(Panjimas.com) – “Pahlawan yang setia itu berkorban, bukan buat dikenal namanya, tetapi semata-mata untuk membela cita-cita”- Mohammad Hatta
Embun pagi masih melekat di setiap permukaan dedaunan pada satu pagi, tanggal 10 November 1945 tepatnya. Belum juga hilang semangat para jama’ah shalat subuh yang berjalan kembali ke rumahnya dari langgar dan surau. Namun kesejukan tersebut tiba-tiba menjadi hilang menyusul bergeloranya perlawanan para kaum muda terhadap serangan pasukan Inggris yangyang diawali dengan pengeboman udara ke gedung-gedung pemerintahan Surabaya, dan kemudian mengerahkan sekitar 30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang. Inggris kemudian membombardir kota Surabaya dengan meriam dari laut dan darat.
Upaya penyerangan tersebut di luar dugaan pihak Inggris yang menganggap bahwa Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo tiga hari. Di Surabaya ada para tokoh masyarakat seperti pelopor muda Bung Tomo yang berpengaruh besar di masyarakat terus menggerakkan semangat perlawanan pemuda-pemuda Surabaya sehingga perlawanan terus berlanjut di tengah serangan skala besar Inggris.
Bukan hanya dari tokoh pemuda saja, tetapi kalangan alim ulama serta kyai-kyai pondok Jawa seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya juga mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran skala besar ini mencapai waktu sampai tiga minggu, sebelum seluruh kota Surabaya akhirnya jatuh di tangan pihak Inggris.
Peristiwa kedatangan pasukan inggris tersebut hingga hari ini, peristiwa heroik ini kita namai dan peringati sebagai hari pahlawan. Tepat sudah 70 tahun berlalu, angka yang sama dengan usia kemerdekaan republik yang kita cintai, Indonesia. Spirit perjuangan itu sedang mengalami letargi. Imajinasi, kehendak dan gagasan-gagasan besar tentang keindonesiaan selalu berakhir tragis seperti aborsi. Ide besar pembentukan republik seolah menjumpai generasi kerdil.
Memaknai Kembali Jiwa Kepahlawanan
Selama ini, hari pahlawan tetap diperingati sebagai upaya menjaga semangat militansi rakyat Indonesia dalam menjaga kesatuan serta harkat dan martabat Republik Indonesia. Sang Proklamator kemerdekaan Indonesia, Ir. Soekarno dalam sebuah pidatonya saat memperingati hari pahlawan tahun 1961 mengumandangkan “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya.” Betapa tidak, mereka para pahlawan yang telah mendahului kita telah rela mengorbankan hidupnya demi menjaga dan mempertahankan negara Indonesia. Tanpa jasa mereka, kita tidak bisa menjadi bangsa dan negara Indonesia seperti sekarang.
Semangat heroik para kaum muda dalam pertempuran menjaga kemerdekaan yang secara ringkas penulis gambarkan tadi semestinya menjadi motivasi besar bagi rakyat Indonesia saat ini. Tetes darah dan keringat dalam perjuangan adalah bukan suatu penghalang dalam mencapai cita-cita berbangsa dan bernegara. Sekalipun masa perang kemerdekaan telah berlalu, pada generasi saat inilah tongkat estafet menjaga keutuhan bangsa ini dititipkan.
Kutipan dari Bung Hatta di awal tulisan ini sengaja saya letakkan di awal untuk mempertegas bahwa pahlawan dan kepahlawanan tidak hanya identik dengan orang-orang yang berjuang di medan perang yang bersifat heroik. Makna pahlawan yang tersirat dari pernyataan tersebut ialah pahlawan merupakan orang-orang yang dikenang karena kesetiaannya dalam perjuangan mencapai cita-cita. Cita-cita tersebut tidaklah lain meningkatkan harkat dan martabat bangsa dan Negara Republik Indonesia.
Dalam kamus bahasa Indonesia pun sebenarnya telah melekatkan makna tersebut. Secara harfiah pahlawan diartikan sebagai “pejuang yang gagah berani; orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Kata ”kepahlawanan” diartikan dengan “perihal yang berhubungan dengan pahlawan, seperti keberanian, keperkasaan, kerelaan berkor-ban”. Kalau dimaknai secara bebas maka kata pahlawan adalah orang-orang yang berjuang dengan gagah berani dan menonjol karena keberaniannya tersebut untuk membela kebenaran. Oleh sebab itu kata pahlawan berkaitan dengan orang-orang yang berjuang dijalan kebenaran.
Gerakan Intelektual, Perjuangan Pemuda Masa Kini
Negeri ini sedang membutuhkan banyak pahlawan yang mewakafkan dirinya dalam mencapai cita-cita bangsa. Pahlawan yang mampu mewujudkan Indonesia yang adil dan beradab, Indonesia yang demokratis, dan Indonesia yang makmur. Perjuangan pahlawan tersebut pastilah dibingkai dalam khazanah pengetahuan dengan mengedepankan nilai-nilai kebenaran.
Arus globalisasi yang bergerak begitu cepat harus ditanggapi dengan cermat agar tidak tenggelam dalam jurang perkembangan zaman. Sebagai elemen harapan bangsa, pemuda semestinya berpartisipasi aktif dalam kemajuan bangsa ketimbang mengejar eksistensi pribadi. Sebab jiwa kepahlawanan adalah merelakan diri melebur pada entitas baru yakni “kita”.
Dengan menumbuhkan jiwa kepahlawanan pemuda tidak jadi penderita Letargi dalam berbangsa. Kesadaran dan kesiagaan pemuda dalam berbangsa dapat dikuatkan melalui gerakan intelektual yang diperankan oleh kaum pemuda itu sendiri. Pada konteks saat ini, tradisi intelektual yang tumbuh di kalangan pemuda sesungguhnya harus dihadirkan dalam bentuk baru demi melakukan adaptasi gerak dalam dinamika zaman dengan senantiasa mengedepankan nilai-nilai spiritual, kemanusiaan dan kebangsaan tetapi dengan format yang lebih kekinian.
Transformasi gerakan intelektual pemuda perlu digalakkan khususnya menyangkut berbagai hal seperti sosial, politik, ekonomi, budaya, dan agama (nilai spiritual). Sehingga kelak dapat menyempurnakan referensi untuk memengaruhi proses-proses pengambilan kebijakan publik dan politik di sentra-sentra pemerintahan dan kemaslahatan rakyat di Negeri ini.
Hal ini penting dilakukan sebagai kontinuitas perjuangan para pahlawan. Sebab pemuda sebagai elemen kaum intelektual dan aset masa depan bangsa, harusnya berani mewakafkan energi dan pengetahuannya untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa. Karena sejatinya, konsekuensi logis dalam gerakan intelektual bagi pemuda adalah adanya tanggung jawab sosial yang besar, yakni mengabdi pada kebenaran untuk kemaslahatan rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote.
Gerakan intelektual ini tidaklah lain sebagai upaya meningkatkan kualitas sumberdaya manusia negeri ini. Daya saing bangsa kita di mata dunia dinilai dari kesejahteraan rakyat dan kemampuannya dalam mengelola sumberdaya alam yang dimiliki. Memilih untuk melibatkan diri dalam perjuangan mewujudkan bangsa yang mandiri adalah sebuah jalan mulia bagi generasi muda.
Pada akhir tulisan ini penulis menegaskan bahwa setiap orang harus berjuang untuk menjadi pahlawan. Pelatup semangat perjuangan menjadi pahlawan tidak hanya pada 10 November saja, tetapi berlangsung setiap hari dalam kehidupan. Jiwa kepahlawanan kita tumbuhkan dengan membiasakan diri dalam urusan kemaslahatan masyarakat banyak. Membekali diri dengan pengetahuan dan bertanggung jawab pada nilai kebenaran. Melalui gerakan intelektual yang mulia, tanggung jawab yang ada pada generasi kita untuk mewujudkan Indonesia yang hebat, Indonesia yang bermartabat bisa diraih.
Penulis, Herri Mauliza HR (Wasekjen Bidang Politik PB HMI)