JAKARTA, (Panjimas.com) – “Alhamdulillah, terima kasih banget. Nggak tahu musti ngomong apa,” ujar Ny Debi lirih, saat menerima beras zakat fitrah sebanyak 10 kg pada awal Ramadhan tahun ini.
Bagi ibu muda dengan dua anak yang masih balita itu, beras yang diterimanya dari LAZIS Dewan Dakwah sangat berarti. Sebab, setelah bercerai secara informal dengan suaminya, warga Kampung Pondokmiri Kabupaten Bogor, ini harus keluar rumah dan menghidupi diri sendiri dan kedua anak mereka. Mereka sekarang hidup menumpang di ruang kelas di sebuah Taman Pendidikan Qur’an.
Ny Debi satu diantara ribuan keluarga mustahik Nusantara penerima beras zakat fitrah dari LAZIS Dewan Dakwah. Zakat fitrah yang dibagikan sejak awal Ramadhan 1437 Hijriyah tersebut berasal dari kaum muslimin Jerman melalui Muslime Helfen Germany (MHG).
Menurut Mazhab Hanafiah, zakat fitrah dapat ditunaikan 1-2 tahun sebelum jatuh temponya. Berpedoman pada pendapat ini, umat Muslim Jerman melalui MHG mengirim zakat fitrahnya ke LAZIS Dewan Dakwah untuk disampaikan kepada saudara seiman di Indonesia.
Menurut Mazhab Syafiiyah, zakat fitrah dapat disalurkan mulai awal Ramadhan. Maka, sejak pekan pertama Ramadhan 1437 H ini, zakat fitrah dari Jerman itu terdistribusikan kepada yang berhak. Penyaluran dilakukan oleh para da’i Dewan Dakwah yang tersebar di pelosok Nusantara.
‘’Zakat fitrah dari MHG kita salurkan melalui para dai kita yang sedang bertugas di pedalaman Nusantara seperti di Tanah Karo (Sumut), Mentawai (Sumbar), Badui (Banten), Tengger (Jatim), Enggano (Bengkulu), Seruyan (Kalteng), Sintang (Kalbar), dan perbatasan RI-Timles (NTT) serta pedalaman Tasikmalaya (Jabar),’’ papar Mahmud Faaz dari LAZIS Dewan Dakwah.
“Alhamdulillah, haturnuhun MHG. Mudah-mudahan berkah sing deet rizkina (Terimakasih MHG. Semoga rizkinya banyak),” ujar Mak Saenah, penerima zakat fitrah beras di Desa Cigeulis, Kec Cigeulis, Kab Pandeglang, Banten.
Ucapan senada disampaikan warga di kaki Gunung Sinabung, Karo. ‘’Terima kasih, mejuah-juah,’’ ucap Mama Liana, penduduk Desa Sukandebi, Kec Namanteran, Karo.
Sedang bagi warga asli Mentawai, nasi merupakan kemewahan. Mereka selama ini makanan pokoknya umbi-umbian. ‘’Mananam ya Ustadz (nikmat Ustadz),’’ kata santri Pondok Tahfidz Dewan Dakwah Daarul Ulum Sikakap, Mentawai, ketika menikmati nasi dari beras zakat fitrah. [RN]