KARO, (Panjimas.com) – Sebanyak 30 dai yang bertugas di Kabupaten Karo, Sumatera Utara, mengikuti daurah dai (pelatihan juru dakwah) di Wisma Pemprov Sumut, Bukit Kubu, Berastagi, pada Rabu-Sabtu, 11-14 Mei 2016. Mereka berasal dari desa-desa di kaki Gunung Sinabung seperti Pertumbuhan, Nagari, Tanjung Beringin, Selakar, Sukandebi, Siosar, dan lain-lain.
Dauroh diselenggarakan oleh LAZIS Dewan Dakwah dan LAZ Ulil Albab Medan, dengan dukungan Bamuis BNI (Baitul Mal Ummat Islam Bank Negara Indonesia).
Para pemateri antara lain Mantan Ketua Dewan Dakwah Sumut Masri Sitanggang, tokoh dakwah senior Tanah Karo Ilyas Tarigan, Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Mohammad Natsir Ahmad Misbahul Anam, dan Sofwan Badrie dari Lembaga Dakwah An Nidaa Kuala Lumpur, serta Direktur Eksekutif LAZIS Dewan Dakwah Ade Salamun.
Misbahul Anam menjelaskan, dauroh ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas dai.
‘’Dauroh merupakan salah satu instrumen upaya meningkatkan kualitas dai. Upaya lainnya adalah kunjungan dakwah, komunikasi interaktif, dan pemberian bahan-bahan dakwah seperti buku, buletin, dan majalah,’’ papar Ketua Bidang Dakwah Dewan Dakwah tersebut.
Dalam dialog terungkap sejumlah kelemahan dakwah di Karo. Misalnya kapasitas dan kemampuan dai, kurangnya jumlah dai, minimnya dukungan pemda setempat, serta keterbatasan piranti penunjang dakwah seperti sarana transportasi.
Masri Sitanggang mengungkapkan, wilayah pemerintahan Kabupaten Karo sejak Desember 2006 telah menjadi 17 Kecamatan dan 258 Desa/Kelurahan. Jumlah penduduk Muslim sekitar 35%, dengan jumlah masjid hampir 200 buah.
Sejak akhir tahun 90-an, Dewan Dakwah Perwakilan Sumut telah menempatkan belasan dai seperti Iman Lubis (Kabanjahe), Sarodin Tarigan (Tigan Derket, Kec. Payung), M Syarif (Simpang Listrik Atas, Gundaling), Nursal Chan (Kaban Jahe), Sutrisno Ginting (Samura, Kabanjahe), dan Mawardi Noor (Simpang Empat).
Berikutnya, Dewan Dakwah Pusat juga menempatkan sejumlah da’i di Karo seperti Maradong dan Subhi Siregar, Asli Tarigan, Pangri Ginting, Ismail Sembiring, Heri Purba, Ahmad Jait Purba, Ginting Suka, Mahadi Ginting, Ali Imran, Sada Perarih Ginting, Janaidi Manik, dan Abdul Manaf Sitanggang.
Diikuti dengan penempatan dai sarjana STID Natsir seperti Maulana (Sukandebi) yang lalu diteruskan Marjoni, dan Romadhona di Pametar. Disusul lagi dengan 5 dai yang ditempatkan atas kerjasama dengan Yayasan Guru Sudharmo dan Lazis PLN Pusat.
Ilyas Tarigan memaparkan, dalam kehidupan masyarakat Karo, idaman dan harapan (sura-sura pusuh peraten) yang ingin diwujudkan adalah pencapaian 3 (tiga) hal pokok yang disebut Tuah, Sangap, dan Mejuahjuah.
Tuah berarti menerima berkah dari Tuhan Yang Maha Esa, mendapat keturunan, banyak kawan dan sahabat, cerdas, gigih, disiplin dan menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk generasi yang akan datang.
Sangap berarti mendapat rejeki, kemakmuran bagi pribadi, bagi anggota keluarga, bagi masyarakat serta bagi generasi yang akan datang.
Mejuahjuah berarti sehat sejahtera lahir batin, aman, damai, bersemangat serta keseimbangan dan keselarasan antara manusia dengan manusia, antara manusia dan lingkungan, dan antara manusia dengan Tuhannya.
Ketiga hal tersebut, menurut Ilyas, selaras dengan tujuan Islam dan dakwah. ‘’Tinggal bagaimana kita menggunakan pendekatan dakwah yang tepat untuk mewujudkan harapan-harapan tersebut,’’ katanya.
Sebagai tindak lanjut dauroh, para dai sepakat menghidupkan forum dai Karo. Forum ini menjadi ajang pertemuan para dai setiap 3 bulan.
Selain itu, LAZIS Dewan Dakwah dan LAZ Ulil Albab juga akan menggelar dauroh lanjutan dengan materi yang lebih spesifik. Misalnya jurnalistik dakwah, pelatihan lifeskill pertanian, dan pemahaman serta antisipasi gerakan sesat.[RN]