(Panjimas.com) – Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa (KTT LB) Organisasi Kerjasama Islam (OKI) ke-5 telah berlangsung 6-7 Maret 2016 di Jakarta. KTT LB OKI ke-5 itu diikuti lebih dari 500 delegasi dari 47 negara anggota, tiga negara peninjau (Bosnia Herzegovina, Afrika dan Thailand), anggota The Quartet (Amerika Serikat, Rusia, PBB, Uni Eropa) negosiasi Palestina-Israel dan lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB. KTT itu diselenggarakan untuk mencari terobosan guna menyelesaikan isu Palestina dan Al-Quds asy-Syarif.
Ada enam isu yang dibahas. Pertama: Masalah perbatasan, terutama terkait wilayah Palestina yang dari waktu ke waktu makin mengecil karena dikuasai oleh Israel. Kedua: Masalah pengungsi Palestina yang tidak bisa kembali ke tempat asalnya. Ketiga: Masalah status Kota al-Quds (Jerusalem) yang dianggap kota suci oleh tiga agama: Yahudi, Nasrani dan Islam. Keempat: Masalah pemukiman ilegal Israel yang terus menggerogoti wilayah Palestina. Kelima: Masalah keamanan. Keenam: Masalah distribusi dan akses air bersih yang terus menjadi isu konflik yang terjadi.
KTT OKI merupakan solusi ompong krisis Palestina. Terlebih sepanjang sejarah kita bisa menyaksikan keterlibatan OKI dalam membela kepentingan muslim Palestina justru amat minim. Benar bahwa negara-negara Teluk anggota OKI kerap mengirimkan donasi dan bantuan medis kepada penduduk Palestina, akan tetapi mereka berlepas tangan setiap kali terjadi invasi militer Israel terhadap wilayah pemukiman warga Palestina. OKI lebih banyak mendorong terciptanya ‘dialog perdamaian’ antara Palestina dengan Israel. Padahal akar konflik Palestina-Israel adalah penjajahan atas tanah Palestina yang dilakukan oleh Negara Zionis Israel, bukan masalah perdamaian. Keberadaan Israel di atas tanah Palestina adalah ilegal dan haram baik dalam logika politik apalagi pandangan hukum Islam.
Apalagi beberapa negara anggota OKI malah menjalin persahabatan dengan Israel. Yordania, Turki dan Mesir adalah sebagian anggota OKI yang telah menjalin kerjasama dengan Israel. Presiden Mesir Abdul Fatah as-Sisi pada September tahun lalu menyerukan negara-negara Arab untuk bekerjasama dengan Israel dengan dalih untuk memerangi ancaman terorisme.
Sikap para pemimpin negara anggota OKI yang tidak tegas ini sangat berbeda dengan perlakuan Khalifah pada masa-masa mendekati keruntuhan Kekhilafahan. Khalifah pada masa itu masih bisa menunjukkan taringnya. Pada tahun 1901, pendiri gerakan Zionis, Theodor Hertzel, mengunjungi Istanbul dan berupaya menemui Khalifah, tetapi hanya diterima Ketua Dewan Menteri. Theodor Hertzel menawarkan bantuan kepada Khilafah Islamiyah sebagai berikut: (1) Membayarkan lunas utang Khilafah Islamiyah; (2) Membangun Angkatan Laut Khilafah Islamiyah; (3) Uang 35 juta Lira Emas tanpa bunga untuk kesejahteraan Khilafah Islamiyah. Konsekuensi dari tawaran tersebut adalah: (1) Mengizinkan orang Yahudi berkunjung ke Palestina sembarang waktu mereka inginkan dan bermukim selama mereka inginkan “berziarah ke tempat-tempat suci”; (2) Mengizinkan orang Yahudi membangun pemukiman dan mereka menginginkan lokasi dekat dengan Yerusalem.
Khalifah menolak tawaran Hertzel tersebut. Beliau menyuruh Ketua Dewan Menteri untuk menyampaikan pesan Khalifah:
Nasihati Mr. Hertzl agar jangan meneruskan rencananya. Aku tidak akan melepaskan walaupun sejengkal tanah ini (Palestina), karena ia bukan milikku. Tanah itu adalah hak umat Islam. Umat Islam telah berjihad demi kepentingan tanah ini dan mereka telah menyiraminya dengan darah mereka. Yahudi silakan menyimpan harta mereka. Jika Khilafah Utsmaniyah dimusnahkan pada suatu hari, mereka boleh mengambil Palestina tanpa membayar harganya. Akan tetapi, sementara aku masih hidup, aku lebih rela menusukkan pedang ke tubuhku daripada melihat Tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islamiyah. Perpisahan adalah sesuatu yang tidak akan terjadi. Aku tidak akan memulai pemisahan tubuh kami selagi kami masih hidup. Kaum Yahudi hanya diizinkan memasuki Palestina untuk melaksanakan ibadah, bukan sebagai komunitas yang punya ambisi politik (hizbut-tahrir.or.id, 2/9/2014)
Persoalan Palestina bukan persoalan perbatasan, tetapi persoalan keberadaan Israel. Selama Israel masih bercokol di Tanah Palestina maka isu Palestina, al-Quds, dan al-Aqsha tidak akan berakhir. Persoalan Palestina hanya bisa diselesaikan dengan menghapus entitas Yahudi di Tanah Palestina. Ini karena keberadaan mereka adalah ilegal dan haram. Penghapusan entitas Yahudi sekaligus penjagaan terhadap umat Islam, khususnya di Palestina, hanya bisa sempurna terwujud saat umat Islam berhasil menegakkan Khilafah dengan membaiat seorang khalifah. Imam atau Khalifah inilah yang akan menjadi benteng pelindung umat, termasuk Palestina. Wallahu ‘alam bi ash showab
Penulis, Sri Indrianti
Aktivis Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia DPD II Tulungagung