SOLO, (Panjimas.com) – Kala mentari belum sempurna tampakkan diri, tampak seorang lelaki menyapu gang sempit di sebuah permukiman padat penduduk. Pintu rumah dan jendela berjajar-jajar di kanan-kiri. Memang rumah-rumah di tempat itu tidak berjarak, saling berhimpit satu sama lain. Teras rumah-rumah itu jelas tak memanjang ke depan, hanya satu meteran, bahkan sebagian tak sampai. Di teras ala kadarnya itu sebagian terdapat tempat duduk sederhana. Ada berupa kursi, dingklik panjang tanpa sandaran, ada pula yang dibuat permanen dari beton. Sedang gangnya sendiri hanya selebar satu meter saja, dan dialasi dengan tatanan paving segi enam.
Ya, lelaki itu adalah Muhammad Suwono Hadi Sumitro. Namun masyarakat sekitar lebih akrab memanggilnya Mbah Wono. Dipanggil Mbah, padahal sebenarnya secara usia, Mbah Wono belum begitu senja, baru lima puluh sekian tahun. Namun bila usia dalam konteks lain, lelaki asal Klaten, Jawa Tengah ini memang sudah layak disebut tua dan mendapat panggilan Mbah.
Mbah Wono memang sudah tua dalam dunia pemberdayaan, utamanya untuk masyarakat pinggiran, atau yang sering ia sebut kaum marjinal. Beberapa daeran di Indonesia pernah tersentuh untaian tangannya, tertapaki oleh jejak kakinya. Semenjak muda ia sudah menerjunkan diri ke dunia yang tak banyak orang menyentuhnya ini. Di Bandung ia pernah membina anak Punk, di Yogya ia lebih menyentuh bidang pendidikan, di Solo, mulai pencopet sampai pelacur pernah ditangani dan dibinanya. Dan hasilnya benar-benar ada.
Demikianlah potret singkat sosok Mbah Wono yang saat ini ia sedang fokus membangun sebuah “peradaban mungil” di sebuah kampung unik di tengah Kota Solo. Unik, karena kampung ini berada di tengah bentang-bentang rel kereta api. Jadi, dari arah mana pun, untuk memasuki kampung ini, meniscayakan melewati rel kereta api.
Bedah Kampung
Sebelumnya masyarakat kita diakrabkan dengan istilah “Bedah Rumah” oleh media massa. Namun bagi Mbah Wono, bedah rumah belumlah menjadi kepuasannya. Mungkin karena terinspirasi dari pengalaman panjangnya, ia pun memunculkan ide “Bedah Kampung’. Dan bukan Mbah Wono bila ide berhenti menjadi ide saja, atau pun orang lain yang mewujudkannya. Tidak. Mbah Wono bukan tipe sosok seperti itu. Ia selalu ingin sebagai pelaku tindakan, bukan menyuruh orang lain untuk melakukan.
Di kampung tengah rel bernama Rejosari Kecamatan Banjarsari Solo ini, Mbah Wono telah mewujudkan idenya itu sejak setahun lalu. Tak muluk-muluk, tak perlu menanti sumber dana bermilyar-milyar datang dari pemerintah. Ia memulai dari apa yang ia bisa lakukan pada saat melihat masyarakat memang memerlukan.
Gerakan Bedah Kampung ala Mbah Wono hanya diawali dengan menyapu gang-gang sempit kampung padat itu. Pagi-pagi sekali setelah shalat shubuh di mushala mungil, dengan penampilan bersahajanya, ia menyapu sendiri. Ajakan kepada warga bukan berupa celoteh atau pun khubah di mimbar. Namun itulah, ajakannya berupa tindakan nyata yang ia mulai sendiri dengan sepenuh hati.
Berawal dari itu, gerakan Bedah Kampung ala Mbah Wono mulai merambah ke pembangunan fasilitas warga. Melihat sumur dan MCK umum yang kurang layak digunakan, ia mengajak warga bergotong-royong memerbaikinya. Melihat alas kaki warga yang terserak di depan pintu-pintu rumah bahkan sampai di badan gang, ia pun mengajak warga untuk bersama-sama membuat rak alas kaki dari bambu. Melihat pakaian warga yang dijemur tidak rapi, ia juga mengajak mereka bersama-sama membuat jemuran yang lebih memadai. Sampai kala ada warga yang membutuhkan gerobag untuk berdagang, Mbah Wono juga membantu mengusahakannya.
Pembangunan Moral dan Material
Di sinilah istimewanya. Bagi Mbah Wono, bedah kampung bukan hanya soal memerbaiki sarana fisik semata, namun lebih penting dari itu adalah pembenahan perilaku. Oleh karena dengan terbangunnya perilaku keseharian yang lebih baik, pembangunan fisik akan bisa berjalan berkesinambungan dan lestari.
Oleh karena itu, di kampung yang berpenduduk 80% ber-KTP Islam, namun masih menjadi tempat minumdan judi itu, ia memotori pembangunan masjid yang dulunya masih berupa mushala sangat kecil. Selain itu, perilaku masyarakat dalam keseharian terus ia amati. Dakwahnya bukan berceramah di mimbar, namun dalam obrolan bersama warga di tempat nongkrong bersama.
“Dakwah saya tidak di atas mimbar, ya jagongan (ngobrol) begini ini. Dan itulah bedah kampung. Jadi ndak hanya membangun fisik saja lalu ditinggal, tapi dalam bedah kampung itu minimal masyarakatnya harus dipantau selama setahun,” terang Mbah Wono saat berbincang dengan Panjimas.com di rumah kontrakannya di rejosari, Gilingan, Solo, Sabtu sore (9/1/2015). [IB]