Asal Usul Natal
Saat bulan Desember, umat Islam kerap disibukkan soal perdebatan masalah ucapan selamat natal. Bagaimana duduk persoalannya?
Kata natal berasal dari ungkapan bahasa Latin Dies Natalis (Hari Lahir).Dalam bahasa Inggris perayaan Natal disebut Christmas, dari istilah Inggris kuno Cristes Maesse (1038) atau Cristes-messe (1131), yang berarti Misa Kristus. Dalam Bible bahasa Indonesia tak dijumpai kata “natal” namun yang ada hanya hari kelahiran.
Herbert W. Armstrong dalam tulisannya berjudul “The Plain Truth About Christmas” yang diterjemahkan oleh Masyhud SM dalam buku “Misteri Natal” mengungkapkan asal usul hari raya tersebut.
A feast was established in memory of this event (Christs birth) in the fourth century. In the fifth century the Western Church ordered it to be celebrated forever on the day of the old Roman feast of the birth of Sol, as no certain knowledge of the day of Christs birth existed. (Encyclopedia Americana tahun 1944).
Perayaan Natal yang dianggap sebagai hari kelahiran Yesus, mulai diresmikan pada abad keempat Masehi. Pada abad kelima, Gereja Barat memerintahkan kepada umat Kristen untuk merayakan hari kelahiran Yesus, yang diambil dari hari pesta bangsa Roma yang merayakan hari Kelahiran Dewa Matahari. Sebab tidak seorang pun yang mengetahui hari kelahiran Yesus.
Demikian pula, penjelasan dari Katolik Roma dalam Catholic Encyclopedia, edisi 1911, dengan judul “Christmas”, anda akan menemukan kalimat yang berbunyi sebagai berikut:
“Christmas was not among the earliest festivals of Church the first evidence of the feast is from Egypt. Pagan customs centering around the January calends gravitated to christmas.”
“Natal bukanlah diantara upacara-upacara awal Gereja bukti awal menunjukkan bahwa pesta tersebut berasal dari Mesir. Perayaan ini diselenggarakan oleh para penyembah berhala dan jatuh pada bulan Januari ini, kemudian dijadikan hari kelahiran Yesus.”
Kemudian, dalam iman Kristen, Yesus lahir di kandang domba saat orang-orang menggembalakan ternaknya. Dalam Lukas 2:11 dikisahkan suasana di saat kelahiran Yesus sebagai berikut:
Di daerah itu ada gembala-gembala yang tinggal di padang menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam. Tiba-tiba berdirilah seorang malaikat Tuhan di dekat mereka dan kemuliaan Tuhan bersinar meliputi mereka dan mereka sangat ketakutan. Lalu kata malaikat itu kepada mereka: “Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, di kota Daud.” (Lukas 2:11).
Maka mustahil Yesus lahir di bulan Desember atau Januari, lantaran pada bulan tersebut adalah musim dingin, tak ada orang yang menggembalakan ternak di musim dingin pada malam hari.
Masih dalam buku yang sama, seorang sarjana Bible, Adam Clarke mengungkapkan kesimpulannya tentang kelahiran Yesus.
“…and that, consequently, our Lord was not born on the 25th of December, when no flock were out in the fields; nor could He have been born later than September, as the flocks were still in the fields by night. On this very ground, the Nativity in December should be given up…” (Adam Clarke Commentary, Vol.5, page 370, New York).
“Dengan demikian dapatlah diambil kesimpulan bahwa Yesus tidak lahir pada tanggal 25 Desember, ketika tidak ada domba-domba berkeliaran di padang terbuka di malam hari. Juga tidak mungkin dia lahir setelah bulan September, karena di bulan inilah domba-domba masih berada di padang waktu malam. Dari berbagai bukti inilah, kemungkinan lahir di bulan Desember itu harus disingkirkan.”
Lantas, bagaimana mungkin memberikan ucapan selamat, padahal hari raya natal itu ditolak sebagian kalangan Kristen sendiri.
Bahkan, bila kita merujuk kitab suci Kristen (Bible), tak disebutkan tanggal lahir dan bulan kelahiran Yesus serta perintah perayaan natal di dalamnya.
Kisah kelahiran Yesus dalam Bible pun berbeda-beda. Menurut Matius 2: 1, Yesus lahir di Bethlehem pada masa Raja Herodes. Raja Herodes meninggal pada abad ke 4 sebelum masehi (SM).
Sementara menurut Lukas 2 : 1-7 Yesus lahir saat terjadinya sensus oleh Gubernur Siria, Kuirinius di masa pemerintahan Kaisar Agustus. Menurut sejarawan, sensus itu terjadi pada abad ke 6 Masehi.
Tak hanya itu, pemimpin Katolik Roma sedunia Paus Benediktus XVI menyampaikan pernyataan mengejutkan tentang kelahiran Yesus Kristus. Seperti dilansir laman Telegraph, Paus menyatakan bahwa perhitungan tentang kelahiran Yesus yang selama ini diyakini adalah keliru. Yesus lahir beberapa tahun lebih awal dari yang selama ini diyakini.
Menurut Paus, kalender Masehi yang digunakan untuk membuat perhitungan hari kelahiran Yesus itu tak tepat. Ia mengungkapkan bahwa kesalahan tersebut dilakukan oleh seorang biarawan bernama Dionysius Exiguus di abad ke-6. Demikian diungkapkan Paus melalui buku berjudul “Jesus of Nazareth: The Infancy Narratives”, yang diluncurkan Rabu (21/11/2011).
Ulama Sepakat Haram Ucapan Selamat Natal
Persoalan hukum ucapan selamat natal ini sebenarnya sudah tuntas, bila kita mau merujuk pada sikap Rasulullah, para sahabat dan ulama salaf. Karena masalah ini bukan masalah baru, tetapi sudah pernah dibahas oleh para fuqaha di zamannya. Bukankah saat mereka hidup, Yahudi, Nasrani dan agama lain juga berhari raya? Lantas apakah mereka ikut memberi ucapan selamat hari raya kepada mereka?
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلاَ النَّصَارَى بِالسَّلاَمِ
“Janganlah kalian mendahului Yahudi dan Nashara dalam salam (ucapan selamat).” (HR. Muslim).
Jika mengucap salam kepada Yahudi dan Nasrani dalam tegur sapa saja dilarang oleh Rasulullah, apalagi menyampaikan ucapan selamat hari raya yang memiliki konsekuensi akidah. Tentu larangan tahniah tersebut otomatis lebih kuat lagi, sampai-sampai mendekat pada perayaannya saja tidak boleh. Hal itu ditegaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang lain,
اجْتَنِبُوا أَعْدَاءَ اللهِ الْيَهُودَ , وَالنَّصَارَى فِي عِيدِهِمْ يَوْمَ جَمْعِهِمْ , فَإِنَّ السَّخَطُ يَنْزِلُ عَلَيْهِمْ , فَأَخْشَى أَنْ يُصِيبَكُمْ , وَلَا تَعْلَمُوا بِطَانَتَهُمْ فَتَخَلَّقُوا بِخُلُقِهِمْ
“Jauhilah perayaan-perayaan kaum musuh Allah yaitu Yahudi dan Nasrani. Karena kemurkaan Allah turun atas mereka ketika itu, maka aku khawatir kemurkaan tersebut akan menimpa kalian (HR. Al-Baihaqi).
Larangan ucapan selamat hari raya ini bukan disuarakan segolongan kecil ulama. Melainkan, berdasarkan kesepkatan ulama haram hukumnya memberi ucapan selamat pada hari raya orang-orang kafir.
Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah menjelaskan,
وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة به فحرام بالاتفاق مثل أن يهنئهم بأعيادهم وصومهم فيقول عيد مبارك عليك أو تهنأ بهذا العيد ونحوه فهذا إن سلم قائله من الكفر فهو من المحرمات وهو بمنزلة أن يهنئه بسجوده للصليب بل ذلك أعظم إثما عند الله وأشد مقتا من التهنئة بشرب الخمر وقتل النفس وارتكاب الفرج الحرام ونحوه. وكثير ممن لا قدر للدين عنده يقع في ذلك ولا يدري قبح ما فعل فمن هنأ عبدا بمعصية أو بدعة أو كفر فقد تعرض لمقت الله وسخطه
“Adapun ucapan selamat kepada syiar-syiar kekufuran yang menjadi ciri khas orang kafir maka hukumnya haram dengan kesepakatan para ulama. Sebagai contoh seseorang memberi ucapan selamat hari raya orang kafir atau ucapan selamat atas puasa mereka dengan mengatakan, Selamat hari raya untukmu atau ucapan lainnya. Meskipun pelakunya bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak bisa selamat dari perbuatan haram. Ucapan selamat hari raya kepada orang nashrani sama saja memberi selamat atas sujud mereka kepada salib, bahkan ucapan selamat ini lebih besar dosanya disisi Allah. Lebih dibenci Allah daripada minum khamr, membunuh orang, zina, dan dosa besar lainnya. Namun sangat disayangkan kebanyakan orang yang tidak memiliki pemahaman yang benar tentang agama terjatuh pada perbuatan ini.
Sementara dia tidak tahu betapa jelek ucapan selamat yang ia ucapkan. Barangsiapa yang memberi ucapan selamat atas perbuatan maksiat, bidah atau kekufuran, maka ia telah menantang kebencian Allah dan kemurkaan-Nya. (Ahkamu Ahlidz Dzimmah, Asy Syamilah 1/234).
Lebih dari itu, dalam fatwa MUI nomor 56 tahun 2016 tentang atribut keagamaan nonmuslim haram dipakai oleh seorang muslim, dikutip berbagai pernyataan ulama. Salah satunya pendapat ulama Syafi’iyyah, Imam Khatib Al-Syarbini dalam kitab “Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Alfazh al-Minhaj, Jilid 5 halaman 526 yang menegaskan adanya ta’dzir/sanksi bagi pelaku yang mengucapkan selamat atas hari raya orang kafir.
ﻭَﻳُﻌَﺰَّﺭُ ﻣَﻦْ ﻭَﺍﻓَﻖَ ﺍﻟْﻜُﻔَّﺎﺭَ ﻓِﻲ ﺃَﻋْﻴَﺎﺩِﻫِﻢْ ، ﻭَﻣَﻦْ ﻳُﻤْﺴِﻚُ ﺍﻟْﺤَﻴَّﺔَ ﻭَﻳَﺪْﺧُﻞُ ﺍﻟﻨَّﺎﺭَ ، ﻭَﻣَﻦْ ﻗَﺎﻝَ ﻟِﺬِﻣِّﻲٍّ ﻳَﺎ ﺣَﺎﺝُّ ، ﻭَﻣَﻦْ ﻫَﻨَّﺄَﻩُ ﺑِﻌِﻴﺪِﻩِ….
“Dihukum ta’zir terhadap orang-orang yang menyamai dengan kaum kafir dalam hari-hari raya mereka, dan orang-orang yang mengurung ular dan masuk ke dalam api, dan orang yang berkata kepada seorang kafir dzimmi ‘Ya Hajj’, dan orang yang mengucapkan selamat kepadanya (kafir dzimmi) di hari raya (orang kafir)…”
Dari sejumlah dalil dan penjelasan para ulama, amat jelas dan gamblang, bahwa persoalan haramnya ucapan selamat natal, tak perlu diragukan lagi.
Syubhat Tentang Ucapan Selamat Natal
Ada beberapa hal yang dijadikan alasan maraknya pembolehan ucapan natal. Sehingga, menjadi syubhat di tengah kaum Muslimin. Untuk itu perlu disampaikan bantahan yang argumentatif untuk memberikan pencerahan bagi kaum Muslimin.
Pertama, ucapan natal adalah wujud toleransi. Ketika orang-orang Kristen mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri, maka di hari raya mereka umat Islam menyampaikan selamat natal. Orang yang berpendapat dengan ini menyampaikan dalil sebagai justifikasi sikap mereka.
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا
“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa).” (QS. An Nisa’: 86).
Perlu diketahui, toleransi berarti sikap membiarkan keyakinan orang lain tanpa memerlukan persetujuan. Dalam bahasa Arab, disebut juga tasamuh (تسامح) yang artinya menerima perbedaan. Soal toleransi, Islam sudah sejak 14 abad lalu mengajarkan hal tersebut.
Meskipun dakwah terhadap orang-orang kafir seperti Yahudi dan Nasrani itu wajib, tetapi tidak boleh orang-orang kafir dipaksakan memeluk Islam.
لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.” (QS. Al Baqarah: 256).
Sehingga, orang-orang kafir dibiarkan menjalankan ajaran agamanya, tanpa mengusik atau mengganggu mereka.
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”. (QS. Al Kafirun: 6).
Realitanya, umat Islam di Indonesia sebagai penyumbang terbesar kemerdekaan di negeri ini, menjunjung tinggi kesatuan bangsa lewat sikap toleransi. Perhatikan, bagaimana para ulama yang merupakan founding father negeri ini, suka atau tidak suka merelakan dihapusnya tujuh kata dalam piagam Jakarta, sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan RI.
Selain itu, dalam kebebasan beribadah, masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim, rela hari libur nasional yang ditetapkan adalah hari Ahad, bukan hari Jum’at. sehingga orang-orang Kristen bisa melaksanakan ibadah mereka ke gereja dengan leluasa.
Dalam kenegaraan, tidak asing lagi di mana pejabat di tingkat pusat, seperti Menteri atau Kapolri dan pejabat daerah diduduki oleh orang-orang Kristen.
Demikian contoh-contoh nyata toleransi di Indonesia. Kembali pada topik masalah, seperti disampaikan di atas, toleransi adalah sebatas membiarkan orang beribadah, tanpa boleh diganggu. Sehingga, bila orang-orang Kristen hendak merayakan natal, maka hal itu dipersilahkan dan dijamin keamanannya oleh aparat yang berwajib.
Sementara umat Islam, membiarkan tidak boleh mengganggu mereka yang merayakan natal. Tidak perlu juga, ikut-ikutan merayakan, mengenakan atribut dan mengucapkan natal.
Persoalan, penganut Kristiani bila berhari raya Islam tiba, mereka ikut mengucapkan selamat Idul Fitri, pada dasarnya umat Islam tidak butuh itu dan tidak ada tuntutan kepada orang-orang beragama lain, untuk mengucapkan salam.
Dengan demikian, biarlah hari raya tiap-tiap pemeluk agama, dirayakan masing-masing penganutnya. Prinsip tersebut, disampaikan pula dalam firman Allah,
قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ
“Katakanlah: “Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing.” (QS. Al Isra’: 84)
أَنْتُمْ بَرِيئُونَ مِمَّا أَعْمَلُ وَأَنَا بَرِيءٌ مِمَّا تَعْمَلُونَ
“Kamu berlepas diri terhadap apa yang aku kerjakan dan akupun berlepas diri terhadap apa yang kamu kerjakan. (QS. Yunus: 41).
Adapun pihak yang berhujjah, dengan surat An-Nisa ayat 86, sehingga mengatasnamakan toleransi dengan membalas penghormatan berupa ucapan selamat hari raya kepada para penganut agama lain, ini jelas salah kaprah. Sebab ucapan salam penghormatan dalam surat An-Nisa ayat 86 konteksnya dilakukan bagi sesama Muslim, bukan orang kafir. Perhatikan penjelasan Ibnu Katsir dalam tafsirnya,
فإن بلغ المسلم غاية ما شرع في السلام؛ رد عليه مثل ما قال، فأما أهل الذمة فلا يُبْدؤون بالسلام ولا يزادون، بل يرد عليهم بما ثبت في الصحيحين، عن ابن عمر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “إذا سلم عليكم اليهود فإنما يقول أحدهم: السام عليك فقل: وعليك”
Maka, bila seorang muslim mengucapkan salam penghormatan dengan lafaz salam yang maksimal dari apa yang disyariatkan, maka balasannya adalah salam yang serupa. Terhadap ahli zimmah (kafir zimmi), mereka tidak boleh dimulai dengan salam; dan jawaban terhadap mereka tidak boleh dilebihkan, melainkan hanya dibalas dengan yang singkat, seperti yang disebutkan di dalam kitab Shahihain melalui Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. pernah bersabda:
“إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمُ الْيَهُودُ فَإِنَّمَا يَقُولُ أَحَدُهُمْ: السَّامُّ عَلَيْكَ فَقُلْ: وَعَلَيْكَ”
Apabila orang Yahudi mengucapkan salam kepada kalian, maka sebenarnya yang diucapkan seseorang dari mereka adalah, “As-Samu’alaikum (kebinasaan semoga menimpa kamu), maka katakanlah, “Wa’alaika (dan semoga kamu pun mendapat yang serupa).” (HR. Bukhari)
Di sisi lain, ucapan orang agama lain kepada Islam saat hari raya “Selamat Idul Fitri” tidak ada konsekuensi dari kalimat yang diucapkan. Karena, Idul Fitri artinya selamat kembali berbuka. Berbeda dengan ucapan “Selamat Natal” karena hal ini mengandung konsekuensi yang membahayakan ‘aqidah. Sebab ucapan tersebut artinya selamat hari lahirnya Yesus Kristus sebagai Anak Tuhan.
Keyakinan tersebut dalam Islam adalah perkara batil dan mengundang murka Allah. Sebab, hampir setiap Muslim sejak kecil sudah diajarkan tauhid dengan menghafal surat Al-Ikhlas, bahwa Allah itu esa, tidak beranak dan tidak diperanakkan,
لْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1) اللَّهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (4)
Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.” (QS. Al-Ikhlas: 1-4).
Maka, membalas ucapan selamat hari raya kepada penganut Kristen, sangat tidak berimbang sebagaimana jika kita ingin merujuk dalam surat An-Nisa ayat 86 di atas. Bahkan ucapan tersebut justru merugikan bagi seorang Muslim.
Kedua, soal niat dalam mengucapkan “selamat natal” bukan dimaksudkan atas hari kelahiran Yesus Kristus, tetapi hari lahirnya Nabi Isa bin Maryam. Orang yang berpendapat demikian, sekali lagi melakukan justifikasi dengan dalil. Menurut mereka, ucapan selamat atas kelahiran Nabi Isa ada di dalam Al-Qur’an,
وَالسَّلامُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُ وَيَوْمَ أَمُوتُ وَيَوْمَ أُبْعَثُ حَيًّا
“Dan keselamatan semoga dilimpahkan kepadaku (Isa ‘alaihissalam), pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali (QS. Maryam: 33).
Untuk diketahui, bahwa ayat di atas bukanlah dalil ucapan selamat atas kelahiran Nabi Isa apalagi ucapan selamat natal. Seandainya demikian, pasti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat sudah melakukannya. Karena merekalah yang paling paham Al-Qur’an dan paling dulu melakukan amal shalih. Sehingga, tidak ada tafsir kalangan salafus shalih yang menjelaskan bahwa ayat ini adalah dalil yang memerintahkan ucapan selamat atas kelahiran Nabi Isa apalagi Yesus Kristus.
Sebaliknya, ayat tersebut menegaskan posisi Nabi Isa, dia bukanlah Tuhan sebagaimana anggapan orang-orang Nasrani, tetapi mahluk yang beribadah kepada Allah Ta’ala. Al-Imam Ibnu Katsir menjelaskan tafsir surat Maryam ayat 33,
إثبات منه لعبوديته لله عز وجل، وأنه مخلوق من خلق الله يحيا ويموت ويبعث كسائر الخلائق، ولكن له السلامة في هذه الأحوال التي هي أشق ما يكون على العباد،
Suatu penegasan darinya, ‘ubudiyah (predikat kehambaan) terhadap Allah Ta’ala. Bahsasanya Isa adalah seorang makhluk Allah yang hidup dan mati serta dibangkitkan sebagaimana makhluk lainnya. Akan tetapi, Isa diselamatkan dari semua fase tersebut yang merupakan fase-fase yang paling berat dirasakan oleh semua hamba Allah.
Penjelasan tersebut menegaskan bahwa surat Maryam ayat 33 begitu bertentangan dengan esensi natal, yakni kelahiran Yesus sebagai anak Tuhan dan menjadi Tuhan itu sendiri.
Lebih detilnya, Syaikh Mutawalli Asy-Sya’rawi menjabarkan tentang tafsir surat Maryam ayat 33 sebagaimana berikut,
قوله : { والسلام عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُّ } [ مريم : 33 ] لأن يوم مولده مَرَّ بسلام ، رغم ما فيه من عجائب ، فلم يتعرَّض له أحد بسوء ، وهو الوليد الذي جاء من دون أب ، وكان من الممكن أنْ يتعرّض له ولأمه بعض المتحمسين الغيورين بالإيذاء ، لكن شيئاً من ذلك لم يحدث ، ومَرَّ الميلاد بسلام عليه وعلى أمه .
{ وَيَوْمَ أَمُوتُ } [ مريم : 33 ] لأنهم أخذوه ليصلبوه ، فنجّاه الله من أيديهم ، وألقى شبهه على شخص آخر ، ورفعه الله تعالى إلى السماء .
{ وَيَوْمَ أُبْعَثُ حَيّاً } [ مريم : 33 ] فليس هناك من الرسل مَنْ سيسأل هذه الأسئلة ، ويناقش هذه المناقشة التي نُوقِشها عيسى في الدنيا :
{ وَإِذْ قَالَ الله ياعيسى ابن مَرْيَمَ أَأَنتَ قُلتَ لِلنَّاسِ اتخذوني وَأُمِّيَ إلهين مِن دُونِ الله قَالَ سُبْحَانَكَ مَا يَكُونُ لي أَنْ أَقُولَ مَا لَيْسَ لِي بِحَقٍّ إِن كُنتُ قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلاَ أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنتَ عَلاَّمُ الغيوب * مَا قُلْتُ لَهُمْ إِلاَّ مَآ أَمَرْتَنِي بِهِ } [ المائدة : 116-117 ] .
وليس هذا قَدْحاً في مكانة عيسى عليه السلام؛ لأن ربَّه تبارك وتعالى يعلم أنه ما قال لقومه إلا ما أُمِرَ به ، ولكن أراد سبحانه توبيخ القوم الذين اتخذوه وأمه إلهين من دون الله ، فوجْه السلام في يوم { أُبْعَثُ حَيّاً } [ مريم : 33 ] أنه نُوقِش في الدنيا وبُرّئتْ ساحته .
Firman Allah “Dan keselamatan semoga dilimpahkan kepadaku” karena sesungguhnya pada hari kelahiran Isa, persalinannya berlangsung dengan selamat, bahkan pada kelahiran tersebut terdapat keajaiban, sehingga tidak ada satu keburukan pun yang mengenainya. Dialah (Isa) seorang anak laki-laki yang hadir tanpa bapak. Sangat mungkin ia dan ibundanya (Maryam) menghadapi orang-orang yang membencinya dengan perlakuan buruk. Akan tetapi sama sekali hal itu tak terjadi, sehingga proses kelahiran Nabi Isa dan Ibnya berlangsung dengan aman.
“Pada hari aku meninggal” karena sesungguhnya mereka (Bani Israil) telah berusaha menangkap Isa untuk menyalibnya, maka Allah menyelamatkannya dari kejahatan mereka, lalu Allah menyerupakan wajah Isa atas seseorang lainnya, dan Allah mengangkat Nabi Isa ke langit.
Tidak ada seorang rasul pun yang ditanyakan dengan pertanyaan ini oleh Allah Ta’ala, ia ditanya dengan pertanyaan ini, yang mana Nabi Isa pernah ditanyakan tentang hal tersebut saat di dunia,
Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: “Hai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: “Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?” Isa menjawab: “Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang gaib-gaib”. Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku… (QS. Al-Maidah: 116-117).
Ini bukanlah lantaran tercelanya kedudukan Nabi Isa, karena Allah Tabaraka Wa Ta’ala mengetahui, bahwasanya Isa tidaklah mengatakan perkataan melainkan berdasarkan perintah Rabbnya, akan tetapi Allah ingin mencela kaum (nasrani) yang menjadikan Isa dan ibundanya sebagai Tuhan selain Allah. Maka, itulah maksud dari keselamatan “Pada hari aku dibangkitkan hidup kembali”. Bahwa ia (nabi Isa) telah ditanya (tentang perbuatan orang Nasrani) di dunia dan setelah itu ia berlepas diri (dari perbuatan mereka).
Dengan demikian, penjelasan tersebut semakin menegaskan bahwa surat Maryam ayat 33 bukanlah dalil bolehnya ucapan selamat natal, melainkan hujjah yang membantah, bahwa Allah Ta’ala tidak memiliki anak dan menafikan adanya sesembahan lain selain diriNya.
Sehingga, bila ada yang berargumen bahwa mengucapkan selamat natal dengan maksud adalah selamat atas lahirnya Nabi Isa, bukan Yesus Kristus, hal itu pun tertolak. Karena dalil di atas bukan demikian yang dimaksud.
Tudingan Miring
Sebagian Muslim, seolah merasa tak enak hati bila tak mengucapkan selamat natal kepada orang Kristen yang merayakan. Takut dicap intoleran atau berdalih demi menjaga kerukunan beragama.
Perlu dipahami, jika yang dikejar adalah ridha manusia tak akan ada habisnya dan tak mungkin bisa diraih. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan hal itu dalam haditsnya,
مَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ اللَّهِ بِسَخَطِ النَّاسِ كَفَاهُ اللَّهُ مُؤْنَةَ النَّاسِ وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَاءَ النَّاسِ بِسَخَطِ اللَّهِ وَكَلَهُ اللَّهُ إِلَى النَّاسِ
“Barangsiapa yang mencari ridha Allah saat manusia tidak suka, maka Allah akan cukupkan dia dari beban manusia. Barangsiapa yang mencari ridha manusia namun Allah itu murka, maka Allah akan biarkan dia bergantung pada manusia. (HR. Tirmidzi).
Seharusnya, hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas menjadi acuan seorang Muslim. Siapa pun dia, apa pun jabatannya di mata publik, tetap memegang teguh prinsip. Jangan karena ingin meraih simpati orang-orang di luar Islam dan dianggap toleran, justru mengorbankan aqidahnya.
Seorang Muslim tak perlu merasa minder, rendah diri atau mengalami inferiority complex, lantaran arus utama pergaulan yang menabrak norma-norma agama Islam. Sebaliknya, orang teguh imannya adalah orang mulia di sisi Allah.
وَلَا تَهِنُوا۟ وَلَا تَحْزَنُوا۟ وَأَنتُمُ ٱلْأَعْلَوْنَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. (QS. Ali Imran 139).
Ada banyak jalan menjaga kerukunan, tanpa harus mengorbankan keimanan, seperti bersikap adil, berbuat baik, tolong menolong, kepada masyarakat, para tetangga, saudara, kerabat atau bahkan ayah bunda yang berbeda agama, selama hal itu dalam batasan yang diperbolehkan syariat.
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (8) إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (9(
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim. (QS. Al Mumtahanah: 8-9).
Semoga penjelasan dalam tulisan ini bisa memberikan manfaat dan pencerahan kepada umat Islam. Tak dimaksudkan untuk menyinggung SARA, namun upaya saling menasihati dalam kebenaran khusus bagi kaum Muslimin. Mudah-mudahan Allah senantiasa melindungi kaum Muslimin dari berbagai pendangkalan aqidah dan menguatkan mereka dengan ketakwaan. Wallahu a’lam.