SOLO, (Panjimas.com) – Dalam rangka semarak milad Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) ke-18, Pengurus Daerah KAMMI Soloraya mengadakan diskusi “Anti Radikalisme: Rekonstruksi Radikalisme Dalam Bernegara” pada Rabu (30/3/2016) siang di Solo’s Bistro Restauran Solo.
Diskusi selama dua jam ini sedianya menghadirkan tiga panelis, yakni Dr. Mudhofir Abdullah (Rektor IAIN Surakarta), MT Arifin (Pengamat Politik), dan K.H. Muhammad Ali (Ponpes Ta’mirul Islam Surakarta). Namun Dr. Mudhofir berhalangan hadir.
Diskusi diikuti mahasiswa maupun masyarakat umum dan berlangsung cukup hangat. Tampak berbagai pandangan yang masing-masing memiliki kecenderungan yang berbeda, baik antara panelis sendiri maupun peserta.
MT Arifin lebih menitikberatkan pada makna radikalisme yang ternyata belum ada kesepakatan makna.
“Radikalisme dan terorisme itu berbeda… Radikalisme dengan radikalisasi juga berbeda,” ucap Arifin.
Pengamat politik ini mengupas masalah radikalisme lebih pada sejarah kemunculan dan perjalanannya, baik di Indonesia maupun dunia.
Sedang K.H. Muhammad Ali dengan bahasa sejuknya menegaskan, “Saya yakin, kita semua ingin bisa hidup tenteram, bisa beribadah enak, dan mati husnul khatimah,” lanjutnya dengan nada menggelitik, “maka kalau ada yang berupaya menuju terwujudnya itu, ya jangan dihalang-halangi.”
Dengan polos dia katakan, “Kalau orang bercelana cingkrang disebut radikal dan dianggap membahayakan, bagaimana dengan yang bercelana pendek, bukankah itu yang jelas-jelas membahayakan? Rumah tangga bisa hancur karena wanita-wanita berkeliaran dengan celana pendek.” [IB]