Oleh : H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH*
(Panjimas.com) – Ketua Umum Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) baru kali pertama hadir di persidangan memberikan keterangan sebagai “Saksi” dalam kasus penodaan Agama (Al-Qur’an) atau penghinaan terhadap Alim Ulama dan/atau Umat Islam. Tentu patut kita berikan apresiasi, mengingat kasus Ahok tidaklah sama dengan kasus-kasus lainnya. Sebab, kasus ini begitu banyak energi ‘keluar’, titik klimaksnya adalah Aksi Bela Islam 411 dan 212 yang sangat fenomenal tiada bandingnya.
Kehadiran KH. Ma’ruf Amin, menurut penulis lebih tepat sebagai “Ahli”, walaupun yang bersangkutan dalam BAP disebut sebagai Saksi. Argumentasinya, sederhana saja, pada posisi Saksi seseorang memiliki pengetahuan tentang apa yang dilihat, didengar dan dialaminya terkait dengan adanya peristiwa pidana.
Ma’ruf Amin, bukanlah berpredikat Saksi sebagaimana dimaksudkan. Beliau memberikan keterangan tentang seputar kedudukan Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI berdasarkan hasil keputusan rapat Pimpinan Harian sesuai dengan Buku Pedoman Penyelenggaraan Organisasi MUI.
Apa yang disampaikan oleh beliau tentu lebih mendekati keterangan Ahli Agama dari unsur MUI. Namun demikian, dapat dimengerti maksud penyidik waktu itu meminta keterangan sebagai Saksi adalah dalam rangka memperkuat kedudukan Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI itu sendiri serta meneguhkan keterangan yang akan disampaikan Ahli Agama dari MUI.
Pada sidang kali ini, hal yang paling penting dan tentunya menjadi pokok pertanyaan dari Penasehat Hukum Ahok adalah menyangkut tentang kedudukan Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI yang dikeluarkan pada tanggal 11 Oktober 2016 dengan segala dimensinya. Sesuai dengan namanya, Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI secara substansial memuat fatwa atau pendapat hukum islam, sikap keagamaan, dan rekomendasi tindak lanjutnya kepada aparat pemerintah, penegak hukum dan masyarakat.
Fatwa dalam praktik peradilan pidana kedudukannya sebagai bukti surat yang menunjang alat bukti lainnya, khususnya keterangan Saksi dan Ahli yang kemudian bermuara pada tersusunnya petunjuk yang berkorelasi dengan dakwaan Penuntut Umum.
Dengan demikian akan mampu menyakinkan Majelis Hakim bahwa telah terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh Ahok sesuai dengan ketentuan Pasal 156 atau Pasal 156a huruf a KUHP sebagaimana didakwakan. PH Ahok tentunya sangat menyadari kelemahan dalam proses pembuktian yang akan dihadapinya, menjadi wajar mereka lebih tertarik dalam pembentukan opini dan sekaligus memberikan tekanan kepada para Saksi, hal yang sama mungkin terjadi dengan para Ahli pada sidang berikutnya.
PH Ahok dipastikan akan ‘habis-habisan’ mempertanyakan Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI yang dipandang merugikan kliennya, sehingga menjadikannya sebagai Terdakwa. Pertanyaan juga akan berkembang ke arah kedudukan MUI menyangkut legalitas dan keterkaitannya dengan kewenangan mengeluarkan Fatwa. Selebihnya, PH Ahok berupaya menyakinkan Majelis Hakim bahwa memang ada skenario – tentunya melibatkan MUI – menjadikan Ahok duduk di kursi pesakitan. PH Ahok sepertinya lebih mengedepankan opini-opini belaka, ketimbang menemukan kebenaran materil.
Mereka sepenuhnya sadar, bahwa kebenaran materil berpihak bukan pada Ahok, kebenaran materil justru akan menjadikan Ahok sebagai Terpidana. Terlihat jelas dalam serangkaian sidang-sidang terdahulu, PH Ahok sangat lemah dalam menggali keterangan yang seharusnya menjadi dasar bagi perumusan pledoi. Mereka menjadikan sidang pengadilan tidak lebih sebagai upaya pencitraan dalam rangka pemenangan Ahok pada Pilkada yang akan datang, singkat kata peranan mereka menyerupai Tim Sukses, ketimbang Penasehat Hukum. Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa Ahok memang “ultrationgkok” dengan berbagai kepentingan strategis untuk menuju kursi RI 1 atau RI 2, walaupun kondisi sekarang kursi pesakitan yang didudukinya.
Kehadiran Ketua Umum MUI memberikan makna tersendiri bagi para Ahli yang memberatkan Ahok, khususnya semangat untuk mematahkan segala macam bantahan dan tekanan. Para Ahli, telah mempersiapkan dirinya, bukan hanya keahlian, namun lebih dari itu, yakni mempersembahkan dirinya hanya kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, siap membela Islam, bukan membela orang yang tidak layak dibela. Adalah suatu mimpi bagi setiap muslim untuk membela agama Allah, dengan mengharap ridho-Nya, bukan prestasi dari manusia. “Hidup Mulia Mati Masuk Syurga,” itulah motto “Pejuang Islam.” []
* Ahli Hukum Dewan Pimpinan MUI