SUKOHARJO, (Panjimas.com) – Sejak awal masuknya Islam di Jawa, ulama kerap memakai tembang sebagai sarana dakwah. Namun kini anak muda muslim kurang mau mengingat dan mengail pesan mulia darinya. Maka JQH Al-Wustho sebagai wadah kegiatan mahasiswa IAIN Surakarta menggelar Seminar Bedah Tembang dan Musikalisasi Sastra “Pepati Ki Ageng Selo”, Senin (28/3/2016) pagi, bertampat di Aula Pascasarjana IAIN Surakarta.
Mengambil judul “Implementasi Akhlaq Mulia Melalui Petuah Tembang Jawa”, seminar diisi oleh dua narasumber, yakni Drs. Abdullah Faishol, M.Hum, Kepala Pusat Pengembangan Bahasa IAIN Surakarta, dan Dr. Islah Gusmian, M.Ag, penulis dan dosen Tafsir Hadits kampus setempat.
Acara diawali dengan penampilan tembang Shalawatan dari grup hadrah JQH Al-Wustho.
Seminar diikuti oleh mahasiswa, dosen, alumni, maupun peserta dari luar Kampus Hijau.
Dimoderatori oleh Mibtadin Anis, seminar berlangsung hidup dan dinamis. Salah seorang dosen, Samsul Bachri, dalam sambutannya menyampaikan bahwa sekarang saatnya mengenal Ki Ageng Selo melalui karya agungnya, bukan memperpanjang mitos yang melekat pada sosoknya.
“Kalau selama ini Ki Ageng Selo dikenal dengan menaklukkan petirnya, kini mahasiswa IAIN mencoba mengenalnya secara ilmiah,” ucap Samsul.
Kemudian Islah Gusmian dalam penyampaiannya mengatakan, “Yang kita lakukan adalah reproduksi makna. Membaca kembali karya sastra kuno untuk mengambil pelajaran untuk sekarang.”
Sedang Abdullah Faishol lebih berkisah tentang sejarah. Bahwa ucapnya, “Teladan dari sosok Ki Ageng Selo adalah ketika ia sebagai ‘darah biru’ memilih meninggalkan gemerlap kerajaan, kemudian berbaur dengan masyarakat biasa dan hidup sebagai petani desa.”
Dikatakan Faishol, bahwa sosok peminpin seharusnya demikian. Seorang pemimpin hendaknya “sudah selesai” dengan dirinya sendiri, dan dia ada untuk menunaikan amanah atas rakyatnya. [IB]