Panjimas.com) – Kenapa korupsi begitu sulit diberantas? Karena korupsi itu tumbuh berkembang bersama nafas kehidupan berbangsa dan bernegara. Korupsi ada di depan mata. Ada yang kasat mata, ada juga yang malu-malu dibungkus rapi sedemikian rupa. Celakanya sebagian besar dari kita mengambil sikap permisif atas keadaan ini dan hanya bisa mengernyitkan dahi.
Tanpa kita sadari kitapun pernah atau sering melakukan perilaku-perilaku koruptif. Diantaranya menyuap, gratifikasi, curang, memperdagangkan pengaruh, dan lain-lain. Hal itu dianggap lumrah bahkan kadang kalau ditanya kenapa, jawabannya singkat “Ah, itu udah biasa Pak” atau “tahu sama tahu aja”. Contoh perilaku koruptif dalam hal suap-menyuap adalah ketika mengurus surat perijinan dalam suatu instansi, sebagian besar kita “ikhlas” membayar lebih kepada ‘orang dalam’ untuk mendapatkan pelayanan ekstra cepat, tetap lolos walaupun banyak persyaratan yang diajukan masih kurang. Kita lebih senang “damai” dengan polisi ketika ditilang karena “damai itu indah”, kita lolos sanksi Pak Polisinya dapat “jajan”. Contoh perilaku koruptif dalam bentuk gratifikasi yang kadang tidak disadari, ada sebagian orang tua memberikan hadiah pada guru anaknya menjelang penerimaan raport atau kenaikan kelas, selain itu ada sekolah yang rela memberikan ‘bantuan’ pada muridnya saat Ujaian Nasional agar 100% siswanya lulus, demi menjaga nama baik sekolah.
Ketika perilaku-perilaku koruptif menjadi massif dan terbiasa dikalangan masyarakat, lambat laun akan menjadi budaya dan karakter dari masyarakat itu sendiri. Maka ketika seseorang menjadi pejabat publik dengan kewenangan dan kekuasaan yang besar, perilaku-perilaku koruptif sebelumnya yang telah tertanam dalam karakternya akan menemukan lahan subur tumbuhnya tindakan-tindakan korupsi yang luar biasa.
Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menjamurnya LSM dan gerakan pegiat anti korupsi sedikit banyak merubah persepsi masyarakat tentang korupsi. Ketika banyak pejabat negara yang ditangkap karena korupsi dan dipermalukan di media dengan sebutan Koruptor, euforia masyarakat begitu tinggi terhadap pemberantasan penjahat ‘kerah putih’ yang selama ini tak banyak tersentuh, KPK pun muncul sebagai pahlawan baru dan Koruptor adalah manusia hina dan musuh bersama.
Ada fenomena lain yang menarik dibalik euforia ini, di satu sisi masyarakat begitu benci dengan koruptor, tapi di sisi lain dukungan partisipasi dalam gerakan-gerakan anti korupsi tidak begitu banyak yang mau terlibat secara aktif dan yakin mengatakan YES!, misalnya ketika kelompok anti korupsi mengajak komunitas ibu-ibu dalam gerakan tidak menerima uang dari suaminya yang tidak jelas sumbernya, sebagian besar mereka masih ragu-ragu mengatakan YES! Atau lebih aman memilih diam saja. Ketika pelajar diajak dalam gerakan tidak menyontek saat ujian, tidak banyak yang lantang meneriakkan YES!, contoh lain ketika ada ajakan untuk gerakan tidak memberi uang tip atau ‘uang rokok’ pada birokrat atau aparat dalam mengurus administrasi kependudukan dan lain-lain, ternyata tidak sedikit juga yang ‘ikhlas’ memberi.
Fakta ini menunjukkan bahwa perilaku koruptif sudah sedemikian membudaya dalam kehidupan bermasyarakat kita, tugas berat bagi pegiat anti korupsi untuk mengikis perilaku-perilaku koruptif yang menempel kuat dalam masyarakat, upaya pencegahan harus mendapatkan perhatian lebih serius disamping upaya-upaya penindakan. Korupsi itu secara perlahan akan tercerabut jika perilaku koruptif yang membudaya perlahan terkikis dari karakter masyarakat kita dan diganti dengan budaya Jujur, Sederhana, Berani dan Bertanggung Jawab. Meminjam kata-kata Bang Napi, “Korupsi bukan hanya karena niat pelakunya, tapi karena ada kesempatan, Jujur dan beranilah !”.
Penulis, Aidil Azhari Ritonga, SH (Direktur Eksekutif Pusat Belajar Anti Korupsi Dompet Dhuafa)