(Panjimas.com) – Di tengah ramainya wacana larangan mencari pemimpin non Muslim, kita dikejutkan dengan adanya pimpinan partai politik yang non Muslim keluar masuk pesantren (dan masjid) untuk menjajakan partai politik yang baru diploklamirkan. Dengan memakai baju koko dan peci hitam, Si Fulan itu disambut dengan gegap gempita, tangannya pun diciumi oleh para santri.
Bolehkah non Muslim masuk Masjid? Di kalangan umat Islam, status non-Muslim masuk masjid sedikitnya ada tiga: Pertama, membolehkan; kedua, melarang; dan ketiga, hanya dilarang untuk Masjidil Haram saja.
Adapun pendapat yang kuat adalah pendapat para ulama yang menyatakan bahwa non Muslim boleh masuk masjid jika punya tujuan yang dibenarkan secara syar’i. Seperti, mendengarkan kajian Islam ataun konsultasi tentang agama Islam. Untuk urusan yang dihalalkan, seperti berteduh atau membangun masjid (jadi tukang atau kuli bangunan). Jika non Muslim masuk masjid hanya untuk keperluan wisata, dan berfoto-ria didalamnya, hal ini terlarang secara syar’i.
Dalam salah satu hadis shoheh yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, disebutkan bahwa para Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah mengikat Tsumamah bin Utsal al-Hanafi, seorang tawanan yang musyrik, diikat di salah satu tiang Masjid Nabawi, di Madinah. Tak lama kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan hidayah kepadanya, dan Tsumamah pun masuk Islam.
Polemik tentang boleh tidaknya non Muslim masuk masjid, pernah terjadi ketika Obama dan istrinya, masuk masjid Istiqlal, November 2010. Waktu itu, Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. KH Ali Mutofa Ya’kub punya argumen membolehkan orang kafir masuk masjid.
Ali Mutofa Ya’kub membolehkan dengan bersandar pada argumen bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah menerima delegasi Kristen Najran di Masjid Nabawi. Ia merujuk riwayat Ibnu Ishak (w.151 H) dan Ibnu Sa’ad (w.751 H). Riwayat Ibnu Ishak bersumber dari Muhammad bin Ja’far bin Zubeir (Sirah Ibnu Hisyam 1/574). Sedangkan Sa’ad, selain mengambil dari Muhammad bin Ja’far bin Zubeir, juga dari Muhammad bin Amarah bin Ghaziyah (Thabaqat Kubra 1/164).
Pendapat tersebut disanggah oleh Ustadz M. Tholib, Amir Majelis Mujahidin Indonesia. Silang pendapat antara Ali Mustofa Ya’kub dengan M Tholib dimuat di Majalah Gatra di medio Desember 2010 dan Januari 2011. Menurut M Tholib, Muhammad bin Ja’far bin Zubeir (w.110 H) yang menjadi nara sumber utama Ibnu Ishak dan Ibnu Sa’ad, hidup setelah zaman tabi’in. Dia tidak bertemu dengan tabi’in, sahabat, apalagi dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Adapun Muhammad bin Amarah bin Ghaziyah tidak dikenal identitasnya.
Apabila kedua orang tersebut meriwayatkan sesuatu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa Sallam, mestinya menyebutkan sumber pengambilan, baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in. Jika tidak, maka derajat periwayatannya tidak lebih dari qila waqala atau kabar burung belaka, dan karena itu, tidak valid. Atas dasar itu, maka tidak bisa dijadikan hujjah untuk menyimpulkan suatu hukum.
Lalu, bagaimana dengan non Muslim masuk masjid dan mempromosikan partai politik yang tidak bersandarkan syariat Islam? Ini jelas perbuatan maksiat yang mestinya tidak boleh terjadi di rumah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rumah Allah Subhanahu wa Ta’ala mestinya dijaga kesuciannya. Bukankah Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقْرَبُواْ الصَّلاَةَ وَأَنتُمْ سُكَارَى حَتَّىَ تَعْلَمُواْ مَا تَقُولُونَ وَلاَ جُنُباً إِلاَّ عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىَ تَغْتَسِلُواْ وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاء أَحَدٌ مِّنكُم مِّن الْغَآئِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء فَلَمْ تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيداً طَيِّباً فَامْسَحُواْ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَفُوّاً غَفُوراً
“Wahai kaum mukmin…Janganlah kalian masuk masjid ketika kalian junub, kecuali sekadar lewat saja hingga kalian mandi.” (QS. An Nisaa’:43). Orang mukmin yang dalam keadan junub saja dilarang, bagaimana pula dengan non Muslim yang masuk masjid?
Bagaimana pun, yang memakmurkan masjid adalah orang-orang mukmin, yang percaya pada hari akhir, yang menegakkan sholat, yang mengeluarkan zakat, dan tidak takut pada siapa pun kecuali pada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Hal ini jelas tersurat dalam Al-Qur’an surah at-Taubah ayat 18. Apalagi non Muslim yang masuk masjid itu dalam rangka mempromosikan partai politiknya yang jelas-jelas tidak ber-azas-kan syariat Islam.
Non Muslim dilarang masuk masjid tanpa alasan yang dibenarkan secara syar’i, tidaklah menyalahi asas toleransi. Kita bisa toleran dengan pemeluk agama apa pun, dalam hal muamalah, tapi tidak dengan cara menginjak-injak sajadah yang ada di dalam masjid. Apalagi ini untuk keperluan politik praktis. Persoalannya jadi beda jika non Muslim masuk masjid dalam rangka menerima dakwah Islam, dan akhirnya –atas hidayah Allah Subhanahu wa Ta’ala– masuk Islam.
Tapi, jika non Muslim masuk masjid dan menginjak-injak sajadah hanya untuk kepentingan politik, mengajak kepada partainya yang tidak ber-azas Islam, maka itu bukan bentuk dari toleransi. Ini bentuk pelecehan dan pembodohan terhadap umat Islam. Dan, siapa pun orang Muslim yang membawa dan mengajak orang kafir masuk masjid tanpa alasan syar’i, sungguh tidak punya adab.*[RN/hidayatullah]
Penulis, Herry Mohammad
Wartawan, Pemerhati Politik Islam