(Panjimas.com) – Hari – hari tiada luput diberitakan tentang kekerasan anak di berbagai media. Semakin bertambah hari, angka kekerasan semakin meningkat.Pusat Data dan Informasi (Pudastin) kemensos mencatat, terdapat 4,1 juta anak mengalami berbagai macam masalah. (indopos.co.id). Sementara itu Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) per April 2015, mencatat terjadi 6.006 kasus kekerasan anak di Indonesia. Di antaranya 3.160 kasus berkait dengan pengasuhan, 1.764 kasus berkait pendidikan, 1.366 kasus terkait kesehatan dan NAPZA dan 1032 kasus disebabkan oleh cyber crime dan pornografi. Angka ini meningkat tajam bila dibandingkan dengan catatan Komnas Perlindungan Anak pada tahun 2013, dimana terjadi sekitar 1620 kasus kekerasan.(republika.co.id).
Solusi setengah-setengah
Kian meningkatnya kasus kekerasan yang menimpa anak membuktikan bahwa negara ini telah gagal dalam melindungi anak. Itulah negara demokrasi kapitalis. Dengan karakter yang melekat pada sistem kapitalis ini, yakni negara sebatas pembuat regulasi akan meniscayakan munculnya beragam masalah, termasuk masalah gangguan keamanan bagi warganya. Negara juga telah bertindak abai dengan menyerahkan perlindungan anak dan masalah sosial lainnya kepada keluarga. Pelemparan tanggungjawab ini dapat dilihat dari beberapa statemen pejabat negara, di antaranya : pernyataan presiden bahwa keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam membangun peradaban bangsa (pikiran-rakyat.com). Mendikbud menyatakan peran orang tua amat penting dalam kerangka penguatan insan. (kemendikbud.co.id). Sementara Mensos menyatakan perempuan dituntut untuk menjadi pilar yang membentengi anak-anak untuk tidak terjerumus pada tindakan asosial. (republika.co.id).
Tidak dipungkiri mengenai pentingnya keluarga dalam membentengi anak. Namun nampak adanya ketidaksinkronan antara komitmen negara (melalui pernyataan beberapa pejabat) tentang peranan keluarga dengan kebijakan yang dikeluarkan. Produk kebijakan negara acap kali kontraproduktif dengan tujuan perlindungan anak. Misalnya dapat kita lihat pada kebijakan yang mengharuskan kaum ibu untuk memasuki dunia kerja yang eksploitatif demi mendongkrak ekonomi keluarga. Program pengarusutamaan gender yang gencar dilakukan, membuat kaum ibu menyerbu pos pos kerja di sektor publik meninggalkan keluarganya. Hal ini tentu akan menghalangi fungsi kaum ibu sebagai pendidik , pembimbing dan pembina bagi anak-anaknya.
Di sisi lain terdapat ironi, ketika keluarga ditetapkan sebagai pembina dan penjaga moral anak, namun pada waktu yang sama negara memfasilitasi bisnis dan media yang menawarkan racun kepornoan. Akibatnya anak mudah menjadi korban kekerasan, atau bahkan menjadi pelaku kekerasan baik fisik maupun seksual.
Semua ini menunjukkan bahwa solusi yang dibuat negara bersifat setengah-setengah. Alih-alih dapat menuntaskan problemnya, justru menurunkan masalah baru membuat semakin rumitnya problem keluarga dan sosial. Adalah logis bila problem kekerasan terhadap anak tidak mampu untuk diselesaikan. Sungguh negara telah gagal menjadi pelindung bagi rakyatnya.
Permasalahan anak membutuhkan perubahan Sistem
Banyak pihak telah melakukan pembahasan dan berusaha mencari solusi agar tindak kekerasan ini tidak terulang. Beragam solusi agar pelaku menjadi jera juga telah dilontarkan oleh beberapa pakar. Diantaranya hukuman yang dapat memberikan efek jera yaitu dengan hukuman berat atau dikebiri secara permanen. Namun perlu dikaji ulang: benarkah hukuman tersebut mampu menghentikan problem kekerasan terhadap anak, mengingat akar masalahnya tidak tersentuh? Menelaah apa yang menjadi akar permasalahan, agaknya dapat memberikan harapan dapat dirampungkanya problem ini. Ibarat dokter yang hendak melakukan pengobatan , maka langkah pertama adalah mendiagnosa jenis penyakit pasien, bukan sekedar menghilangkan gejalanya. Bila diagnosanya tepat, obat yang diberikan bisa diharap menyembuhkan.
Dengan analisa fakta, kita menemukan bahwa penyebab berulangnya kasus kekerasan terhadap anak ini menyangkut banyak faktor : kebijakan kebijakan ekonomi negara yang tidak pro-rakyat, lemahnya sistem hukum, buruknya sistem penerangan dan pers. Semua ini merupakan produk dari sistem kapitalis. Sebagai sistem produk akal manusia, maka penerapan sistem ini jauh dari suasana ar-ruh, yaitu kesadaran akan hubungan hamba sebagai makhluk dengan pencipta. Kasus kekerasan pada anak sesungguhnya lahir dari kekebasan yang dibawa oleh ideologi kapitalisme ini. Oleh karena itu untuk menyelesaikan problem kekerasan pada anak , pedofilia dan penyimpangan perilaku seksual lain tidak bisa diselesaikan secara parsial, sungguh dibutuhkan solusi yang bersifat sistemik. Solusi tuntas terhadap masalah ini adalah diterapkanya syariah Islam.
Syariah Islam Solusi Tuntas Problem Kekerasan Anak
Syariah Islam mewajibkan bagi negara untuk menanamkan akidah yang kuat, membangun ketakwaan bagi rakyat. Negara tidak boleh menyerahkan hal ini kepada urusan individu sebagaimana pandangan kapitalis yang mengagungkan HAM itu. Hal ini ditempuh melalui mekanisme sistemik, terutama sistem pendidikan, baik formal maupun non formal melalui beragam institusi dan sarana. Penanaman keimanan secara sistemik akan menjauhkaan rakyat dari dominasi sikap hedonis yang mengutamakan kepuasan materi. Melalui penerapan syariah Islam, negara tidak akan membiarkan penyebaran pornografi dan pornoaksi terjadi, karena hal itu bertentangan dengan ketentuan syariat.
Di sisi lain, pemenuhan kebutuhan pokok rakyat juga menjadi fokus perhatian negara, baik yang menyangkut kebutuhan pokok yang bersifat individual (sandang, pangan, papan) maupun kebutuhan pokok yang bersifat komunal (keamanan, kesehatan dan pendidikan) melalui mekanisme yang sesuai dengan syariat Islam. Dengan penerapan politik ekonomi Islam rakyat memiliki peluang yang luas dalam akses ekonomi dan pelayanan publik. Di samping itu harta akan terdistribusi secara merata sehingga rakyat terbebas dari kemiskinan.
Penerapan syariat Islam akan mengurangi faktor –faktor pemicu kekarasan. Kalaupun ada yang melakukan, maka penerapan sistem sanksi sesuai syariat akan membentegi masyarakat dan membuahkan efek jera. Kasus yang menimpa Putri Nur Fauziah, di Jakarta Barat misalnya, kepada pelakunya yaitu Agus Darmawan akan diganjar hukuman mati karena melakukan sodomi dan pembunuhan. Dengan penerapan syariat Islam ini akan berjalan fungsi pencegahan sehingga tindak kriminial tidak terus menyebar . Itulah efektifnya syariah Islam dalam hal mencegah tindak kriminal. Syariat ini hanya dapat diterapkan dalam konteks Khilafah Islamiyah, di samping juga ada kewajiban di pundak kaum muslimin untuk menegakkanya. Wallahu a’lamu bishawab.
Penulis: Susmiyati, Pengajar SMP di Tulungagung.