(Panjimas.com) – Munculnya Cut Nyak Dien sebetulnya cukup mengherankan. Bagaimana bisa dalam masyarakat yang –katanya– sangat didominasi laki-laki (patriarkhi) dapat muncul seorang panglima perang perempuan. Jelas membutuhkan suatu revolusi social untuk munculnya seorang seperti Cut Nyak Dien dalam masyarakat patriarkhi. Nyatanya Cut Nyak Dien bukan tokoh rekayasa. Jelas punya dia bukan tokoh ciptaan Belanda.
Harap diketahui, Aceh tidak pernah tunduk pada Belanda sampai tahun 1904. Kalaupun akhirnya ditaklukkan, para ulama Aceh tidak mengakui bahwa mereka tunduk pada Belanda. Oleh sebab itu, perlawanan terus dikobarkan. Jadi tidak mungkin munculnya sosok Cut Nyak Dien dipengaruhi ide feminism Barat.
Lebih menarik lagi, tradisi perempuan berkiprah di ruang public, bahkan menjadi pemimpin Negara bukan barang baru di Aceh. Pemimpin kerajaan Aceh antara tahun 1641 sampai 1699 adalah perempuan. Mereka masing-masing Sri Ratu Tajul Alam Safitudin Jihan Berdaulat (1641-1675), Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin (1675-1678), Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah (16-78-1688), dan Sri Ratu Kamlat Syah (1688-1699) (Ali Hasyim, 1977).
Pada awal abad ke-17 saat Eropa baru memasuki zaman yang mereka sebut “pencerahan” (renaisan, afklarung, enlightenment), jangan tanyakan soal wanita menjadi pemimpin public. Para wanita Eropa nasibnya tidak lebih daripada budak. Kalaupun mereka menjadi bangsawan perannya tetap berada di bawah sub-ordinasi laki-laki. Struktur masyarakat yang patriarkhi sangat dominan di Eropa saat itu. Kenyataan ini pula yang menjadi sebab munculnya gerakan-gerakan feminis di Eropa yang sangat memusuhi dan membenci struktur patriarkhi. Walaupun umumnya diklaim bahwa gerakan ini mulai diperkenalkan Lady Mary di Belanda tahun 1785, namun gerakan sesungguhnya baru muncul menjelang abad ke-19.
Kalau dibandingkan dengan apa yang terjadi di Aceh, tidak mungkin bahwa munculnya raja-raja perempuan di Aceh ini adalah pengaruh di Eropa. Lagi pula pada masa-masa berikutnya, ketidaksenangan dan permusuhan rakyat kerajaan Aceh terhadap Belanda (baca: Barat) begitu kuat. Inilah salah satu yang membuat Belanda harus berjibaku selama lebih dari satu abad untuk menaklukkan negeri ini. Namun, itupun tidak sepenuhnya. Hanya kemenangan simbolik dan politik yang didapatkan Belanda. Sisanya Aceh masih seperti sedia kala, terutama dalam masalah keyakinan dan budaya yang dipegang.
Sudah lama memang referensi sejarang bangsa ini melulu Jawa-Sentris. Itupun terbatas sejarah priyayi Jawa. Salah satunya soal Kartini. Kartini yang dibangga-banggakan itu adalah seorang priyayi perempuan Jawa. Apa yang diceritakannya adalah cerita mengenai kehidupan “para-priyayi” Jawa yang barangkali begitu. Tradisi para priyayi ini berbeda sangat mencolok dengan kehidupan kaum “cacah”. Secara cukup atraktif Clifford Geertz berhasil mendemonstrasikan bagaimana perilaku komunitas priyayi yang berbeda dengan kaum “cacah” ini dalam Religion of Java.
Dari sisi relasi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat “cacah” (rakyat biasa) Jawa ketimpangan seperti yang diceritakan Kartini terasa berlebihan. Lihat saja saat menggarap sawah atau kebun yang sejak berabad-abad menjadi pencaharian rakyat Jawa. Selalu sawah akan digarap bersama antara laki-laki dan perempuan. Selalu ada pembagian peran. Misalnya, laki-laki mencangkul, perempuan menyiangi rumput; dan sebagainya. Aktivitas di pasar-pasar pun selalu bercampur antara laki-laki dan perempuan. Di pesantren-pesantren, ulamanya tidak hanya laki-laki. Istilah “kiai” (ulama laki-laki) dan “nyai” (ulama perempuan) sudah hidup begitu lama. Pesantren pun sudah sejak awal berdirinya selalu diperuntukkan bagi santri putra dan putri.
Kalau mereka kenyataan ini, apakah sungguh-sungguh kaum perempuan Jawa ini termarjinalkan? Jangan-jangan itu hanya terjadi di sekitar lingkungan Kartini yang priyayi. Sementara di akar rumput, apa yang diceritakan Kartini tidak pernah terjadi. Kalau memang begitu masih layakkah ‘bulan’ Kartini dipercaya dan dijadikan semacam “kitab suci” mengenai kondisi perempuan di negeri ini?
Soal pendidikan pun sepertinya hanya berlaku di lingkungan Kartini. Mungkin benar para priyayi Jawa lebih senang menyekolahkan anak-anak laki-laki daripada anak-anak perempuan seperti yang diceritakan Kartini. Namun, klaim ini patut dipertanyakan kalau digunakan untuk memotret kaum “cacah”. Salah satu bukti adalah tradisi di pesantren-pesantren yang memberikan ruang seluas-luasnya, bahkan khusus, bagi kaum perempuan. Selain itu, masalah buta huruf sesungguhnya tidak hanya dialami kaum perempuan. Laki-laki pun menghadapi problem yang sama. Jadi, kalau perempuan saat itu tidak banyak yang bersekolah, bukan masalah diskriminasi, melainkan karena memang sekolahnya tidak ada. Jangankan perempuan, laki-laki pun sama-sama tidak sekolah ke sekolah. Kebodohan ini merata di kalangan laki-laki dan perempuan. Sama sekali bukan monopoli kaum perempuan saja.
Sederet fakta lain seperti munculnya tokoh seperti Rohana Kudus di Sumatera Barat dan Dewi Sartika di Bandung semakin memperkokoh argument bahwa sesungguhnya di negeri ini kesadaran akan kesetaraan laki-laki dan perempuan sudah sejak lama ada. Kesadaran ini bukan kesadaran impor seperti yang diklaim para aktivis feminis. Fakta-fakta ini juga semakin menegaskan bahwa sesungguhnya Indonesia tidak menderita sindrom patriakhi seperti yang terjadi di Eropa sana.
Oleh karena kesadaran ini bukan impor, jelas pula prinsip kesetaraan yang dipegang masyarakat Indonesia sama sekali berbeda dengan kesetaraan gender yang diajarkan Barat-sekuler. Kesetaraan gender yang digadang-gadang para aktivis perempuan melabrak norma-norma budaya dan agama. Sementara kesadaran yang tumbuh di kalangan perempuan Indonesia seperti Cut Nyak Dien adalah kesadaran yang berporos pada budaya. Budaya yang tumbuh sangat dipengaruhi prinsip-prinsip Islam. Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah. Oleh karena itu, sekalipun para perempuan Muslimah ini bergerak, agama tidak pernah mereka serang dan abaikan. Lebih dari itu, mereka malah mau bergerak karena diinspirasi oleh kesadaran keagamaan mereka. Kalau begitu, sesungguhnya membawa ide emansipasi dan feminism dari Barat ke Indonesia adalah salah alamat.[DP]
Penulis, Dr. Tiar Anwar Bachtiar