(Panjimas.com) – Awal Juni 2015, saya, Muhammad Hadid, ditugaskan Dewan Dakwah untuk berdakwah di perbatasan Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan RDTL (Republik Demokrat Timor Leste). Persisnya di Desa Atafufu, Kecamatan Kakuluk Mesak, Kabupaten Belu.
Pusat kegiatan dakwah kami di Masjid Al-Huda, yang merupakan satu-satunya masjid di Kecamatan Kakuluk Mesak. Kami biasa menyebutnya sebagai Masjid Batas Negeri.
Alhamdulillah, setiap Jumat masjid penuh jamaah, baik yang datang dari perbatasan maupun warga yang rumahnya sekitar 10-15 km dari rumah ibadah, termasuk anggota TNI dan petani perbatasan.
Menurut laporan registrasi penduduk BPS Kab Belu tahun 2010, Kecamatan Kakuluk Mesak mempunyai penduduk 17.753 jiwa dan 4.295 Kepala Keluarga. Adapun menurut data DKM Al-Huda, hingga tahun 2015 jumlah Kepala Keluarga Muslim sekitar 120.
Keluarga muslim Kakuluk Mesak sebagian merupakan suku lokal keturunan Arab, muallaf pengungsi Timor Leste tahun 1999, dan yang lain pendatang. Para pendatang ini biasanya nelayan dari suku Buton dan Bajo Sulawesi, serta para pedagang dari Jawa dan Makassar.
Walau minoritas di tengah warga Katholik dan Protestan, ahamdulillah kami hidup aman damai. Kami dapat menjalankan ibadah tanpa diskriminasi.
Namun, yang menjadi kesedihan kami adalah di bidang pendidikan. Dari pendidikan TK hingga SMP di kecamatan, tidak ada yang berbasis Islam. Apa boleh buat, anak-anak muslim di sini harus bersekolah di SDK (Sekolah Dasar Katholik) dan SMPK. Sama saja, yang sekolah di SDN dan SMPN, juga menerima ajaran agama non-Islam. Termasuk bila ada perayaan ibadah mereka, semua murid sekolah harus mengikuti kegiatan gereja tanpa kecuali.
Maka, ketika saya datang, tercengang melihat anak-anak Muslim lebih fasih berdoa menurut ajaran gereja daripada doa yang diajarkan Islam.
Yang juga memprihatinkan adalah budaya mabuk dan pesta dansa di tengah masyarakat.
Dakwah kami sederhana saja. Kegiatan rutin adalah meningkatkan kegiatan TPQ (Taman Pendidikan Al-Qur’an) baik anak-anak maupun remaja.
Selain itu, kami juga menggelar pengajian rutin untuk masyarakat setiap Kamis ba’da Ashar. Pengajian ini dilaksanakan dari rumah ke rumah, yang diikuti kaum bapak maupun ibu. Sedang pada Jumat ba’da Ashar, ada pengajian khusus untuk ibu-ibu. Materinya lebih banyak pembelajaran Al Qur’an.
Ba’da Maghrib dan Subuh, kita kupas sebentar Kitab Riyadhus Shalihin.
Di luar jadwal rutin tersebut, kami juga terjadwal untuk sesekali mengadakan pembinaan di desa sebelah yaitu Sukabitetek, Kec Tasifeto Barat. Desa ini dihuni kaum muallaf exsodus Timor Leste. Pengajian di sini untuk kelompok dewasa dan anak-anak.
Kami juga mengisi pengajian ibu-ibu di Masjid Raya Kota Atambua.
Ada sebuah cerita yang menunjukkan kuatnya budaya pesta. Ketika itu, Sabtu sore, masjid sepi. Saya bertanya dalam hati, ‘’Mengapa anak-anak datang ke masjid?’’ Bukankah biasanya jam segini mereka sudah ramai di sini?
Teringat saya kemudian, ada undangan mengikuti pembacaan doa syukur ulang tahun anak tetangga masjid yang berusia tiga tahun. Di sanalah rupanya sebagian besar santri saya berada.
Maka, usai mengajar beberapa anak yang datang ke masjid, saya lalu menyambangi tempat undangan.
Dengan izin Allah, mulai tahun ajaran baru 2016, kami bertekad membuka pendidikan TK pagi dan Madrasah Diniyah sore di sekitar Masjid. Alhamdulillah pembangun dua lokal sudah mulai dilaksanakan sampai hari ini. Oleh karena kami mohon dukungan semua pihak agar dakwah di perbatasan Timor Leste ini dapat terus berjalan.
Perlu diketahui, sebelum saya datang, dakwah di Atafufu sempat berhenti sekitar dua tahun. Saya memang tidak selamanya bertugas di sini. Tapi insya Allah, ada kader lokal yang melanjutkan, demikian pula da’i kiriman dari Dewan Dakwah yang akan meneruskan dakwah ini. [RN]