(Panjimas.com) – Muzakarah Alim Ulama, Habaib dan Cendekiawan Muslim pada hari Kamis yang lalu telah berhasil membentuk Majelis Tinggi DKI Jakarta Bersyariah, suatu hal yang patut kita apresiasi dan disyukuri. Betapa tidak, para tokoh di Jakarta, mayoritas hadir. Ketokohan mereka tidak diragukan lagi, baik keilmuan agama yang mumpuni maupun keilmuan umum lainnya. Sebagai suatu forum penyangga keumatan, Majelis Tingggi ini sesuai dengan namanya berjuang secara konstitusional untuk menerapkan nilai-nilai syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perjuangan menerapkan syariat Islam, baik secara formal maupun subtansial dalam sistem politik hukum, tentu bukan perkerjaan mudah. Aral rintangan selalu hadir, sikap kontra dari kalangan sepilis, sekularis dan liberalis dipastikan selalu akan ada. Namun, disitulah letak dan makna suatu perjuangan!
Menuju NKRI Bersyariah tidak serta-merta, harus ada “mukadimahnya”, atau entry point. Pintu masuknya adalah memenangkan “pertarungan” pada Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2017 yang akan datang. Umat sangat mengharapkan terjadinya pergantian kepemimpinan dari non muslim kepada pemimpin muslim yang dekat dengan “agama dan rakyat.” Figur Gubernur dan Wakil Gubernur yang demikian menjadi prasyarat untuk mewujudkan DKI Jakarta Bersyariah.
Sang Gubernur haruslah memiliki kemampuan, kecakapan, dan keahlian melakukan perubahan mendasar, antara lain: meningkatkan taraf kesejahteraan, keamanan, pendidikan, kesehatan, dan yang paling utama adalah meminimalkan berbagai kemaksiatan. Tidak akan pernah tercapai kemaslahatan, jika kemaksiatan (kemudharatan) semakin meningkat dan merajalela. Kondisi yang tidak kita harapkan inilah yang berlaku di Indonesia. Kita lemah hampir dalam semua hal. Ketahanan Nasional yang telah dikonsepsikan oleh para “the founding fathers” mengalami pelemahan. Ketahanan Nasional yang tangguh memerlukan peran aktif umat, alim ulama, habaib dan cendekiawan. Dengan demikian terkonfirmasi hubungan antara agama dengan negara, keduanya saling mempengaruhi dan bersinergi.
Paradigma ini dapat ditemukan dalam pemikiran al-Mawardi seorang teoritikus politik Islam par-excellent dan Imam Ghazali rhm, sufi sejati. Dalam kitabnya, “al-Ahkam al-Sulthaniyah”, al-Mawardi menegaskan bahwa kepemimpinan negara merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia. Pemeliharaan agama dan pengaturan merupakan dua aktifitas yang berbeda, tetapi berhubungan secara simbiotik. Keduanya merupakan dua dimensi dari misi kenabian. Imam Ghazali rhm juga bisa dikategorikan sebagai pemikir yang membawa pandangan simbiotik antara agama dan negara, meskipun Imam Ghazali rhm tidak secara khusus dikenal sebagai pemikir politik. Namun dalam beberapa karyanya memiliki muatan politik yang cukup signifikan, seperti “Nasihat al-Mulk”, “Kimiyayi al-Sa’adat”, dan “al-Iqtishad ji al-I’tiqad.” Dalam “Nasihat al-Mulk”, ia mengisyaratkan hubungan antara agama dan negara, yakni tentang paralelisme raja dan Nabi. Menurutnya, Tuhan telah mengirim Nabi-Nabi dan memberikan kekuatan Illahi kepada mereka, yang tujuannya adalah memberikan kemaslahatan umat manusia.
Dalam konteks ini, ia tidak bermaksud menyamakan antara Nabi dan raja. Namun, paralelisme yang dilakukannya menunjukkan bahwa raja atau agama memiliki hubungan yang kuat dengan negara. Bahkan, ia berpendapat bahwa agama dan negara adalah saudara kembar yang lahir dari satu ibu. Begitu dekatnya hubungan agama dan negara, sampai-sampai ia mengatakan, “agama adalah dasar dan sultan adalah penjaganya.” Pernyataan senada disampaikan oleh Mahkamah Konstitusi yang mengakui adanya hubungan antara agama dan negara dalam negara hukum Indonesia, dikatakan: “Prinsip negara hukum Indonesia harus dilihat dengan cara pandang UUD 1945, yaitu negara hukum yang menempatkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai prinsip utama, serta nilai-nilai agama yang melandasi gerak kehidupan bangsa dan negara, bukan negara yang memisahkan hubungan antara agama dan negara (separation of state and religion), serta tidak semata-mata berpegang pada prinsip individualisme maupun prinsip komunalisme.”
Berlakunya hukum Islam di Indonesia telah mendapat tempat konstitusional yang berdasar pada tiga alasan, yaitu: Pertama, alasan filosofis, ajaran Islam merupakan pandangan hidup, cita moral dan cita hukum mayoritas muslim di Indonesia, dan mempunyai peran penting bagi terciptanya norma fundamental negara Pancasila. Kedua, alasan sosiologis, perkembangan sejarah masyarakat Islam Indonesia menunjukan bahwa cita hukum dan kesadaran hukum bersendikan ajaran Islam memiliki tingkat aktualitas yang berkesinambungan. Ketiga, alasan yuridis yang tertuang dalam Pasal 24, 25 dan 29 UUD 1945 memberi tempat bagi keberlakuan hukum Islam secara yuridis formal.
Dengan mengacu kepada kaidah ushul fiqh, yakni jika kita tidak dapat mengambil seluruhnya, maka jangan ditinggalkan (dibuang) seluruhnya. Artinya, pemberlakuan dan penegakan hukum Islam harus dilakukan secara bertahap, sedikit demi sedikit, hingga dapat mewujud dan melembaga. Oleh karena itu, yang paling strategis dan penting untuk diperjuangkan adalah nilai-nilai substantif, bukan simbol-simbolnya. Untuk kepentingan itulah, Majelis Tinggi dibentuk, sebagai agen perubahan. Lebih lanjut, di dalam siyasah selalu diupayakan jalan-jalan yang menuju kepada kemaslahatan (fathu dzari’ah) dan selalu ditutup dan dihindarkan jalan-jalan yang mengarah kepada kemafsadatan (sadzu dzari’ah).
Oleh karena itu, di dalam bahasan siyasah seringkali para ulama menggunakan kaidah “sesuatu hal yang tidak sempurna pelaksanaan kewajiban kecuali dengan menyertakan sesuatu tadi, maka hal tersebut hukumnya wajib”, dan “apa yang membawa kepada pelaksanaan kewajiban, maka hukumnya wajib.” Dapat kita ketahui bahwa dalam siyasah syar’iyyah terdapat dua unsur yang saling berhubungan secara timbal balik, yaitu: pertama, pihak yang mengatur dan kedua, pihak yang diatur. Dilihat dari unsur-unsur dalam proses siyasah syar’iyyah, maka ilmu ini “mirip” dengan ilmu politik. Majelis Tinggi DKI Jakarta Bersyariah adalah sebagai bagian dari jalan menuju kemaslahatan, oleh karena itu hukumnya adalah wajib. Majelis Tinggi DKI Jakarta Bersyariah berupaya mengikhtiarkan kemaslahatan bagi masyarakat.
Sebagai umat Islam, kita juga wajib mendukungnya dengan penuh keyakinan dan keikhlasan. Kita berharap kepemimpinan nasional di masa yang akan datang mampu mewujudkan sinergitas antara elite dengan alim ulama dan habaib serta cendekiawan. Kepemimpinan nasional juga mampu mempertemukan agama dan negara dalam kepentingan tujuan dan cita-cita nasional.
Penulis, DR. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H., M.M (Komisi Kumdang MUI Pusat)