(Panjimas.com) – Menjelang akhir tahun 2015, tepatnya tanggal 13 Oktober 2015, konflik bernuansa agama pecah di Singkil. Satu orang meninggal dan 5 luka-luka akibat terkena senjata rakitan. Sejak hari itu, Aceh Singkil menjadi perhatian publik. Bukan saja nasional bahkan dunia. Sehari kemudian, Bapak Kapolri langsung turun ke Singkil. Bahkan Kapolda Aceh dan Pangdam menginap beberapa hari di Singkil mengendalikan keamanan agar konflik tidak meluas.
Konflik serupa pernah terjadi tahun 1979. Tidak lama kemudian, perjanjian damai berhasil dibuat. Isinya antara lain ummat Islam dan Kristen berjanji akan menjamin ketertiban dan keamanan. Ummat Kristen berjanji tidak akan mendirikan/rehab gereja dan tidak mendatangkan pastor/pendeta sebelum mendapat izin dari pemerintah Aceh Selatan (saat itu belum dimekarkan).
Perjanjian tersebut ditanda tangani tanggal 11 Juli 1979, masing-masing tokoh Islam dan Kristen di hadapan Camat Simpang Kanan, Dan Sek 106/16 Simpang Kanan, Danramil 0107/18 Simpang Kanan dan Kepala KUA Kecamatan Simpang Kanan.
Tiga bulan kemudian, tepatnya tanggal 13 Oktober 1979, Ummat Islam dan Ummat Kristen sepakat membuat Ikrar Kerukunan Ummat Beragama. Ikrar tersebut ditandatangani oleh masing-masing 11 pemuka Islam dan 11 pemuka Kristen, disaksikan Ketua Muspida Tingkat II Aceh Selatan, Ketua Muspida Tingkat II Tananuli Tengah-Sumut, Ketua Muspida Tingkat II Dairi-Sumut, Camat Simpang Kanan, Dan Sek 106/16 Simpang Kanan, Danramil 0107/18 Simpang Kanan dan Kepala KUA Kecamatan Simpang Kanan. Isinya, kedua belah pihak akan memupuk persaudaraan dan membina kerukunan beragama.
Seiring dengan berjalannya waktu, jumlah masyarakat non muslim kian bertambah. Gereja/undung-undung juga bertambah. Para pendeta sering berdatangan dari luar Aceh Singkil. Keadaan tersebut lambat laun mendapat reaksi dari warga muslim. Ummat Kristen dianggap telah melanggar perjanjian. Di awal tahun 2000, protes masyarakat mulai terdengar dan semakin terasa.
Untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk, pada tahun 2001, Bupati Aceh Singkil mengundang kedua belah pihak untuk bermusyawarah. Hasilnya, dibuat satu perjanjian, salah satu isinya ummat Islam menyatakan keinginan untuk hidup berdampingan secara damai. Selanjutnya ummat Islam dan ummat Kristen akan mematuhi perjanjian 1979. Dalam perjanjian itu disepakati pula berdirinya 1 unit gereja dan 4 undung-undung sebagai bentuk toleransi ummat Islam dan wujud ketulusan hati menjaga kerukunan antar ummat beragama. Ummat Kristen berjanji akan membongkar sendiri bangunan-bangunan yang dijadikan tempat ibadah, selain 1 unit gereja dan 4 undung-undung sebagaimana dimaksud di atas. Perjanjian ini ditanda tangani tanggal 11 Oktober 2001 oleh masing-masing tokoh Islam dan Kristen yang berhadir, disaksikan Bupati Aceh Singkil, Ketua DPRD Aceh Singkil, Wabup Aceh Singkil, Kajari Aceh Singkil, Ketua Pengadilan Aceh Singkil, Sekda Aceh Singkil, Pabung 0107 Aceh Selatan, Anggota DPRD Prov. NAD, dan sejumlah pejabat lainnya. Perjanjian ini disebut pula perjanjian 2001.
Perjanjian yang dilanggar
Dari rentetan peristiwa di atas, jelas sekali bahwa ada perjanjian-perjanjian yang dilanggar. Hal itu harus diakui sebagai bahan evaluasi dan dicarikan jalan keluarnya. Bukan ditutup-tutupi dengan dalih sensitifit atau provokatif. Dalam perjanjian 2001 misalnya, pihak Kristen bersedia membongkar sendiri bangunan yang ada selain 1 gereja dan 4 undung-undung (gereja kecil), tapi ternyata tidak ditepati. Asalannya, jumlah warga Kristen terus bertambah. Kebebasan beragama dan beribadah dijadikan pula sebagai dalih mendirikan gereja/gereja tanpa izin yang notabene melanggar perjanjian kedua belah pihak.
Dalam undang-Undang dasar 1945 pasal 29 ayat (2) disebutkan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya. Pasal itu hendaknya diterjemahkan secara benar. Jika ibadah diterjemahkan sesuai makna katanya, bisa kacau sekali. Sebab, jihad juga ibadah, nikah juga ibadah, menghentikan perjudian juga ibadah. Tapi dalam ibadah ada aturan yang harus ditaati. Demikian pula dalam pendirian gereja/undung-undung. Harus sesuai pergub Nomor 25 tahun 2007, apalagi di daerah Aceh yang memberlakukan syari’at Islam. Pemaksaan kehendak untuk membangun gereja/undung-undung dengan dalih kebebasan beribadah dapat merusak kebebasan itu sendiri.
Sangat Toleran
Jika persyaratan pendirian gereja/ undung-undung telah terpenuhi, ummat Islam tidak akan melakukan protes. Buktinya, lima gereja/undung-undung yang tercantum dalam perjanjian 2001 tidak pernah diprotes warga. Ummat Islam yang tinggal di Aceh Singkil sesungguhnya sangat toleran. Lahirnya perjanjian damai merupakan salah satu bukti tolerannya ummat Islam. Bukan itu saja, ketika terjadi konflik tahun 1979, banyak warga Kristen pergi mengungsi. Namun tidak satupun harta benda mereka yang hilang. Demikian pula tahun 2015 lalu, kampung yang sepi ditinggal mengungsi tetap aman dan tidak diganggu oleh ummat Islam, meskipun korban yang meninggal dari pihak ummat Islam. Ini merupakan fakta tak terbantahkan, bahwa warga muslim Aceh Singkil dan warga Aceh pada umumnya sangat baik kepada minoritas, menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dan sangat bersahabat.
Sikap toleransi yang ditampilkan ummat Islam bukan karena faktor kedekatan marga atau silsilah semata, melainkan karena Islam memang melarang ummatnya menganggu ummat agama lain. Rasulullah saw bersabda: “Man Adzaa Dzimmiyyan Fa Ana Khoshmuhu, Khoosamtuhu Yaumal Qiyaamah” (Barangsiapa yg menyakiti/ mengganggu Kafir Dzimmi, maka aku jadi musuhnya, niscaya aku musuhi dia di hari kiyamat).
Solusi Damai
Permasalahan kasus Singkil ini tidak mungkin dibiarkan begitus saja. Mengabaikan masalah ini sama dengan menyimpan bara di bawah tumpukan jerami kering yang suatu saat dapat terbakar. Pemerintah harus memastikan proses pemulihan pasca konflik berjalan dengan baik, sesuai dengan aturan yang berlaku sehingga dapat diterima kedua belah pihak. Dalam undang-undang nomor 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, pasal 36 ayat (1) dijelaskan Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban melakukan upaya Pemulihan Pascakonflik secara terencana, terpadu, berkelanjutan, dan terukur. Pada ayat (2) dijelaskan pemulihan pasca konflik meliputi rekonsiliasi, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Pasal 37 ayat (1) dijelaskan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan rekonsiliasi antara para pihak dengan cara: a. perundingan secara damai; b. pemberian restitusi; dan/atau c. pemaafan. Pasal 38 ayat (1) dan (2) dijelaskan, rehabilitasi diantaranya pemulihan psikologis korban Konflik.
Untuk mewujudkan itu, maka masing-masing perwakilan ummat Islam dan Ummat Kristen harus duduk bersama membicarakan masalah penyelesaian konflik, dimulai dari rekonsiliasi dan rehabilitas bagi keluarga korban yang meninggal atau luka-luka. Selanjutnya dibahas pula masalah perjanjian yang pernah dibuat, apakah perlu diperbaharui, diganti atau dipertahankan. Termasuk membicarakan hasil musyawarah tanggal 12 Oktober 2015 lalu. Barulah kemudian dibicarakan tentang izin gereja/undung-undung. Jadi jangan terbalik. Justru akan rumit sekali, bila izin dikeluarkan sebelum proses damai antara kedua belah pihak. Kita berharap, konflik ini tidak menjadi konflik turunan yang diwariskan kepada anak cucu kita.
Penulis, Azwar Ramnur, MA.
Sektaris Forum Ummat Islam (FUI) Kab. Aceh Singkil