(Panjimas.com) – Dalam rangka menghadapi Pilkada Langsung Gubernur DKI Jakarta tahun 2017 yang akan datang, penulis kembali menyampaikan tentang sangat penting dan strategisnya keberadaan Majelis Tinggi Jakarta Bersyariah. Majelis ini adalah model kelembagaan sinergis antara Alim Ulama, Habaib, Tokoh dan Cendekiawan Muslim. Tidaklah berlebihan jika penulis katakan bahwa Majelis ini sebagai institusi baru yang belum pernah ada dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Dikatakan demikian, oleh karena Majelis Tinggi Jakarta Bersyariah sebagai bentuk rekonstruksi terhadap penyaluran aspirasi politik umat – dalam Pilkada Gubernur DKI Jakarta – yang selama ini pencalonannya melalui Partai Politik dan jalur independen. Dengan lain perkataan, Majelis Tinggi Jakarta Bersyariah mewakili para konstituen umat Islam dalam sistem politik demokrasi yang berlaku saat ini. Mandat otoritatif dari umat kepada Majelis Tinggi sangat signifikan dalam proses penyeleksian terhadap para calon dari kalangan umat Islam. Pencalonan dilakukan melalui forum khusus yang dibentuk oleh Majelis Tinggi yakni dengan hadirnya Dewan Pemilih.
Sesuai dengan namanya, Majelis ini adalah sebagai kekuatan besar (big power) yang mengarahkan konstituen muslim. Tanpa adanya kelembagaan ini, maka dapat diprediksi suara umat akan terpecah-belah dan kemenangan ada pada calon yang tidak mewakili kepentingan umat Islam. Ingat, Ahok akan kembali mencalonkan diri dan sudah pasti berseberangan dan bertentangan dengan aspirasi umat Islam. Jika suara umat Islam terpecah dalam berbagai calon, sedangkan Ahok didukung secara penuh oleh Partai Sekuler dan kaum non Muslim, maka tentu akan menjadi preseden buruk bagi umat.
Penulis yakin dengan adanya kesamaan visi dan misi diantara para stakeholder dalam bentuk bersatunya komponen umat Islam melebur dalam Majelis Tinggi Jakarta Bersyariah akan menaikkan suara umat dan memenangkan Pilkada Gubernur Jakarta tahun 2017 yang akan datang. Bagan di bawah ini menjelaskan keberadaan sistem pencalonan saat ini, yang menghasilkan banyaknya calon, namun di sisi lain suara umat justru terpecah belah. Begitupun rendahnya kepercayaan umat berimbas pada tingginya angka golput. Suatu kondisi yang tidak kita inginkan dan harus kita hindari.
Melalui kelembagaan Majelis Tinggi Jakarta Bersyariah, diharapkan akan tercipta sistem pencalonan yang lebih mengedepankan kepentingan umat Islam. Hadirnya Majelis Tinggi Jakarta Bersyariah sekaligus juga akan meningkatkan tingkat kepercayaan umat dan terpusatnya suara umat agar tidak terpecah belah. Kondisi yang diharapkan ini akan semakin menumbuhkembangkan proses pencalonan yang diupayakan muncul calon yang memiliki kemampuan, kecakapan dan integritas tinggi. Calon yang berasal dari jalur independen maupun dari Partai Politik dapat masuk dalam sistem dan mekanisme proses pemilihan melalui pentahapan yang jelas dan terukur.
Disinilah letak kelebihan Majelis Tinggi, yang mampu mengakomodasi sistem pencalonan yang berbeda dalam satu kesatuan, tentunya tanpa intervensi dan kolusi. Semuanya berjalan secara sistemik dan fair. Penilaian atas berbagai kriteria dan uji kelayakan menjadi tugas Dewan Pemilih sebagai bagian ikhtiar memunculkan satu pasang calon yang amanah, intelektual, berakhlak dan selalu mendukung peran Alim Ulama dan Habaib dalam menyampaikan kebenaran, menjauhkan diri dari kemaksiatan.
Umat juga tidak hanya sebatas memberikan suara pada Pilkada dan setelah itu selesai, tidak demikian! Peranan umat tetap terwakili dalam Majelis Tinggi sebagai wadah penghubung antara umat dengan Gubernur Muslim. Aspirasi umat tetap menjadi agenda yang harus dirumuskan, untuk kemudian diimplementasikan melalui kebijakan strategis sang Gubernur Muslim. Majelis Tinggi berperan aktif untuk kepentingan perumusan kebijakan strategis tersebut. Oleh karena itu, Majelis Tinggi bersikap responsif, selalu melibatkan seluruh elemen masyarakat untuk turut memikirkan, merumuskan dan mendayagunakan semua sumber daya yang ada. Majelis Tinggi juga mengarahkan Gubernur agar bersikap progresif, dalam menyikapi berbagai persoalan yang dihadapi dalam penyelenggaraan tugas dan tanggung jawabnya.
Sikap progresif dimaksudkan sebagai cara bertindak yang tidak positivistik. Dalam hukum progresif, proses perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan, akan tetapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasikan hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Majelis Tinggi dapat melakukan terobosan-terobosan hukum berdasarkan kemampuan ijtihad (interpretasi) untuk kemudian menjadi kebijakan Gubernur. Dengan demikian Gubernur dapat melakukan perubahan yang kreatif terhadap peraturan yang ada, tanpa harus menunggu perubahan peraturan. Peraturan yang buruk tidak harus menjadi penghalang bagi para pelaku hukum progresif (baca: Gubernur) untuk menghadirkan keadilan dan ksesejahteraan bagi rakyat DKI Jakarta.
Penulis, Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H., M.M. (Komisi Kumdang MUI Pusat)