Ma’asyiral muslimin wal muslimat rahimakumullah.
Alhamdulillah, kita panjatkan segala puji dan syukur bagi Allah SWT. Allah satu-satunya Tuhan. Itu berarti tidak ada tuhan selain Dia. Tidak ada satu zat pun, apa pun dan siapa pun yang pantas, yang berhak, yang layak, dan yang wajib kita ibadahi selain Allah. Peribadatan dan penghambaan hanya kita pasrahkan kepada Allah SWT. Allah Sang Pencipta dan Pemilik jagat raya, pemelihara langit dan bumi seisinya. Inilah tauhid, inti ajaran para rasul sejak Adam AS hingga Muhammad SAW. Tauhid yang harus kita pegang dengan teguh sampai kapan pun dan apa pun konsekwensinya.
Kemudian kita mohonkan agar shalawat dan salam tetap Allah limpahkah kepada Muhammad Rasulullah SAW. Khataman nabiyyin yang dengan risalah yang dibawanya, sanggup mengantarkan ummatnya pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Pemimpin pemberi uswah terbaik yang tiada banding dan tiada tanding.
Hari ini gema takbir berkumandang memenuhi langit. Bersahut-sahutan tiada henti. Hati siapakah yang tidak tergetar mendengar keagungan dan kebesaran Allah terus-menerus dilantunkan oleh lebih dari 1,5 miliar manusia di seluruh pelosok bumi? Takbir itu terus bergema dan menggelegar, sambung-menyambung dari satu negeri ke negeri lain. Hanya hati yang telah mengeras bagai batu belaka yang tidak merespon dengan amat positif salah satu tanda-tanda kebesaran Allah ini.
Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar. Jamaah Idul Adha yang dirahmati Allah
Setiap kali sampai pada momen Idul Adha, kita diingatkan kembali akan kisah agung keluarga Ibrahim AS. Kisah penuh teladan bagi segenap manusia sepanjang zaman. Kisah yang telah dengan amat indah Allah rekam dalam surat TQS. Ash Shafaat [37] : 100-113.
Kisah keluarga Ibrahim telah menjadi legenda sejak lebih dari 5.000 tahun silam. Inilah kisah keluarga teladan. Keluarga yang telah berhasil membangun dan menanamkan tauhid pada segenap sendi-sendi kehidupan. Ibrahim, Hajar, dan Ismail adalah potret anggota keluarga sempurna dalam pengabdian dan penghambaan kepada Allah SWT, robbul ‘izzati. Setiap individu dalam keluarga utama ini, benar-benar menunjukkan kwalitas ultraprima dalam bertauhid secara murni dan luar biasa.
Sejak kita kanak-kanak, kisah keluarga ini sudah begitu akrab. Di sekolah para guru menceritakannya. Di surau, langgar, dan mushola-mushola, para ustadz dan guru ngaji mengisahkannya. Seperti baru kemarin, kisah berusia ribuan tahun itu disampaikan kembali kepada kita. Kita masih ingat, bagaimana Ibrahim AS teramat sangat merindukan anak. Di usianya yang sudah renta, Allah belum juga menganugrahi keturunan baginya. Sementara Sarah, istrinya yang juga sudah tua, tidak kunjung menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Buat Ibrahim AS, anak bukanlah sekadar pelanjut keturunan. Bagi sang khalilullah, kekasih Allah ini, anak juga sekaligus pewaris risalah kenabian.
Berapa lama di antara kita yang menanti kehadiran si buah hati dalam keluarga? Lima tahun? Tujuh tahun? 10 tahun, 12 tahun, atau mungkin bahkan 15 tahun? Suasana seperti apakah yang mewarnai kehidupan keluarga tanpa tangis bayi? Sepi. Sunyi. Sepertinya hari demi hari berlalu berselimut suram dan muram. Hampir pasti, hari-hari seperti itulah yang dijalani pasangan Ibrahim AS dan Sarah. Namun Ibrahim tidak putus-putusnya terus berdoa kepada Allah agar dikaruniai keturunan.
“Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh. Maka Kami beri Dia khabar gembira dengan seorang anak yang Amat sabar.” (TQS. Ash Shafaat [37] : 100-101)
Alhamdulillah, sejarah akhirnya mengabarkan, melalui Hajar, Allah menganugrahi Ibrahim AS keturunan. Lahirlah Ismail, bayi laki-laki yang telah teramat lama didamba. Kalau saja kita mencoba hadir pada peristiwa itu, maka akan dapat kita rasakan betapa kebahagiaan membuncah dari dada Ibrahim AS dan istrinya Hajar. Anak yang diharapkan telah hadir di pangkuan. Sejuta doa dan harapan tumpah-ruah kepada si bayi. Kasih dan sayang tercurah bagi penyambung risalah dan keturunan, Ismail kecil. Hari-hari pun bagai dipenuhi pelangi. Warna-warni indah senantiasa mengiringi. Senyum dan tawa bahagia setiap saat pecah menghiasi kehidupan keluarga utama ini.
Namun agaknya Allah punya rencana sendiri. Allah ingin menguji cinta Ibrahim kepadaNya. Adakah cinta kepada Allah itu adalah cinta yang tidak tertandingi? Atau, jangan-jangan Ismail yang amat rindukan itu menjadi “pesaing” cinta Ibrahim kepada Allah Tuhannya yang Maha Agung?
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar”. (TQS. Ash Shafaat [37] ; 102)
Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar
Bapak-bapak, Ibu-ibu, dan saudara-saudara yang saya hormati
Perasaan seperti apakah yang menyelimuti Ibrahim saat mendapat perintah menyembelih Ismail, putra yang amat dikasihinya? Dapatkah kita bayangkan, setelah puluhan tahun menanti keturunan, bahkan ketika fisiknya sudah semakin renta, lalu ketika anak yang teramat didamba itu ada, Allah perintahkan untuk menyembelih? Ibrahim pun menghadapi dua pilihan, mengikuti perasaan hatinya dengan ”menyelamatkan” Ismail buah cinta keluarga. Atau, menaati perintah Allah dengan ”mengorbankan” putra kesayangannya.
Situasi seperti inilah yang sejatinya setiap saat kita hadapi dalam hidup sehari-hari. Mengutamakan Allah dan rasulNya, atau memilih tetap menggenggam ‘Ismail-Ismail’ lain di sekeliling kita? Walau sering lidah kita mengatakan, “ini adalah karunia Allah”, namun praktiknya kita sering merasa menjadi ‘pemilik’ karunia itu.
Sekarang, mari kita kenali segala sesuatu yang kita cintai. Begitu kita cintai sesuatu itu, hingga kita rela mengorbankan apa saja untuknya. Ketahuilah, itulah ‘Ismail’ kita. ‘Ismail’ kita adalah segala sesuatu yang dapat melemahkan iman dan dapat menghalangi kita menuju taat kepada Allah. Setiap sesuatu yang dapat membuat diri kita tidak mendengarkan perintah Allah dan enggan mengikuti kebenaran. ‘Ismail’ kita adalah setiap sesuatu yang menghalangi kita untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban syar’i. Setiap sesuatu yang menyebabkan dan menjadikan kita mengajukan bermacam alasan dan dalih untuk menghindar dari perintah Allah SWT.
Anak, istri, keluarga, kerabat, harta benda, perniagaan/bisnis, rumah-rumah tinggal sejatinya adalah ‘Ismail-ismail’ buat kita. Jika semua itu lebih kita cintai daripada cinta kepada Allah, Rasul-Nya, dan jihad di jalan Allah, maka sungguh, kita sudah membuat pilihan yang keliru. Karena dengan demikian, berbagai karunia yang Allah anugrahkan tadi, buat kita telah menjadi tuhan-tuhan tandingan bagi Allah. Dan itu artinya, kita sedang menanam benih-benih yang akan berujung pada panen kemurkaan Allah. Naudzu billahi mindzalik!
Katakanlah: “Jika bapa-bapa kamu, anak-anak kamu, saudara-saudara kamu, isteri-isteri kamu, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA”. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (TQS. Al Ankabut [9] ; 24)
Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar
Ma’asyiral muslimin wal muslimat rahimakumullah.
Hikmah lain yang bisa kita petik dari kisah agung ini adalah betapa luar biasanya Ismail. Sebagai seorang pemuda, yang tengah tumbuh dengan segala potensinya, yang masa depan gemilang menantinya, Ismail telah menunjukkan kualitas jauh di atas rata-rata. Tauhid telah terpatri dengan sangat kokoh di dadanya.
Bisakah kita membayangkan, perasaan seperti apakah yang kira-kira berkecamuk di dada seorang pemuda, ketika ayah yang amat dicintai dan mencintainya, berkata akan menyembelihnya? Benarkah ayahandanya itu sungguh-sungguh mencintainya? Kalau benar, cinta seperti apakah yang mampu menggerakkan lidah ayahandanya untuk mengucapkan kata-kata itu?
Tapi lagi-lagi Ismail bukanlah seorang pemuda rata-rata. Perintah yang amat berat itu pun disambut Ismail dengan penuh kesabaran. Dia menyanggupi menyerahkan lehernya untuk disembelih. Bukan itu saja, Ismail yang tahu persis bahwa perintah itu pasti amat berat bagi ayahandanya, bahkan mendorong keteguhan jiwa Ibrahim AS untuk melaksanakan perintah Allah tersebut.
“Wahai bapakku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya’a Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (QS ash-Shaffat [37]: 102)
Pertanyaan besar yang bisa diajukan dari adegan luar biasa ini adalah, gerangan apakah yang membuat Ismail menjadi setegar ini? Menu apakah yang setiap hari mengisi kepala dan dadanya, sehingga dia bisa dengan rela menyerahkan lehernya untuk disembelih ayahnya? Pendidikan seperti apa yang bahkan membuat Ismail juga meneguhkan hati ayahnya agar tidak ragu-ragu melaksanakan perintah Allah?
Tentu saja kehebatan Ismail itu bukanlah sesuatu yang instan apalagi sim salabim. Keluarbiasaan Ismail adalah buah dari pendidikan dan bimbingan dari seorang ibu yang juga sangat luar biasa. Inilah peran dahsyat dari Siti Hajar, perempuan yang telah dipilih Allah untuk mendampingi Ibrahim AS dan melahirkan keturunan para nabi. Dia telah mampu membentuk bayi merah Ismail yang ditinggalkan suaminya di tengah padang gersang tak berpenghuni, menjadi anak muda istimewa. Hajar telah suskes mentransformasikan kesalehan, kesabaran, kepasrahan, dan ketakwaannya kepada anak yang amat dicintainya. Dan, proses transformasi itu berlangsung setiap hari, setiap detik, setiap saat.
Bagaimana dengan pemuda-pemuda kita hari ini? Adakah mereka mewarisi kedahsyatan Ismail? Sayang sekali, yang terjadi justru sebaliknya. Sebagian (besar) anak-anak muda kita, pelajar dan mahasiswa kita, hari-harinya dipenuhi dengan berbagai perilaku memprihatinkan. Tawuran pelajar, penyalahgunaan narkoba, dan seks bebas telah menjadi konsumsi harian mereka.
Data-data yang tersaji tentang perilaku anak-anak muda kita sungguh membuat miris. Menurut Komisi Perlindungan Anak (KPA), misalnya, pada semester satu 2012 saja ada 229 kasus tawuran antarpelajar, 19 tewas dan sisanya luka berat dan ringan. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun 2011, yaitu 128 kasus tawuran.
Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebut pada 2008 terdapat 3,4 juta penyalahgunaan narkoba. Angkanya naik menjadi 3,83 juta pada 2010. Pada 2015, diperkirakan jumlah pengguna narkoba menembus 5,13 juta jiwa.
Sementara itu, seks bebas juga marak di kalangan remaja. Hal itu antara lain ditandai dengan tingginya angka aborsi di kalangan remaja. Komnas Perlindungan Anak (PA) mencatat, pada periode 2008–2010 terjadi 2,5 juta kasus, 62,6% dilakukan anak di bawah umur 18 tahun.
Sementara berdasarkan data dari BKKBN tahun 2013, anak usia 10-14 tahun yang telah melakukan aktivitas seks bebas atau seks di luar nikah mencapai 4,38%. Sedangkan pada usia 14-19 tahun sebanyak 41,8% telah melakukan aktivitas seks bebas. Data lain mengatakan bahwa tidak kurang dari 700.000 siswi melakukan aborsi setiap tahunnya.
Apa yang terjadi dengan pemuda-pemudi kita? Kenapa ini bisa terjadi? Benarkah anak-anak muda itu nakal? Kurang ajar, tidak bermoral, dan berkhlak rendah? Sudah berapa lama ini semua terjadi?
Semestinya bukan pertanyaan-pertanyaan bernada kecaman seperti itu yang kita sorongkan. Pertanyaan yang seharusnya diajukan adalah, dimana saja selama ini kita; para orang tua, guru, dan pemerintah berada? Apa yang telah kita lakukan dan berikan kepada anak-anak itu?
Sebagai orang tua, bukankah selama ini nyaris tidak ada apa pun yang kita berikan kepada anak-anak itu? Kita sudah merasa menuntaskan kewajiban jika sudah menjejali mereka dengan aneka hadiah dan kebutuhan fisiknya. Pertanyaannya, adakah perhatian dan kasih-sayang kita masih tercurah kepada mereka? Bagaimana dengan waktu dan kebersamaan di rumah dan keluarga? Masihkah kita shalat berjamaah dan membaca al quran bersama mereka? Dan, di atas semua itu, masih adakah teladan yang kita tunjukkan kepada anak-anak itu?
Bukankah di rumah kita telah menjadi para diktator bagi anak-anak. Kita melarang mereka melakukan ini-itu. Namun pada saat yang sama kita tetap saja asyik dengan larangan tersebut. Para ayah melarang anak-anaknya merokok, sementara di sela-sela jemarinya terselip rokok yang masih mengepulkan asap. Para ibu menyuruh anak-anaknya belajar dan melarang mereka menonton tv, sementara dia sendiri asyik duduk di sofa sambil matanya tidak lepas dari sinetron pengumbar mimpi dan nafsu.
Para guru di sekolah mengajarkan moral kepada para siswanya, sementara berbagai kecurangan terus dilakukan. Tidak disiplin dengan kehadiran yang membuat anak-anak gaduh di kelas. Sibuk mencari tambahan di luar kelas hingga kwalitas pengajaran terus melorot. Para kepala sekolah sibuk mengutak-atik anggaran bantuan operasional sekolah (BOS) untuk kepentingan sendiri.
Para pejabat publik di eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang digaji dengan uang rakyat, tidak lagi memikirkan dan bekerja dengan sungguh-sungguh agar rakyatnya sejahtera dan tercerahkan. Mereka justru sibuk bermanuver untuk melanggengkan jabatan untuk menumpuk harta dan kekuasaan, kekuasaan dan harta.
Teladan telah menjadi barang amat langka di negeri ini. Anak-anak kita tidak lagi bisa menemukan contoh hidup sederhana, arif, santun, dan penuh kasih kepada sesama yang bisa ditiru. Yang ada, setiap hari mereka dijejali dengan budaya hedonis, konsumtif, koruptif, dan manipulatif. Dan semua hal buruk itu setiap saat dipertontonkan dengan sangat telanjang oleh para orang tua di rumah, guru di sekolah, dan para pejabat di kursi-kursi kekuasaannya.
Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar
Jamaah Idul Adha yang dirahmati Allah
Kalau kita ingin memiliki anak seperti Ismail, maka dengan sendirinya diperlukan seorang bapak seperti Ibrahim AS. Tentu saja, tidak 100% seperti Ibrahim. Mungkin cuma 50%, 25%, 10%, bahkan mungkin 1% dari kualitas Ibrahim. Anak-anak seperti Ismail juga memerlukan seorang ibu seperti Hajar. Tentu saja, tidak 100% seperti Hajar. Cukup 50%, 25%, 10%, bahkan mungkin 1% dari kualitas bunda Hajar.
Pertanyaannya sekarang, seper berapa persenkah para bapak dan suami zaman ini dari Ibrahim? Apakah ada tanda-tanda bunda Hajar pada istri dan para ibu di rumah tangga kita sekarang? Dimanakah kita bertemu jodoh yang kemudian berlanjut pada pernikahan dan keluarga? Apakah di night club, karaoke atau lokasi-lokasi maksiat lain yang menjadi tempat pertemuan dengan jodoh kita?
Jangan pernah berharap di rumah kita akan hadir anak-anak sekelas Ismail, kalau kita sendiri sebagai orang tua tidak mewarisi keutamaan Ibrahim dan Hajar. Sebagai kepala keluarga, sudahkah para bapak hanya memberi nafkah anak dan istri dengan harta yang halal? Adakah rupiah yang kita bawa pulang benar-benar bersih dari unsur haram? Sah dan halalkah kelebihan penghasilan di luar gaji yang kita berikan kepada anak istri dalam bentuk nafkah, rumah, vila, tabungan dan deposito, saham dan obligasi, mobil, dan harta benda lain?
Ibu seperti apakah yang mampu melahirkan dan membimbing anak-anaknya seperti Ismail? Atau, ibu yang bagaimanakah yang memiliki surga di bawah telapak kakinya? Al-jannatu tahta aqdamil ummahat, surga di bawah telapak kaki ibu. Sebagian ulama memang menyebut ini hadits palsu. Sebagian lain mengatakan munkar, karena ada Manshur dan Abu Nadzhar, sebagai perawi tidak dikenal. Bahkan Al-Hafidz menyebutkan perawi lain hadits ini, yaitu Musa, adalah al-kadzdzab atau pendusta.
Meski demikian, ada hadits lain yang senada namun punya kedudukan shahih. Sanad hadits ini oleh banyak ulama diterima sebagai hadits yang hasan. Bahkan Al-Hakim dan Adz-Dzahabi menyebutnya sebagai hadits shahih. Hadits itu adalah hadits dari Mu’awiyah bin Jahimah. Beliau pernah mendatangi Rasulullah SAW dan bertanya :
“Ya, Rasulallah. Aku ingin ikut dalam peperangan, tapi sebelumnya Aku minta pendapat Anda”. Rasulullah SAW bertanya, “Apakah kamu masih punya ibu?”. “Punya”, jawabnya. Rasulullah SAW,” Jagalah ibumu, karena sesungguhnya surga itu di bawah kedua telapak kakinya“. (HR. An-Nasai, Ahmad dan Ath-Thabarani).
Pesan yang ingin disampaikan di sini adalah, hanya para ibu utama dan mulia saja yang mampu menyediakan surga di bawah telapak kakinya. Dan para ibu itu juga tidak sendiri. Mereka harus didampingi para suami yang sholeh, yang memurnikan tauhidnya sesuai dengan millah Ibrahim yang hanif.
Di tangan para orang tua seperti inilah kelak akan lahir dan terbentuk anak-anak yang berakhalak mulia. Generasi muslim yang juga memegang tahuid dengan teguh dan istiqomah. Sebab, pada dasarnya tiap anak lahir dengan bersih. Ibu dan bapaknyalah yang akan mewarnai anak-anak itu menjadi “sesuai” di kemudian hari.
“Setiap anak dilahirkan dlm keadaan fitrah (Islam), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nashrani atau Majusi.” (HR. al-Bukhari&Muslim)
بنفسك إبدء, mulailah dari dirimu sendiri.
Demikian Muhammad Rasulullah SAW bersabda. Jika para orang tua memulai dari diri sendiri, baik dalam hal kebaikan dan menghindari keburukan, maka anak-anak akan menemukan teladan. Para pemuda-pemudi kita bisa menduplikasi perilaku mulia dari orang tua, guru, dan para pejabat publik negeri ini. Alangkah indahnya hidup ini dan damainya Indonesia, jika tiap keluarga hanya menularkan kebaikan dalam perilaku sehari-harinya. Tidak ada lagi perkelahian antarpelajar. Tidak ada lagi tawuran antakampung. Tidak ada lagi korupsi yang menyengsarakan rakyat. Sungguh, Indonesia akan menjadi baldatun thoyibatun warobbun ghafur. Sebuah negara yang baik dan berada di bawah perlindungan Allah yang Maha Pengampun. Insya Allah, aamiin…
Wallahu a’lam bish shawab
Oleh, H. Edy Mulyadi, Ketua Korps Muballigh Jakarta (KMJ), Ketua Badan Koordinasi Muballigh se-Indonesia (Bakomubin)