(Panjimas.com) – Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa sepanjang sejarah perjalanan Republik Indonesia sebagai suatu negara yang baru merdeka pernah melewati suatu fase otoritarian. Kita mengalami bersama bagaimana otoritarianisme model Soekarno yang biasa disebut dengan “orde lama” yang kurang lebih 20 tahun lamanya dan otoritarianisme model Soeharto yang biasa dikenal “orde baru”, yang cukup berumur panjang selama 32 tahun. Yang satu tidak lebih baik dari yang lainnya.
Begitu tahun 1998 rezim Soeharto yang berkuasa saat itu berhasil dijatuhkan oleh kekuatan massa. Masuknya kita ke babak baru bernama reformasi yang menimbulkan euforia yang luar biasa ditengah masyarakat luas, saking besarnya euforia tersebut sampai-sampai tidak jarang kebablasan hingga segala bentuk aturan hukum sering kali diterobos. Kondisi semakin carut-marut, politik yang tidak stabil, perangkat hukum yang tidak berjalan sebagaimana mestinya, munculnya konflik berdarah Ambon dan semacamnya hingga kemaksiatan yang merajalela, mewarnai awal era reformasi.
Dalam konteks sosial inilah kemudian umat Islam bangkit, gerakan-gerakan Islam non- mainstream yang selama ini bergerak dibawah tanah mulai bermunculan kepermukaan, menggelora dengan semangat dan tekad bulat mencoba ikut memperbaiki kondisi umat yang mulai dirusak oleh berbagai gerakan misionaris, kemaksiatan, komunisme, liberalisme dan lainnya yang dapat merusak tatanan kehidupan umat Islam. Begitu semaraknya kegiatan dakwah, hisbah dan jihad yang dilakukan oleh kelompok pergerakan Islam pada berbagai bidang, dan tersebar dalam berbagai organisasi masyarakat atau ormas maupun partai politik.
Reformasi yang digadang-gadang setinggi langit pun ternyata hanya mimpi di siang hari bolong. Muncul pola otoritarianisme yang mencoba menyembunyikan kekejiannya dalam topeng “penegakan HAM”, “Menjunjung nilai demokrasi”, “Supremasi Hukum.” Salah satu bentuk otoriatarianisme tersebut yaitu lahirnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang diundangkan sejak tanggal 18 oktober 2002 dan kemudian diresmikan menjadi Undang-undang nomor 15 tahun 2003.
Dengan lahirnya serangkaian aturan mengenai tindak pidana terorisme, seharusnya masyarakat bisa merasa aman dan nyaman. Akan tetapi kenyataan sebaliknya, masyarakat dibuat resah dengan berbagai tindakan kepolisian dan dalam hal ini diwakili detasemen khusus anti teror 88. timbul rasa saling curiga di antara masyarakat, saling tuduh menuduh yang dapat berujung pada konflik horisontal antara masyarakat. Belum lagi rasa mencekam yang dialami masyarakat bila di daerah sekitarnya ada tertuduh pelaku terorisme, walaupun belum tentu benar tuduhan terebut.
Klausa yang digunakan dalam Undang-undang ini adalah “Setiap orang” , akan tetapi pada praktiknya Polisi lewat Densus 88 selalu manyasar umat Islam. Padahal secara definisi, seharusnya tindakan ini juga dapat dikenakan pada semisal Organisasi Papua Merdeka, bahkan polisi sendiri terkadang masuk dalam kategori ini. ini lah yang menjadi salah satu kejanggalan dari undang-undang ini, seakan-akan undang-undang ini dikonstruksikan hanya menyasar umat Islam dan lebih khusus lagi aktifis dakwah Islam, walaupun tidak tertulis dalam undang-undang tersebut.
Sering kali penegakan kasus terorisme tidak ada sama sekali due process of law, dengan mudahnya Densus 88 menciduk orang tanpa bukti yang valid, begitu salah tangkap dibebaskan begitu saja tanpa ada direhabilitasi, bahkan kabarnya pernah terjadi kasus salah tembak dan bahkan sampai kasus kematian tertuduh teroris yang tidak wajar. kasus kematian almarhum Siyono yang tidak wajar menambah sederetan kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh lembaga resmi anti teror kepolisian Republik Indonesia tersebut.
Kematian Siyono ini sangat janggal. Bagaimana tidak, Siyono yang di tangkap tanpa perlawanan depan mata kepala keluarganya sendiri, harus pulang terbujur kaku tanpa boleh dilihat bagaimana kondisi tubuh Siyono dan penyebab kematiannya. Ini jelas bertentangan dengan asas kepastian hukum dan tentunya melanggar hak asasi manusia, ini juga prinsip yang dianut oleh konstitusi kita, Tetapi kenapa sampai sekarang, pelanggaran tersebut tetap dibiarkan?
Muncul jawaban atas pertanyaan tersebut, “Bahwa tindakan terorisme adalah extraordinary crime atau kejahatan luar biasa, sehingga treatment-nya juga luar biasa.” Kalau begitu jawabannya, maka korupsi dan narkoba juga extraordinary crime tetapi kenapa sampai sekarang perlakuannya berbeda antara satu sama lain? Kita ambil contoh Artalita Suryani pelaku korupsi mendapatkan perlakuan istimewa dengan ruang sel layaknya kamar hotel.
Dapat juga kita lihat Fredi Budiman, bandar narkoba yang bahkan dari dalam selnya masih bisa mengendalikan peredaran narkoba. Akan tetapi lihatlah KH Abu Bakar Ba’asyir seorang ustadz yang sudah sepuh dan sering sakit yang dituduh mendanai kegiatan terorisme, walaupun sampai sekarang masih dipertanyakan, ditempatkan di sel isolasi yang lembab, sempit, dan kotor, yang mana tidak layak ditempati oleh seseorang yang sudah tidak berumur muda lagi dan sering sakit-sakitan.
Walaupun begitu banyak masalah yang melingkupi Undang-undang pemberantasan terorisme ini, akan tetapi muncul wacana untuk merevisinya pada masa pemerintahan Jokowi-JK ini. mengambil momentum kejadian bom Thamrin, pemerintah terutama Polri mendesak perlunya penguatan undang-undang ini. Ada setidaknya enam poin yang diusulkan Kapolri (https://m.beritasatu.com) untuk revisi Undang-undang pemberantasan terorisme, antara lain:
1) Revisi perlu difokuskan untuk penguatan Polri, tidak hanya soal penanggulangan terorisme namun juga dalam hal pencegahan dan deradikalisasi.
2) Perlunya penambahan bab dan pencegahan dengan menjadikan UU Antiterorisme sebagai lex specialis di dalam KUHAP dan KUHP.
3) Perlu perluasan kategori tindak pidana terorisme seperti doktrin radikal, cuci otak, baiat terhadap organisasi teroris, ceramah provokatif, pelatihan kemampuan layaknya militer untuk dapat digolongkan sebagai tindak pidana terorisme.
4) Perlunya penguatan di dalam hukum acara, seperti dalam hal penangkapan terduga teroris yang sebelumnya hanya bisa dilakukan 7 x 24 jam menjadi 30 x 24 jam.
5) Masa waktu penahanan dari semula 180 hari menjadi 240 hari.
6) Dalam persidangan terhadap saksi dapat dilakukan melalui telekonferensi untuk mencegah ancaman. Seringkali saksi tak mau bersaksi karena takut akan ancaman.
Ini tentunya menjadi pertanyaan sendiri, bagaimana UU Terorisme yang sudah begitu kuat justru diminta perkuat kembali. Bahkan dalam permintaan Kapolri tersebut, ada yang perlu di garis bawahi mengenai perluasan tindak pidana terorisme dengan memasukan doktrin radikal dan ceramah provokatif. Kategori ini sangat multi tafsir dan dapat di salah gunakan. Bisa saja hal ini digunakan rezim untuk membungkam lawan politiknya atau lebih parah lagi membungkam kritik terhadap rezim. Tentu saja yang paling mudah menjadi korban adalah aktifis dakwah yang kritis terhadap kebijakan pemerintah.
Kita tentu tidak mau adanya rasa tidak aman atau semacamnya yang diakibatkan oleh tindakan kekerasan yang tidak perlu. Akan tetapi, dalam penegakan hukum tetap harus adil, akuntabel serta berasakan due process of law. Negara memang merupakan entitas yang secara sah dapat menggunakan “kekerasan”, tapi mereka yang diberikan kuasa untuk menggunakan kekerasan secara legal oleh negara harus melakukan secara akuntabel dan fair dengan menjunjung tinggi asas hukum. Bila Negara menggunakan kewenangannya secara serampangan, artinya negara tersebut boleh dikatakan dijalankan dengan cara otoriterianisme.[RN]
Penulis, Ali Alatas, SH
Ketua Umum Front Mahasiswa Islam (Sayap Dakwah Kampus FPI)