(Panjimas.com) – “Pemerintah telah meyakinkan PT FI bahwa pemerintah akan menyetujui perpanjangan operasi paska 2021 termasuk kepastian hukum dan fiskal yang terdapat pada Kontrak Karya,” kata Sudirman, Jakarta, Jumat (9/10/2015, kompas.com). Begitulah pernyatan yang dilontarkan oleh Menteri ESDM Sudirman Said. Kompas.com (9/10) memberitakan, pemerintah Indonesia, dalam hal ini Menteri ESDM Sudirman Said, telah menyepakati kelanjutan operasi PT Freeport di komplek pertambangan Grasberg, Mimika, Papua, setelah tahun 2021. Melalui keterangan tertulisnya Sudirman menyampaikan, besarnya investasi PT Freeport dan komitmen raksasa tambang asal AS itu telah memberikan manfaat bagi Indonesia. Hal tersebut menjadi sebuah pertimbangan kesepakatan ini.
Jokowi mengaku telah bertemu dan berbicara dengan manajemen PT Freeport. Jokowi juga mengajukan 5 syarat untuk PT Freeport dalam proses negosiasi kontrak. PT Freeport diminta melakukan lima syarat: (1) Ikut membantu pembangunan Papua. (2) Meningkatkan kandungan lokal, termasuk menambah jumlah pekerja asal Papua. (3) Mendivestasi (menjual) sebagian sahamnya. (4) Meningkatkan royalti yang dibayarkan kepada pemerintah Indonesia. (5) Mengolah logam di dalam negeri, termasuk membangun industri hilir khususnya di Papua.
Dari semua itu, perpanjangan kontrak PT Freeport agaknya bisa dikatakan “sudah dipastikan”. Pasalnya, berbagai syarat yang diajukan pemerintah telah disepakati oleh PT Freeport. Jika sekarang belum diberikan, hal itu hanya karena masalah UU yang mengharuskan pengajuan perpanjangan kontrak paling cepat bisa dilakukan dua tahun sebelum kontrak berakhir. Perpanjangan kontrak PT Freeport baru bisa diajukan pada tahun 2019, sebab kontraknya berakhir pada tahun 2021. Bahkan diberitakan, pemerintah akan memperpanjang izin operasi PT Freeport di wilayah tambang Papua selama 20 tahun.
Operasional PT Freeport yang sudah berlangsung sejak 1967 hingga sekarang memang memberikan pemasukan kepada pemerintah Indonesia dalam bentuk royalti, pembagian deviden dan pajak. Namun, di balik semua itu, operasional PT Freeport di Papua sebenarnya banyak merugikan negeri ini.
Royalti yang dibayarkan kepada pemerintah sejak 1967 sampai 2014 sangat kecil. Untuk tembaga, royalti sebesar 1,5% dari harga jual (jika harga tembaga kurang dari US$ 0.9/pound) sampai 3.5% dari harga jual (jika harga US$ 1.1/pound). Untuk emas dan perak royalti ditetapkan sebesar 1% dari harga jual. Pada 2014, royalti emas menjadi 3,5 persen. Angka tersebut masih sangat kecil. Pasalnya royalti yang umum berlaku di dunia saat ini mencapai 7 persen.
Operasional PT Freeport sejak awal sarat dengan masalah lingkungan. LSM Jatam pernah mengungkapkan, “Tanah adat 7 suku, di antaranya Amungme, diambil dan dihancurkan pada saat awal beroperasi PT Freeport. Limbah tailing PT Freeport telah menimbun sekitar 110 km2 wilayah estuari tercemar, sedangkan 20–40 km bentang Sungai Ajkwa beracun dan 133 km2 lahan subur terkubur. Saat periode banjir datang, kawasan-kawasan subur pun tercemar. Perubahan arah Sungai Ajkwa menyebabkan banjir, kehancuran hutan hujan tropis (21 km2), dan menyebabkan daerah yang semula kering menjadi rawa.”
Menko Kemaritiman, Rizal Ramli menyatakan (Kompas.com, 9/10), “Limbah yang diaduk dengan merkuri itu dibuang begitu saja di sungai. Ikannya mati. Penduduk menderita. Kalau mereka ikut good governance, enggak ada susahnya memproses limbah itu,” ujar Rizal.
Karena itu diusulkan agar PT Freeport dikenai denda. Marwan Batubara, Direktur Efksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS), mengusulkan kepada pemerintah untuk memberikan denda kepada PT Freeport mencapai US$ 5 miliar atau setara dengan Rp 67,7 triliun (perkiraan kurs Rp 13.504 perdolar AS) (Liputan6.com, 17/10) Hal itu diserupakan dengan kasus BP yang mencemari lingkungan di AS dan dijatuhi denda US$30 miliar.
PT Freeport juga membandel dan seenaknya sendiri. Hingga saat ini, PT Freeport tak kunjung membangun smelter. Pembangunan smelter itu bahkan dijadikan “sandera” untuk memastikan perpanjangan operasinya.
PT Freeport juga tak segera mendivestasi (menjual) sebagian saham seperti PMA Minerba lainnya. PT Freeport baru menawarkan kepada pemerintah pada 14 Oktober lalu, yakni akan mendivestasi 10,64 persen sahamnya. Adapun 10 persen sisanya, agar memenuhi ketentuan baru, akan didivestasi tahun 2019.
Selain itu, dari dokumen resmi PT Freeport, PT Freeport tidak menyetorkan dividen kepada pemerintah tahun 2012, 2013 dan 2014. Total dividen yang diterima pemerintah dari Freeport sejak 1992-2011 sebesar USD 1,287 miliar. saham pemerintah di PT Freeport hanya sekitar 9,36 persen (Kompas.com, 27/1/2015).
Meski semua itu, PT Freeport terus saja diistimewakan, bahkan diberi sinyal kepastian perpanjangan kontraknya pasca 2021.
Jika pemerintah benar sesuai klaimnya, memiliki kedaulatan penuh, maka operasional PT Freeport harusnya disudahi tahun 2021. Artinya, kontraknya tidak diperpanjang. Dalam UU juga dinyatakan hanya “bisa diperpanjang”, tidak wajib, tidak harus. Jika itu dilakukan, maka itu menjadi keputusan yang paling baik dan paling menguntungkan bagi negeri ini dan rakyatnya.
Apalagi pemberian ijin operasi kepada PT Freeport dan sejensinya jelas menyalahi islam. Dalam islam, tambang yang berlimpah haram diserahkan kepada swasta, apalagi asing. Islam menetapkan tambang adalah milik umum seluruh rakyat. Tambang itu harus dikelola langsung oleh negara dan seluruh hasilnya dikembalikan untuk kemaslahatan rakyat. Hanya dengan pengelolaan sesuai aturan syariah seperti itulah, kekayaan alam itu akan benar-benar menjadi berkah buat negeri ini dan penduduknya.
Karena itu, pemberian ijin ataupun perpanjangan ijin kepada swasta/asing untuk menguasai pengelolaan tambang, termasuk Freeport, jelas menyalahi islam. Jadi, stop Freeport! Itulah yang harus dilakukan jika benar peduli dengan kedaulatan negeri, serta ingin memberikan keuntungan terbesar bagi rakyat dan memperjuangkan nasib generasi mendatang.
Penulis, Sri indrianti tinggal di Jl. Letjen suprapto no 58 Tulungagung Jawa Timur