(Panjimas.com) – Dalam kepentingan membangun sistem hukum Ketahanan Nasional dari adanya ancaman ekspansi ideologi transnasional Syi’ah Iran, metode Studi Hukum Kritis (Critical Legal Studies), lazim disingkat CLS, dapat digunakan untuk proses de-legitimasi terhadap doktrin hukum imamah Syi’ah Iran yang telah terbentuk. CLS memperkenalkan metode trashing, deconstruction, dan genealogy. Trashing, adalah teknik untuk mematahkan atau menolak pemikiran hukum yang telah terbentuk. Teknik trashing dilakukan untuk menunjukkan kontradiksi dan kesimpulan yang bersifat sepihak berdasarkan asumsi yang meragukan. Deconstruction adalah membongkar pemikiran hukum yang telah terbentuk. Dengan melakukan pembongkaran, maka dapat dilakukan rekonstruksi pemikiran hukum. Sedangkan genealogy adalah penggunaan sejarah dalam menyampaikan argumentasi. Genealogi digunakan karena interpretasi sejarah kerap didominasi oleh mereka yang memiliki kekuatan. Interpretasi sejarah ini yang kemudian digunakan untuk memperkuat konstruksi hukum.
Penggunaan ketiga metode CLS tersebut, secara singkat dapat penulis jelaskan sebagai berikut.
Pertama, penolakan terhadap ajaran Syi’ah di berbagai Negara lebih disebabkan dari persoalan doktrin imamah yang sangat fundamental dalam ajaran (teologi) Syi’ah Iran dan dengannya melakukan ekspansi. Menurut Syia’h, imamah merupakan kelanjutan dari Nubuwah. Pekembangan selanjutnya – pasca Revolusi Iran tahun 1979 – imamah telah resmi menjadi ideologi Negara Iran. Para yuris Syi’ah kemudian membentuk kelembagaan Wilayat al-Faqih yang didasari prinsip-prinsip imamah. Sedangkan menurut kaum Sunni, doktrin imamah sebagai pemegang (otoritas) kekuasaan baik agama maupun pemerintahan tidaklah dikenal.
Kedua, kaum Sunni hanya mengenal dan mengakui Khulafaur Rasyidin sebagai kelanjutan pemerintahan pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW, bukan sistem imamah sebagaimana diklaim oleh kaum Syi’ah. Disinilah letak polarisasi antara Sunni dengan Syi’ah. Imamah menurut Syi’ah telah ditentukan berdasarkan nash dan testament Nabi Muhammad SAW. Sedangkan kaum Sunni berargumen tidak ada penunjukkan yang tegas menyangkut suksesor Nabi Muhammad SAW.
Ketiga, kaum Sunni menyatakan bahwa kaum Syi’ah telah mengeksploitasi masalah suksesi dengan klaim sepihak tentang imamah yang menegasikan keberadaan khalifah penerus Nabi Muhamamad SAW.
Argumentasi kaum Sunni dalam menghadapi klaim sepihak kaum Syi’ah sebenarnya telah menggunakan tiga metode yang diperkenalkan oleh para pemikir CLS.
Pertama, kaum Sunni telah melakukan trashing dengan mengatakan bahwa doktrin imamah bukanlah berasal dari nash maupun testament Nabi Muhammad SAW, melainkan berasal dari para yuris Syi’ah pada masa belakangan.
Kedua, kaum Sunni telah melakukan deconstruction terhadap doktrin imamah dengan mengatakan bahwa doktrin imamah berseberangan secara prinsip dengan ajaran Islam. Doktrin imamah hanya menguntungkan Negara Iran yang memang secara resmi menganut ajaran Syi’ah. Oleh karenanya, doktrin imamah tidak mungkin dapat diterapkan pada Negara yang menganut paham Ahlusunnah wal Jamaah. Indonesia adalah salah satunya.
Ketiga, genealogy juga diterapkan oleh kaum Sunni dengan mengungkapkan bahwa Negara Iran dengan banyak kasus telah melakukan berbagai distorsi sejarah dengan mengusung doktrin imamah. Kebangkitan Syi’ah pasca Revolusi tahun 1979 hingga saat ini cenderung melahirkan konflik dan bahkan peperangan sebagaimana terjadi di berbagai Negara Timur Tengah. Di Indonesia, konfik antar keduanya juga semakin menguat, baik berupa ungkapan kebencian (hate speech) hingga tindakan anarkis yang lebih disebabkan oleh provokasi kaum Syi’ah.
CLS menyatakan bahwa hukum adalah politik dan doktrin hukum yang selama ini terbentuk sebenarnya berpihak pada mereka yang memiliki kekuatan (power) bukanlah tanpa dasar. Para eksponen CLS bermaksud untuk melakukan dekonstruksi untuk dilanjutkan dengan suatu upaya untuk mengkonstruksikannya kembali. Dekonstruksi yang dianjurkan dan dikerjakan di sini berlangsung berdasarkan kebijakan “pembalikan hierarki” dan upaya penemuan metode baru untuk menafsir ulang maksud yang terkandung dalam norma hukum. Dekonstruksi harus bekerja untuk segera menampilkan pihak yang selama ini kepentingannya tidak tertampilkan dan karena itu juga tidak terbicarakan. Dalam proses dekonstruksi, hak dan kepentingan para pihak harus dikontruksi ulang sebagai dua entitas yang interdependen. Tidaklah kontruksi itu bertahan pada norma-norma bahwa hak dan kepentingan pihak yang satu berkedudukan dominan, sedangkan kepentingan pihak yang lain terpandang sebagai wujud yang dependen. CLS menekankan adanya suatu sistem yang peka dan responsif. Dengan demikian, dekonstruksi yang dimaksudkan adalah sebagai bagian dari upaya rekonstruksi yang positif.
Dalam upaya rekonstruksi guna membangun sistem hukum Ketahanan Nasional dalam perspektif CLS, diperlukan adanya penafsiran ulang tentang konsep Ketahanan Nasional. Konsep Ketahanan Nasional tidak memasukkan bidang hukum sebagai salah satu gatranya. Selain itu, perihal antisipasi dan penanggulangan terhadap ancaman nir-militer berupa ideologi transnasional Syi’ah Iran juga belum menjadi perhatian pemerintah. Kenyataan yang terjadi menunjukkan, Undang-Undang di bidang Pertahanan Negara belum mampu mengantisipasi dan menanggulangi masuk dan berkembangnya ideologi transnasional yang merupakan salah satu ancaman nir-militer. Dengan kata lain terjadi diskongruensi antara das solen dan das sein.
Ideologi transnasional Syi’ah Iran masuk melalui penetrasi atau infiltrasi budaya dan agama (transcendental). Perlu disampaikan disini bahwa tidak ada suatu Negara di dunia ini yang mampu melahirkan ideologi yang bersumber dari ajaran agama yang menyimpang. Tidak pula ada suatu Negara yang berhasil melakukan ekspansi ideologi politik dan ajaran keagamaan secara bersamaan ke berbagai Negara. Hanya satu-satunya Negara yang berhasil melakukan itu, yakni Iran. Ekspansi ideologi Syi’ah Iran ini sangat menggantungkan dari kesetiaan para penganut ajaran Syi’ah, melalui penguatan ritual religius dan ritual politik, yakni ritual Asyura dan Idhul Ghadir.
Konsep Ketahanan Nasional seyogyanya menampilkan hukum sebagai salah satu gatra yang menjadi kekuatan untuk mengantisipasi dan menanggulangi ancaman nir-militer dimaksud. Berbagai perkembangan konflik antara Sunni dengan Syi’ah tidak bisa dilihat hanya dengan pendekatan keagamaan belaka, namun juga harus dengan pendekatan Ketahanan Nasional. Jika mengacu dengan pendekatan Kewaspadaan Nasional dalam mendekati masalah, berarti kewaspadaan itu berkaitan dengan nasionalisme. Di sisi lain, ekspansi ideologi Syi’ah yang mengusung imamah adalah melemahkan nasionalisme bangsa Indonesia. Dengan demikian, maka perlu diwujudkan Keamanan Nasional yang kuat dalam suatu Negara. Dengan mengacu kepada prinsip ini, maka Keamanan Nasional yang kuat akan memberikan implikasi positif bagi Ketahanan Nasional. Ketahanan Nasional yang tangguh mensyaratkan daya berlakunya yang dinamis. Sejalan dengan ini ilmu pengetahuan (sains) juga bergerak dinamis. Sistem Ketahanan Nasional yang tangguh haruslah mengacu kepada ideologi nasional, dengan kemampuannnya untuk menyesuaikan pada keberlakuan lingkungan strategis, baik global, regional maupun nasional. Singkat kata, Ketahanan Nasional harus didukung oleh kriminalisasi ekspansi ideologi transnasional Syi’ah Iran. Tanpa adanya kriminalisasi dimaksud, upaya pengembangan sitem Ketahanan Nasional menjadi tidak berarti, hanya sia-sia belaka. Kita tentu tidak menginginkan, bagaimana kelak jadinya bangsa dan Negara ini? Hanya waktulah yang akan menjawab.
Penulis, DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH, MM. Komisi Hukum dan Perundang-Undangan MUI Pusat