(Panjimas.com) – Propaganda yang dilakukan komunitas LGBT (Lesbian, Gay/homo, Bisexsual) semakin hari kian massif daan mengkhawatirkan. Melalui jejaring social, komunitas ini menyebarkan sejumlah gambar maupun video berisi adegan tidak senonoh. Yang menyedihkan, perilaku menyimpang tersebut kini tak lagi menyasar kalangan dewasa, tetapi juga mengincar anak-anak yang notabene masih berada di usia sekolah, bahkan hingga usia sekolah dasar. Sebut saja akun @GaySDSMP misalnya, yang memiliki 980 follower, akun @gaysmpbekasi mencapai 683 follower, bahkan, akun @SMAgay_jkt, menembus angka 17 ribu follower (Republika.co.id/24/01/2016). Jika penyebaran virus LGBT ini terus dibiarkan, cepat atau lambat akan terjadi lost generation dan “musnahnya” peradaban manusia. Na’udzubillah!
Munculnya fenomena gay tentu sangat wajar bahkan legal dialam demokrasi sekarang ini. Dalam sistem demokrasi, negara justru ngemong para waria karena asas demokrasi dibangun di atas ideologi sekuler yang menafikan agama dari kehidupan. Orang-orang LGBT dan para pendukung mereka pun makin gencar beraksi karena mendapat justifkasi dari ide liberalisme yakni kebebasan berekspresi, juga dilegitimasi oleh ide Hak Asasi Manusia (HAM). Selain itu gerakan LGBT ini pun difasilitasi oleh media yang berorientasi bisnis dan bahkan mendapat sokongan dana yang tidak sedikit dari donor-donor internasional. Ditambah lagi pelegalaan pernikahan sejenis pada Jumat 26 Juni 2015 lalu oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat yang mau tidak mau akan berdampak pada seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia.
Virus LGBT sudah ada di Indonesia sejak tahun 1982, dan mulai menyerang kalangan intelektualitas khususnya mahasiswa. Mereka beranggapan mahasiswa adalah masyarakat akademis yang bisa diajak dialog, harapannya mereka nantinya bisa mempengaruhi masyarakat awam agar bisa menerima kaum non heteroseksual. Akhirnya, pada Oktober 2009 MAPANZA Unair mengadakan seminar berkedok AIDS dan NAPZA dengan mengundang pemuda homo yang ditunjuk GAYa Nusantara sebagai salah satu pembicara. Bahkan, pada 15 Mei 2013 lalu Fakultas Ilmu Budaya Unair dipilih untuk lokasi Pembukaan Peringatan International Day Against Homophobia & Transphobia (IDAHOT) 2013. Dua tahun berikutnya, tepatnya 5-7 Juni 2015 kembali FISIP Unair menggelar festival film bertema homoseksual, biseksual dan transgender. Yang paling anyar dan menghebohkan adalah munculnya lembaga konseling Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC) di Universitas Indonesia (UI). (Hidayatullah.com/27/01/2016).
Fakta menunjukkan, negara ini lumpuh dalam upaya perlindungan masyarakat dari budaya yang merusak. Terbukti dengan meningkatnya jumlah pelaku dan menjamurnya jaringan pendukung LGBT. Aktivis hak-hak lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) Dede Oetomo menyebut jumlah gay di Indoneia ada ratusan ribu orang. Bahkan ada yang memperkirakan 3 persen dari penduduk Indonesia adalah kaum LGBT. Data itu dia peroleh dari rilis Kementerian Kesehatan di tahun 2006. Jumlah gay saat itu 760 ribuan orang, sementara waria 28 ribu orang. Menurut perkiraan para ahli dan badan PBB, dengan memperhitungkan jumlah lelaki dewasa, jumlah LSL di Indonesia pada 2011 diperkirakan lebih dari tiga juta orang, padahal pada 2009 angkanya 800 ribu orang. Dalam laporannya kepada UNDP dan USAID 2014 mereka mengklaim telah memiliki jaringan 119 organisasi pendukung LGBT di Indonesia. (Republika.co.id, 02/4/2013). Inilah bukti lumpuhnya peran negara dalam membendung budaya merusak yang membonceng ide kebebasan dan HAM.
Ketika negara abai dalam melindungi moral anak bangsa, keluarga adalah satu-satunya benteng terakhir untuk menyelamatkan generasi dari perilaku seks menyimpang ini. Orangtua adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam menjaga dan mengarahkan akhlak putra putrinya. Orangtua hendaknya tidak mencukupkan diri dengan pendidikan akidah, ibadah dan akhlak saja, tapi perlu juga untuk memberikan pendidikan yang lain, salah satunya pendidikaan seks, bahkan sejak usia dini. Bukan tidak mungkin, maraknya perilaku LGBT ini salah satu faktornya adalah kesalahan dan ketidaktahuan orangtua dalam mengarahkan kecenderungan orientasi seksual anak, yang pada akhirnya berakibat pada penyimpangan sekual saat anak dewasa.
Di antara pokok-pokok pendidikan seks yang perlu diterapkan dan diajarkan orangtua kepada anak sejak dini adalah:
Mengenalkan batasan aurat
Aurat adalah bagian dari anggota tubuh yang harus ditutupi dan tidak boleh diperlihatkan kepada siapapun, kecuali mahramnya. Islam menjelaskan bahwa aurat laki-laki adalah antara pusar dan lutut, sedangkan aurat perempuan adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Dengan alasan apapun (kecuali yang dibenarkan syara) aurat ini tidk boleh diperlihatkan apalagi dipertontonkan atas nama seni dan hiburan. Untuk menghindari kejahatan seksual yang mungkin menimpa anak, orangtua harus memperkenalkan bagian tubuh penting yang dimiliki anak (alat vital). Orangtua harus mampu mengemukakan pada anak agar dapat menjaga dan memeliharanya dari gangguan siapapun. Orangtua menggambarkan pada anak bahwa alat vital dan bagian tubuh lainnya yang sensitif merupakan aurat yang harus dijaga dan ditutup rapat. Tidak boleh satu orang pun yang boleh melihat apalagi meraba alat tersebut karena akan menimbulkan bahaya besar bagi dirinya. Anak diajarkan agar jangan membiarkan bagian tubuhnya seperti bibir, dada, paha, dan kemaluannya dipegang dan diraba orang lain. Apabila hal ini terjadi maka anak diminta menghindar atau melawan untuk keselamatan dirinya.
Menanamkan rasa malu
Rasa malu harus ditanamkan kepada anak sejak dini. Jangan biasakan anak-anak, walau masih kecil, bertelanjang di depan orang lain; misalnya ketika keluar kamar mandi, berganti pakaian, dan sebagainya. Membiasakan Menanamkan rasa malu akan membantu anak dalam menjaga dan memelihara kehormatannya. Anak yang sudah mulai memahami hal ini, tidak akan BAB dan BAK di tempat terbuka, menukar pakaian di hadapan orang lain, dan sebagainya. Sekalipun berada dalam rumah, anak perempuan dan laki-laki hendaknya tetap memakai pakaian yang sopan. Hindari memakaikan underwear saja kepada anak laki-laki, ataupun rok mini, tank top dan sejenisnya kepada anak perempuan. Ini sebagai antisipasi terjadinya kejahatan seksual dari kalangan keluarga terdekat.
Menanamkan jiwa maskulinitas dan jiwa feminitas.
Allah SWT menciptakan manusia berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, yang secara fisik maupun psikis mempunyai perbedaan mendasar. Islam memberikan tuntunan agar masing-masing perbedaan yang ada tetap terjaga sesuai fitrah. Islam menghendaki agar laki-laki memiliki kepribadian maskulin dan perempuan memiliki kepribadian feminim. Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melarang laki-laki dan perempuan menyerupai lawan jenisnya.
“Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melaknat laki-laki yang berlagak wanita dan wanita yang berlagak meniru laki-laki” (HR. al-Bukhari)
Sejak dini anak harus dibiasakan berpakaian dan bermain sesuai jenis kelaminnya. Jangan pernah sekalipun orangtua membiarkan anaknya yang laki-laki bermain boneka, dan anak perempuannya bermain bola, misalnya. Dengan larangan tegas ini, anak akan mengerti tentang eksitensi jenis kelaminnya dan akan tampil sesuai dengan identitasnya.
Memisahkan tempat tidur
Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallambersabda:
“Suruhlah anak-anakmu shalat pada usia 7 tahun, dan pukullah mereka pada usia 10 tahun dan pisahkan mereka di tempat tidur.” (HR. Abu Dawud)
Usia antara 7-10 tahun merupakan usia saat anak mengalami perkembangan yang pesat. Anak mulai melakukan eksplorasi ke dunia luar. Anak tidak hanya berpikir tentang dirinya, tetapi juga mengenai sesuatu yang ada di luar dirinya. Pemisahan tempat tidur merupakan upaya untuk menanamkan kesadaran anak tentang eksistensi dirinya. Jika pemisahan tempat tidur antara dirinya dan orangtuanya, setidaknya anak telah dilatih untuk berani mandiri. Jika pemisahan tempat tidur dilakukan dengan saudaranya yang berbeda jenis kelamin, secara langsung ia telah ditumbuhkan kesadarannya tentang eksistensi perbedaan jenis kelamin. Jika pemisahan tempat tidur dilakukan terhadap anak dengan saudaranya yang sama jenis kelamin, hal ini bertujuan untuk menghindari perilaku seksual menyimpang (LGBT) dikemudian hari.
Mengenalkan waktu berkunjung (meminta izin dalam 3 waktu)
Ada tiga waktu yang tidak diperbolehkan bagi anak-anak untuk memasuki ruangan (kamar) orang dewasa kecuali meminta izin terlebih dulu. Diantaranya sebelum shalat subuh, tengah hari, dan setelah shalat isya. Allah berfirman, yang artinya:
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki dan orang-orang yang belum baligh diantara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari), yaitu sebelum shalat shubuh, ketika kamu sedang menanggalkan pakaian (luarmu) di tengah hari dan sesudah shalat isya’. (Itulah) tiga aurat bagi kamu. Tdak ada dosa atasmu dan tidak pula atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebagian kamu (ada keperluan) kepada sebagian yang lain. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana. Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka minta izin, seperti orang-orang sebelum mereka minta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayatNya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS An Nur: 58,59).
Aturan ini ditetapkan mengingat di antara ketiga waktu tersebut merupakan waktu ketika badan atau aurat orang dewasa banyak terbuka. Jika pendidikan semacam ini ditanamkan pada anak, ia akan menjadi anak yang memiliki sikap sopan-santun dan etika yang luhur.
Mengenalkan mahram
Tidak semua perempuan boleh dinikahi setiap laki-laki. Siapa saja perempuan yang diharamkan dan yang dihalalkan telah ditentukan oleh syariat Islam. Apabila hal ini sudah ditanamkan sejak dini maka anak akan risih dan tidak nyaman sekiranya ada orang asing yang mendekati dirinya apalagi sampai melakukan sesuatu yang tidak diinginkan. Selain itu, dapat pula diketahui dengan tegas bahwa Islam mengharamkan incest, yaitu pernikahan yang dilakukan antar saudara kandung atau mahram-nya.
Mendidik anak agar selalu menjaga pandangan mata (ghadul bashar)
Tertarik dengan lawan jenis merupakan salah satu manifestasi/penampakan dari adanya gharizah nau’ (naluri mempertahankan jenis) pada diri manusia. Naluri ini muncul ketika mendapat rangsangan dari luar, salah satunya melalui pandangan. Bila pandangan tersebut dibiarkan bebas lepas tanpa kendali, bukan tak mungkin jika nantinya anak akan melihat sesuatu yang diharamkan yang berakibat pada perilaku seksual menyimpang.
“Janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki. Jangan pula perempuan melihat aurat perempuan. Janganlah seorang laki-laki tidur dengan laki-laki dalam satu selimut. Jangan pula perempuan tidur dengan perempuan dalam satu selimut.” (HR. Muslim)
Mendidik anak agar tidak ikhtilât dan khalwat
Ikhtilât adalah bercampur-baurnya laki-laki dan perempuan bukan mahram tanpa adanya keperluan yang diperbolehkan syara. Khalwat adalah jika seorang laki-laki dan wanita bukan mahram-nya berada di suatu tempat sepi, hanya berdua saja. Ikhtilat maupun khalwat keduanya merupakan perantara bagi terjadinya perbuatan zina. Anak laki-laki sebaiknya bermain dengan anak laki-laki, demikian pula anak perempuan hendaknya bermain dengan sesama perempuan saja. Hal ini bertujuan agar anak laki-laki tumbuh dengan jiwa maskulinitasnya, dan anak perempuan tumbuh dengan sifat feminitasnya.
Mendidik etika berhias.
Berhias adalah fitrah manusia, jika tidak diatur secara islami, akan menjerumuskan seseorang pada perbuatan dosa. Berhias berarti usaha untuk memperindah atau mempercantik diri agar berpenampilan menawan. Berhias tidak hanya monopoli kaum hawa saja, kaum adam pun adakalanya suka berhias. Hanya saja berhiasnya laki-laki tentu tidak boleh menyerupai berhiasnya perempuan, demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, sejak dini anak harus diajarkan dandanan mana saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Tatto, mencukur alis, mengikir gigi, menyambung rambut, adalah salah satu contoh dari dandanan yang diharamkan baik kepada laki-laki maupun kepada perempuan. Memakai emas dan sutera, memakai gaun, menindik telinga, mewarnai kuku, me-make over wajah dengan beragam alat kecantikan, adalah salah satu contoh dandanan yang dihalalkan kepada perempuan namun diharamkan bagi laki-laki. Sebaliknya, memakai pakaian ala koboy misalnya, adalah dandanan yang dihalalkan kepada laki-laki namun diharamkan bagi perempuan. Penting pula untuk ditanamkan bahwa tujuan dari berhias ini adalah dalam rangka beribadah kepada Allah (misalnya berdandannya seorang istri untuk suami), sehingga berdandannya seorang perempuan tidak akan sampai tabarrruj (dandan berlebihan/menor). Pendidikan etika berhias ini penting untuk ditanamkan agar anak tumbuh sesuai sesuai jiwa maskulin dan feminimnya.
Ihtilâm dan haid.
Ihtilâm dan haid adalah suatu pertanda bahwa anak mulai memasuki usia balig. Mengenalkan anak tentang ihtilâm dan haid tidak hanya sekadar untuk bisa memahami anak dari pendekatan fisiologis dan psikologis semata. Yang paling penting, harus ditekankan pada anak bahwa haid dan ihtilam ini telah menjadikan mereka muslim dan muslimah dewasa yang wajib terikat pada semua ketentuan syariah.
Demikianlah beberapa hal mendasar terkait pendidikan seks yang penting untuk ditanamkan pada anak sejak usia dini untuk menangkal penyebaran virus LGBT. Pendidikan seks sejak dini akan mempermudah anak dalam mengembangkan potensi dirinya, meningkatkan kepercayaan diri, memiliki kepribadian yang sehat, penerimaan diri yang positif serta pertahanan diri dari virus berbahaya semisal LGBT.Yang terpenting, pendidikan seks sejak dini akan mengarahkan mereka menjadi manusia yang bertanggung jawab atas hidupnya sebagai hamba Allah yang taat.
Wallahu a’lam bisshowab
Penulis, Anah Annisa S. Pd. I
Tinggal di Kecamatan. Majalaya Kabupaten Bandung