Upaya elit politik untuk menyekat fungsi agama dari kehidupan bernegara, dirasakan oleh sebagian masyarakat Indonesia akhir-akhir ini semakin kentara.
Seperti halnya yang sempat menjadi polemik yaitu hilangnya frasa agama dari peta pendidikan nasional yang mendapat kritik keras dari tokoh Muhammadiyah Haedar Nashir dan DPR-RI yang pada akhirnya oleh bos Ojol yang saat ini menjabat sebagai Kemendikbud merevisinya dan memastikan frasa agama akan tetap melekat dalam peta pendidikan kita. Namun komentar publik tak dapat dibendung, jika tak heboh atau cenderung dibiarkan, mustahil Nadiem akan merevisi atau mengubah fakta-fakta yang ditemukan oleh Haedar Nashir.
Catatan merah yang sampai saat ini masih dicoret stabilo oleh umat Islam, terbitnya SKB 3 Menteri yang mengatur tentang seragam dan atribut sekolah yang menunjukkan simbol-sombol agama tertentu termasuk siswi muslimah yang mengenakan jilbab sebagai wujud ketaatannya terhadap Islam. Tudingan sekulerisasi semakin deras.
Ditambah pernyataan seorang ketua umum ormas Islam terbesar di Indonesia, baru-baru ini kembali melontarkan pidato kontroversialnya yang menyebut bahwa bangsa ini (Indonesia) bermartabat bukan karena agamanya, namun budayanya yang nomor satu. Namun pertanyaannya, jika budaya adalah nomor satu, bagaimana nasib Pancasila yang menancapkan sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai bukti bahwa agama adalah dasar Negara yang bakal mengatur dan menjadi rujukan pada sila-sila setelahnya? Bolehkah menjadi sebuah kecurigaan bahwa pernyataan tersebut adalah upaya untuk mengatakan bahwa agama tidak memperoleh tempat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
Jika dibandingkan dengan pendirinya, maka sebuah kemunduran yang terpental jauh. Negara ini pernah melawan penjajah atas fatwa resolusi jihad yang diminta oleh bung Karno kepada K.H Hasyim Asyari. Muncullah fatwa jihad 17 September tahun 1945 yang isinya bahwa setiap individu harus mempertahankan kemerdekaan dan konsekuensi berat bagi yang mencederai kemerdekaan Indonesia.
Atas fatwa tersebut yang kemudian menggerakkan seluruh kekuatan tentara dan sipil yang ada untuk berani mengorbankan jiwa dan raganya membela bangsa, negara dan agamanya. Akhirnya Indonesia berhasil memenangkan laga dan mengusir penjajah pada waktu itu. Sebuah bukti bahwa agama terutama Islam sangat berjasa besar terhadap kelangsungan hidup negara hingga saat ini dan menjadi bangsa yang bermartabat yang layak ditakuti oleh penjajah pada waktu itu. Namun hari ini terkesan dilupakan dan diberikan pengakuan yang sekerdil-kerdilnya oleh tokoh yang mengaku beragama di hadapan publik.
Sebuah pernyataan lucu dari seorang pelawak sekaligus mantan pejabat bernama Diky Chandra yang aktif menyuarakan kondisi bangsa ini, dalam sebuah tweet caption videonya, Ia menulis bahwa orang yang anti agama adalah orang-orang yang memiliki niat jahat.
“Agama mempersulit “orang-orang berbuat jahat, bebas bohong, bebas dzolim dan bebas memanjakan penyakit hati” jadi hanya orang-orang yg punya niat jahat dan ingin berbuat sesuka hatilah yang anti agama.'( om bocor ).” tweet Diky Chandra.
Dalam tayangan video berdurasi 46 detik dima ia memeragakan sedang setengah tidur, dalam mata terpejam diatas sandaran bantalnya, yang mungkin gaya seorang pelawak dengan cara berdemokrasinya menyuguhkan kegelisahan tentang peran agama yang termaktub dalam Pancasila sila pertama, namun sebagian masyarakat justru anti terhadapnya.
“Kalau ada yang anti agama, alergi sama agama di negeri Indonesia itu sangat mengherankan. Katanya kan negaranya Pancasila. Orang-orangnya harus adil dan beradab. Tidak mungkin adil dan beradab kalau tidak ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Tidak mungkin bisa bersatu dan menyatu kalau tidak ada Ketuhanan Yang Maha Esa. Sulit membuat kemufakatan melalui musyawarah mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia kalau tidak ber-Ketuhanan Yang Maha Esa,” ujarnya.
Penjelasan yang lebih serius terkait agama yang menjadi fondasi pendidikan nasional, mantan ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva menerangkan agama menurut konstitusi negara kita.
“Menurut konstitusi kita, Agama tidak sekedar kata atau frasa bunga-bunga dalam peta jalan pendidikan nasional kita, tetapi peta dan arah pendidikan itu sendiri haruslah meningkatkan keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia. Agama menjadi fondasi dan sekaligus arah diknas kita,” tulisnya, Rabu (10/3/2021).
Mulai dari pendidikan sebagai sarana pembentukan moral dan peradaban suatu bangsa yang paling mendasar, akankah negara ini benar-benar diarahkan ke sistem sekuler yang tak mengacu lagi kepada dasar negara Pancasila dan UUD 1945 yang sarat dengan ajaran agama?