Oleh: Habib Rizieq Shihab
(Panjimas.com) – Tiga bulan lebih hingga hari ini, kasus tragedi Tolikara seakan menguap begitu saja. GIDI terus berkelit untuk lepas dari tanggung-jawab atas tragedi Tolikara.
Di awal mereka beralasan bahwa Surat Edaran GIDI tertanggal 11 Juli 2015 tentang Pelarangan Jilbab dan Shalat Idul Fithri adalah tidak valid alias palsu. Kemudian ketika validitas Surat Edaran GIDI terbukti, mereka pun tetap tetap pada pendiriannya bahwa Surat Edaran tersebut tidak resmi.
Lalu saat mereka tidak bisa lari dari fakta surat yang di buat di atas Surat Resmi GIDI dan ditanda-tangani Pimpinan GIDI lengkap dengan stempelnya, maka mereka berkelit lagi bahwa Surat Edaran tersebut sudah dibatalkan.
Selanjutnya, tatkala ditanyakan tentang tak adanya satu instansi pun yang menerima Surat Pembatalan GIDI, kali ini mereka berkelit bahwa Surat Pembatalannya belum sempat dikirim.
Akhirnya, setelah tidak lagi dapat berkelit baru mereka minta maaf, itu pun atas pembakaran Kios, bukan pembakaran Masjid, dengan tetap membela para perusuh dan melemparkan kesalahan kepada polisi dan militer serta pemerintah.
Luar Biasa, GIDI menganggap semua bangsa Indonesia goblok, sehingga mudah dibodohi oleh kelit lidah busuk mereka. Dasar cecunguk licik dan culas serta tidak punya malu.
Namun demikian, Pasca peristiwa Tolikara – Papua, satu per satu rahasia GIDI terbongkar. Mulai dari pelarangan Jilbab dan Shalat Idul Fithri, serta pelarangan Speaker dan Papan Nama Masjid mau pun Musholla, hingga kerjasama GIDI dengan zionis israel dan keterlibatannya dengan OPM (Organisasi Papua Merdeka).
Gidi Dirikan Negara Dalam Negara
Pelarangan Jilbab dan Shalat Idul Fithri, serta Pelarangan penggunaan Speaker dan Papan Nama Masjid mau pun Musholla di seluruh Kabupaten Tolikara – Papua, bukan berasal dari SK Kepala Daerah atau pun Perda yang dikeluarkan DPRD setempat, bukan pula aturan keamanan dari TNI ataunpun POLRI, akan tetapi hanya berupa Surat Edaran Gereja atas nama GIDI (Gereja Injili Di Indonesia).
Dan pihak GIDI pun langsung mengontrol penerapan Surat Edaran yang mereka terbitkan, serta mengerahkan Pemuda Kristen Radikal untuk menggebuk siapa saja yang tidak mematuhinya, sebagaimana yang terjadi pada Hari Raya Idul Fithri tanggal 17 Juli 2015 di Tolikara.
Dengan demikian, GIDI telah menjadikan gereja sebagai Legislatif yang membuat peraturan, sekaligus sebagai Eksekutif yang melaksanakan peraturan tersebut, dan juga sebagai Yudikatif yang menghakimi para pelanggar peraturannya.
Kerjasama GIDI – Israel
Indonesia sejak dulu hingga kini tidak pernah mengakui zionis israel sebagai Negara, karena sesuai amanat Konstitusi yaitu Pembukaan UUD 1945 bahwa penjajahan di atas muka Bumi harus dihapuskan, dan israel adalah penjajah dan perampas Bumi Palestina.
Karenanya, tidak boleh ada komponen bangsa Indonesia yang menjalin hubungan apa pun dengan israel, termasuk organisasi keagamaan apa pun.
Dengan demikian, GIDI tidak lagi menghargai Konstitusi Negara RI, bahkan telah secara sengaja menantang dan menentang Konstitusi dengan menjadi kepanjangan-tangan Israel di Bumi Indonesia. Dengan kata lain, GIDI adalah PENGKHIANAT Bangsa dan Negara Indonesia. Sebagai catatan khusus, bahwa di Papua, khususnya Tolikara, ditemukan Lambang israel bertebaran dimana-mana. Ada apa?
GIDI Sarang OPM
Dalam siaran pers tertulis yang disebar luaskan oleh Benny Wenda atas nama Pemimpin Kemerdekaan Papua Barat (Spokesperson of the United Liberation Movement for West Papua / ULMWP) yang berkantor di Oxford – Inggris dengan perlindungan Kerajaan Inggris, terkait peristiwa Tolikara menyatakan :
“Di Papua Barat polisi dan militer Indonesia tidak dikirim untuk melindungi kita tapi untuk membunuh kami.”
Dalam Siaran Pers tersebut, ULMWP yang dikenal dengan sebutan OPM (Organisasi Papua Merdeka) menyebutkan :
- Bahwa peristiwa Tolikara hanya rekayasa polisi dan militer serta pemerintah Indonesia.
- Bahwa polisi dan militer serta pemerintah Indonesia telah merampas dan menjajah Papua.
- Bahwa polisi dan militer serta pemerintah Indonesia sedang menjalankan proyek Genosida untuk menghabisi Bangsa Papua.
- Bahwa polisi dan militer serta pemerintah Indonesia selalu menciptakan Konflik Agama di Papua untuk memecah belah dan mengadu domba Bangsa Papua.
- Bahwa perjuangan memerdekakan Papua akan terus berlanjut, karena Indonesia adalah masalah, sedang Papua Merdeka adalah solusinya.
Substansi pernyataan OPM tersebut sama persis dengan isi pernyataan GIDI pasca kejadian, yaitu “Melimpahkan Kesalahan Kepada Polisi dan Militer Serta Pemerintah” untuk mencari perhatian internasional.
Istana dan Tolikara
Pada awal kejadian, Presiden RI, Joko Widodo, hanya menyatakan “menyesal” atas peristiwa Tolikara, tidak lebih.
Namun, setelah masalahnya menjadi issue nasional, baru Jokowi menegaskan pentingnya Penegakan Hukum dan memerintahkan pembangunan kembali Masjid dan Kios yang dibakar, sebagaimana disiarkan secara luas oleh berbagai Media Cetak mau pun Elektronik.
Sedang Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla, seenaknya menyatakan gara-gara Speaker, sehingga ia patut dipanggil “Mr. Speaker”.
Dan Kepala Staff Istana Kepresidenan yang diberi wewenang besar oleh Presiden RI, Luhut Panjaitan, yang beragama Kristen, pada hari Selasa 21 Juli 2015, ngotot menyatakan bahwa peristiwa Tolikara hanya sebuah kasus biasa, bukan konflik agama.
Tragedi Konflik Agama
FPI melihat dan menilai bahwasanya peristiwa Tolikara – Papua bukan sebuah “kasus” biasa, tapi suatu “tragedi” yang merupakan “Konflik Agama” dan sekaligus menodai dan mencederai Rakyat, Bangsa dan Negara, sehingga wajib ditangani dengan ekstra serius secara komprehensif hingga tuntas.
Kini, FPI sedang menunggu dan melihat serta akan mencermati proposal perdamaian macam apa yang disiapkan pemerintah untuk Tolikara.
Yang jelas, FPI akan menolak keras jika yang diajukan berupa proposal pemutihan ala MR. Speaker dengan tetap memelihara intoleransi dan diskriminasi terhadap umat Islam.
Dan FPI tetap menuntut penuntasan proses hukum terhadap para perusuh liar yang biadab. Kita lihat saja esok. Insya Allah.