Dari berbagai pembicaraan yang terdengar, tampaknya ribut dan badai sedang mengancam.
Olengnya kapal lembaga karena nakhodanya mabuk lautan dan terpaan ombak semakin membesar, sangatlah mengkhawatirkan.
Walaupun kecewa dengan absennya shahabat-shahabat seperjuangan, ustadz kampung tetap meneguhkan hati untuk menjadi bagian dalam musyawarah kerapatan.
“Biarlah apa yang akan terjadi, tak kan amanah dicampakkan di tengah jalan. Bukanlah tradisi orang Minang mendingin sebelum berenang, kalah sebelum berperang dan belum pergi tapi sudah pulang”, begitulah kalimat yang tersusun dalam qalbu ustadz kampung.
Ketika acara hendak dimulai, siapa saja harus melewati pemeriksaan ketat untuk hadir dalam ruangan acara dan tentu tidak terkecuali ustadz kampung.
Konon khabarnya, itu disebabkan oleh
“ketua yang dipejabatkan”. Ya… begitulah kira-kira istilah yang mereka pergunakan.
Acara pembukaan telah selesai. Narasi normatif yang tetap mencurigai umat Islam dan dakwah Islamiyyah tetap tidak ketinggalan walaupun dalam musyawarah majelis yang katanya “payung besar” atau “tenda besar” tersebut.
Setelah pembukaan, dimulail lah laporan pertanggungjawaban. Tidak tanggung-tanggung, langsung disampaikan oleh “ketua yang dipejabatkan” dengan segala keberhasilan dan terobosan.
Tepuk tangan pun bergemuruh sebagai penghargaan. Ustadz kampung tak ketinggalan tapi dengan tepuk tangan separuh hati.
Kegelisahan dalam hati ustadz kampung membuat riuhnya tepukan menjadi hentakan-hentakan menggetarkan sehingga lisan tak kuasa untuk diam dari mengungkapkan kebenaran.
Walaupun yang memberikan laporan pertanggungjawaban adalah “pemangku jabatan tuan negeri” namun kebenaran harus disuarakan. Kira-kira demikianlah suara yang menggema dalam diri ustadz kampung.
Akhirnya, ketika kesempatan menanggapi ditawarkan oleh pimpinan sidang, tangan pun mengacung dan mulut pun berbicara meminta kesempatan.
Entah disukai atau tidak, pimpinan sidang tak bisa mengelak dari mempersilahkan ustadz kampung sebagi penanggap pertama dari empat orang yang diberikan kesempatan.
Mulailah ustadz kampung menyampaikan kegelisahan yang tersimpan dalam hati dan sikap yang telah diambil selama ini oleh para ulama di kampungnya.
Kira-kita beginilah isi tanggapan ustadz kampung:
“Kita bersyukur kepada Allah swt dan berterima kasih kepada dewan pimpinan atas segala keberhasilan dan terobosan yang telah dilakukan.
Sebelum persoalan “diterima atau tidak diterimanya” laporan pertanggungjawaban, saya dengan organisasi ulama kampung saya meminta agar dijelaskan dua perkara ini terlebih dahulu.
Pertama, berbagai keputusan yang telah dirumuskan bersama dalam rapat-rapat dan musyawarah-musyawarah berskala besar, kenapa berubah tiba di tangan pimpinan pusat ?
Seperti yang tuan sebutkan tadi berulangkali yaitu “Islam Wasathiy”. Padahal itu sudah tidak ada lagi karena sudah dirubah dalam rapat yang dihadiri oleh utusan seluruh negeri dengan “Wasathiyyatul Islam”.
Bukan hanya itu ! Keputusan berskala besar lain juga telah dirubah seperti “pembubaran BPIP”, “RUU Omni Bus Law” dan lainnya.
Kedua, pelanggaran terhadap Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga (PDPRT) lembaga, dimana Ketua Umum dilarang rangkap jabatan namun itu yang terjadi.
Tuan-tuan coba mencarikan solusi dengan non aktif yang juga tidak ditemukan aturannya.
Anehnya, sekarang dalam musyawarah ini menjadi aktif kembali. Ini bagaimana ?
Karena itu, kami minta penjelasan dua hal tersebut sebelum “terima atau tidak diterima” laporan pertanggungjawaban tadi”
Setelah ustadz kampung menanggapi, beberapa orang pun menanggapi tapi tak satu pun yang mempersoalkan perkara yang diangkat oleh ustadz kampung.
Puja puji pun melayang menyanjung berbagai keberhasilan dan tentu bagaikan karangan bunga di leher “yang dipejabatkan”.
Ustadz kampung membathin dengan berbagai pertanyaan. Kenapa dan mengapa, semua tidak mempedulikan dasar-dasar berorganisasi ? Apa betul issu yang berkembang semenjak beberapa bulan yang lalu sebelum saya hadir ke tempat ini bahwa semua telah diatur ???
Ketua yang dipejabatkan pun mulai menjawab.
Jawaban yang menurut ustadz kampung, tak menjawab bahkan tak patut dijadikan jawaban.
“Hanya perbedaan istilah dan telah dimusyawarahkan dengan si fulan dan fulan” adalah jawaban untuk perkara pertama.
Bukan substansi pertanyaan yang dijawab dan sangat tidak pantas bagi pimpinan lembaga merubah keputusan bersama dengan pandangan personal.
Jawaban perkara kedua, sangatlah mengejutkan. “Saya hanya menerima keputusan dari dewan pimpinan. Disuruh non aktif maka saya non aktif dan menurut saya memang itulah yang bijak”, begitulah kira-kita jawaban sang pejabat.
Ustadz kampung tercengang dengan keberanian “yang dipejabatkan” menimpakan beban kepada banyak orang padahal itu adalah kemauannya ?!
Ketercengangan itu semakin bertambah karena tak satupun yang mempertanyakan hal itu dan tak ada satu pun yang berani meluruskan.
Dalam ketercengangan tersebut akhirnya tanpa memberi kesempatan untuk menanggapi kembali jawaban itu, tang… berdentanglah palu pimpinan sidang pertanda laporang pertanggungjawaban diterima.
Ustadz kampung tak lagi punya kesempatan menyampaikan kesimpulannya bahwa laporan pertanggungjawaban kalaupun diterima, harus dengan memperbaiki dua catatan tadi.
Kesedihan, kekecewaan dan sedikit bercampur kekesalan berkecamuk dalam hati sang ustadz ketika sidang pertama itu selesai.
Anehnya ketika sidang pertama selesai dan “yang dipejabatkan” sudah keluar ruangan, banyak yang menghampiri ustadz kampung menyampaikan terima kasih dan pujian karena telah menyampaikan apa yang ada dalam hati mereka.
Dengan senyuman sumbing sambil membathin, ustadz kampung bergumam, “mengapa tadi diam saja ? Saya tak perlu pujian itu tapi ya sudahlah… ini ibu kota, ini pusat, ini pucuk lembaga dan lainnya.
Ustadz kampung tetaplah ustadz kampung. Basa-basi tingkat tinggi dengan membiarkan kekeliruan demi pertemanan dan perkelompokan adalah permainan yang tak akan bisa difahami oleh ustadz kampung.
Pulanglah ke kampung wahai ustadz kampung ! Ini ibu kota bukanlah kampungmu !
Namun jangan lupa, kampungmu juga kan dijadikan ibu kota pula ketika tiba masanya”.
Itulah akhir bisikan hati yang dibawa ustadz kampung meninggalkan ruang sidang.
Kakinya melangkah sambil mengucapkan:
الله المستعان و عليه التكلان