Oleh: Engkus Munarman*
(Panjimas.com) – Drama tarik-ulur perpanjangan bisnis raksasa tambang Freeport di Indonesia sepertinya bakal mencapai babak akhir. Lumayan banyak yang percaya, bahwa lawatan Presiden Jokowi ke Amerika pekan depan bakal menjadi gong bagi Jim Moffet. Pria gaek berusia 70 tahun lebih ini adalah salah satu pemilik Freeport McMoran, perusahaan induk PT Freeport Indonesia (FI).
Tapi sebetulnya, Presiden Joko Widodo sudah mengetuk palu vonis, bahwa PT Freeport Indonesia harus tetap menunggu hingga 2019 bila ingin melakukan perpanjangan kontrak.
“Peraturannya itu jelas, bahwa perpanjangan diperbolehkan dua tahun sebelum kontrak habis. Berarti sebelum 2021, yaitu 2019,” ujar Kepala Negara di sela kunjungan ke Kantor Pusat Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan, Jumat (16/10/2015).
Tarik-ulur perpanjangan izin usaha FI memang berlangsung amat seru. Ini bukan saja karena lobi yang dilakukan Moffet ke sejumlah pejabat dan pihak yang dianggap terkait. Tapi drama ini mengharu-biru emosi publik karena saling-silang pendapat antara menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said di satu sisi dan Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli di sisi lain.
Sudirman, dengan jabatan yang disandangnya merasa berhak untuk ‘menjamin’ kelangsungan bisnis FI di Papua. Dalih yang disorongkan, perlu kepastian yang benar-benar pasti bagi perusahaan dengan investasi dan ‘rencana’ investasi superjumbo seperti FI. Perpanjangan izin sangat diperlukan, agar perusahaan asal Abang Sam itu bersedia merealisasikan rencananya merogoh kocek hingga US$18 miliar.
Jaminan Sudirman itu, tentu saja, kelewat dini. Sesuai PP 77/2014, pengajuan perpanjangan izin usaha pertambangan paling cepat baru bisa diajukan secepatnya dua tahun menjelang izin berakhir. Setelah berkali-kali perpanjangan izin hasil lobi Moffet, umur FI di Indonesia yang beroperasi sejak 1973 itu bakal berkahir pada 2021. Artinya, baru pada 2019 FI boleh mengajukan perpanjangan usaha.
Keblinger
Sikap akuntan yang menjadi Menteri ESDM ini bisa disebut kebablasan. Menko Rizal Ramli malah punya sebutan lain yang rasanya lebih pas, keblinger. Kepada para wartawan usai menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHPKN) di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa pekan silam, Rizal bahkan menyebut Sudirman melampaui kewenangannya dan melanggar hukum kalau sampai memproses perpanjangan izin usaha FI sebelum waktunya.
Seperti yang sudah-sudah, Moffet dengan FI-nya memang rajin menyodorkan iming-iming investasi besar untuk memperpanjang izin usaha. Itu yang resmi. Maksud saya, ada kelakuan lain yang tidak resmi. Sudah bukan rahasia lagi kalau Moffet adalah pengusaha yang ‘jorok.’ Dia doyan menyogok para pejabat di luar Amerika untuk melicinkan bisnisnya. Yang dimaksud di luar Amerika itu, ya termasuk (terutama!) di Indonesia.
Tentu saja, saya tidak berani mengatakan Sudirman sudah makan sogokan Moffet hingga begitu semangat akan memperpanjang izin usaha FI. Selain tidak memiliki bukti, juga tidak elok rasanya menuduh pak Menteri dengan tudingan saru seperti itu. Yang bisa saya katakan di sini, sepertinya Sudirman begitu terlena dan klepek-klepek dengan janji investasi US$18 miliar yang bakal dirogoh FI di sini.
Pertanyaannya, benarkah FI bakal menggelontor dana superjumbo hingga US$18 miliar di Papua. Jawabannya, bisa ya bisa juga tidak. Tapi, katakanlah, iya; US$18 miliar iming-iming itu bukanlah fresh money yang diangkut dari kas mereka di Amerika sana. Yang benar, US$18 miliar itu ‘hanyalah’ capital expenditure (Capex) yang dicicil sampai 2041.
Jadi, saya ulangi, ada dua hal yang harusnya Sudirman dan publik tahu. Pertama, tidak akan ada fresh money dari Freeport. Capex bersumber dari kas perusahaan yang disisihkan dari laba. US$18 miliar adalah jumlah liliput dibandingkan keuntungan yang diraup Freeport setelah puluhan tahun mengeruk emas, perak, tembaga dan mineral lain dari bumi Indonesia.
Kedua, US$18 miliar tidak akan, sekali lagi, tidak akan digelontorkan sekaligus. Jumlah itu dicicil selama 20 tahun sampai 2041. Angka 20 tahun ini mengacu pada PP 77/2014, bahwa dengan dihapuskannya sistem Kontrak Karya (KK), maka selanjutnya diganti dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Nah, mereka yang mengantongi IUP/IUPK bisa memperoleh perpanjangan izin 2×10 tahun.
Mantan Dirjen Mineral Energi dan Batubara (Minerba) R. Sukhyar mengamini dua poin yang saya paparkan itu—yaitu soal Capex dan durasi pengeluarannya yang tidak sekaligus. Sebagai pejabat tinggi yang bidang tugasnya terkait langsung dengan Freeport dan perusahaan sejenis lainnya, Sukhyar paham betul dengan perkara ini.
Pada konteks ini, agak mengherankan kalau Sudirman tidak tahu dua hal penting tadi. Apa ini terjadi karena latar belakang Menteri ESDM adalah akuntan, dan bukan orang Tambang? Tapi walau begitu, mosok sih, sebagai akuntan Sudirman tidak paham soal yang begini? Justru sebagai akuntan harusnya dia paham betul. Pasalnya, ini sama sekali bukan perkara teknis pertambangan, melainkan soal pembukuan alias akuntansi. Jadi, ada apa?
Logika hukum
Tapi baiklah, untuk sementara kita tinggalkan soal US$18 miliar yang kental dengan perkara akuntansi tadi. Sekarang kita kembali ke dalih Sudirman, bahwa kepastian usaha adalah hal amat penting bagi perusahaan besar seperti FI. Namun semangat juang Sudirman terganjal PP 77/2014 yang mensyaratkan pengajuan perpanjangan izin secepatnya dua tahun sebelum izin berakhir. Itulah sebabnya dia ‘menjanjikan akan mengubah peraturan yang ada agar perusahaan-perusahaan besar lebih memiliki kepastian usaha.
Dia bahkan berani menggaransi Freeport, bahwa perubahan peraturan tersebut kelak akan aman secara politik dan hukum. Lebih dari itu, Sudirman menjamin bahwa FI bakal tidak dibuat repot dengan urusan keuangan dan hukum. Top, kan?
Kepastian itu tertuang secara eksplisit dalam suratnya kepada Moffet. Pada poin 3 surat berkop Menteri ESDM lengkap dengan logo Garuda berwarna kuning keemasan tertulis janji-janji Sudirman. Bunyi lengkapnya begini:
Pemerintah Indonesia akan menyelesaikan penataan ulang regulasi bidang mineral dan batubara, agar lebih sesuai dengan semangat menarik investasi di bidang sumber daya alam di Indonesia. PT Freeport Indonesia dapat segera mengajukan permohonan perpanjangan izin operasi pertambangan, setelah diimplementasikannya penataan perundang-undangan. Lebih lanjut dipahami bahwa persetujuan permohonan tersebut nantinya akan memberi kepastian dalam aspek keuangan dan hukum yang sejalan dengan isi kontrak yang saat ini berlaku.
Melihat kegigihan perjuangan Sudirman dalam bersilang pendapat dengan Rizal Ramli, sepertinya apa yang ditulis dalam surat bernomor 7552/13/MEM/2015 tertanggal 7 Oktober 2015 itu bukanlah ansor alias angin sorga. Untuk Freeport, Sudirman bersedia pasang badan hingga berani menggaransi sedemikian jauh. Ada apa?
Namun Sukhyar berbeda pendapat dengan mantan bosnya itu. Menurut dia, seorang pejabat publik tidak boleh memutuskan kebijakan penting dan strategis tanpa memiliki landasan hukum. Terkait soal FI, lanjut Sukhyar, Sudirman mau tidak mau ya harus tunduk pada aturan yang ada, salah satunya PP 77/2014.
Sebetulnya Sudirman tidak perlu ngotot begitu rupa. Buat sebuah pemerintahan yang governance, perpanjangan izin seharusnya diberikan tanpa harus menunggu kepada yang bersangkutan mengajukan permohonan. Jadi, klaimnya bahwa dua tahun adalah tenggat yang mepet untuk pengajuan izin perpanjangan jelas tidak berdasar. Hal ini dimungkinkan karena pemerintah telah dan selalu memantau tingkat kepatuhan perusahaan terhadap berbagai peraturan dan perundangan yang ada. Jika perusahaan terbukti comply, pemerintah tidak punya cukup alasan untuk menolak perpanjangan izin.
Tentu saja, kata Sukhyar lagi, pemerintah bisa menambahkan sejumlah persyaratan lain sebelum memperpanjang izin usaha. Pada konteks Freeport, misalnya harus membangun smelter guna mendongkrak nilai tambah, menambah jumlah royalti untuk meningkatkan penerimaa negara, dan penggunaan kandungan lokal yang lebih besar. Tuntutan lainnya, merealisasikan divestasi dengan konsisten sesuai jadwal, pengembalian wilayah kerja, memenuhi tuntutan penduduk Papua yang sebetulnya normal-normal saja dan tidak berlebihan, serta memperbaiki hubungan dengan penduduk dan Pemda Papua.
Sayangnya, rekam jejak FI untuk poin-poin tersebut sebagian besar jeblok. Pembangunan smelter yang sesuai UU Nomor 4/2009 seharusnya dimulai pada 2014, sampai sekarang sama sekali tidak ada wujudnya. Pembayaran royalti emas yang harusnya 3,75% sejak beberapa tahun lalu, baru dilaksanakan pada 2014. Begitu juga dengan divestasi, hingga hari ini porsi pemerintah masih bertengger di 9,36%. Belum lagi soal hubungan dengan Pemda dan penduduk Papua yang jauh dari bagus.
Jadi, sepertinya memang terlalu banyak hal yang harus dibenahi oleh manajemen FI dan kantor pusatnya, jika mau terus menggali perut Papua. Seperti kata Sukhyar, kalau Freeport terbukti complay dan bisa memenuhi berbagai tuntutan lain untuk kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia, maka dengan sendirinya izin perpanjangan usaha akan diberikan. Dengan begitu Sudirman pun tidak perlu repot-repot menjadi Humas yang selalu menyuarakan kepentingan Freeport.
Kegigihan dan keberanian Menteri ESDM dalam membela Freeport memang layak mengundang tanya. Maklum, Presiden jokowi saja sudah menegaskan, Freeport harus menunggu hingga 2019 baru boleh mengajukan perpanjangan izin. Mengapa Sudirman begitu berani melangkahi Jokowi? Ada apa?
Eh iya, satu lagi, tentang berubah fungsinya Menteri ESDM menjadi seperti Humas Freepot
ini, Sukhyar punya pertanyaan. Kenapa harus Sudirman yang selalu memberi pernyataan kepada publik terkait Freeport? Bukankah di ESDM ada jabatan Dirjen Minerba? Bukankah cukup Dirjen saja?
Hayo, tolong dijawab pak Menteri, ada apa…? (*)
Jakarta, 23 Oktober 2015
Engkus Munarman, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Energi dan Lingkungan (PKEL)