(Panjimas.com) – Ibadah qurban, menyembelih hewan ternak (kambing atau sapi atau unta) di Hari Raya Qurban (‘Idul Adha) dan hari-hari tasyriq (11, 12, 13 Dzulhijjah) itu sangat mulia.
Perintahnya pun diiringkan dengan perintah shalat, ibadah yang sangat mulia.
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah”. (Al Kautsar: 2)
Di samping ibadah qurban itu merupakan ibadah yang mulia, masih pula peruntukannya pun mulia pula, dan mengandung cakupan yang luas. Yaitu daging qurban dapat dinikmati oleh pelaku qurban beserta keluarganya, dibagikan untuk faqir miskin, dan dihadiahkan untuk orang-orang yang dikehendaki walaupun kaya, walau kafir sekalipun, asal tidak membenci Islam, tidak memusuhi Islam.
Dalam hal maknawinya, ibadah Qurban itu satu kambing dapat juga mengikutkan (atas ibadah qurban) untuk keluarga pengqurban, bahkan orang yang di bawah atap tempat tinggalnya walau terdiri dari beberapa keluarga.
Timbul pertanyaan, Bolehkah orang yang berqurban mengikutkan pahalanya untuk keluarganya?
Boleh, sebagaimana dilakukan oleh para sahabat di zaman dahulu. Diriwayatkan dari Abu Ayyub Al-Anshari radhiallahu ‘anhu bahwasanya dia berkata:
“Dulu pernah ada seorang laki-laki di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih kambing untuk dirinya dan keluarga, kemudian mereka pun makan dan memberi makan (orang lain), kemudian orang-orang berlomba-lomba untuk melakukannya, hingga menjadi seperti yang engkau lihat” (HR At-Tirmidzi no. 1505 dan Ibnu Majah no. 3147. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
Kelonggaran dan kemanfaatan yang sebegitu besar cakupannya itupun tidak membebani apa-apa kepada selain pengqurban. Misalnya dalam hal tidak boleh memotong kuku dan rambut sejak awal Dzulhijjah ketika sudah niat berqurban (hingga qurbannya disembelih), maka hanya berlaku larangan itu bagi pengqurban. Tidak pada keluarganya.
Besarnya manfaat, baik secara kemaslahatan hidup maupun secara maknawi (pahalanya) itu maka hendaknya pengqurban tidak merusak keabsahannya. Misalnya dengan menjual kulit hewan yang diqurbankan. Juga panitia pun tidak berhak menjualnya, serta tidak boleh mendapatkan upah dari kulit atau daging qurban itu. Upah hanyalah boleh dari materi yang bukan dari hewan qurban itu. Ini bukan berarti panitia atau yang mengurusi qurban tidak boleh mendapatkan (jatah) pembagian daging qurban. Yang tidak boleh itu adalah upah, diambil dari hewan qurban tersebut.
Adapun kulit itu dijual oleh orang miskin yang diberi (jatah) bagian dari qurban, maka boleh saja, karena dia atau mereka bukan pengqurban dan bukan orang yang diserahi mengelola qurban/ panitia.
Mengenai menjual kulit qurban terdapat hadits khusus yang melarangnya. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa menjual kulit sembelihan qurbannya, maka tidak ada qurban baginya.” (HR. Al Hakim. Beliau mengatakan bahwa hadits ini shahih. Adz Dzahabi mengatakan bahwa dalam hadits ini terdapat Ibnu ‘Ayas yang didho’ifkan oleh Abu Daud. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan. Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1088).
Maksudnya, ibadah qurbannya tidak ada nilainya.
Juga ada larangan Memberi upah pada jagal dari hasil sembelihan qurban.
Dalil dari hal ini adalah riwayat yang disebutkan oleh ‘Ali bin Abi Tholib,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mengurusi unta-unta qurban beliau. Aku mensedekahkan daging, kulit, dan jilalnya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari dingin). Aku tidak memberi sesuatu pun dari hasil sembelihan qurban kepada tukang jagal. Beliau bersabda, “Kami akan memberi upah kepada tukang jagal dari uang kami sendiri”.”(HR. Muslim no. 1317).
Dari hadits ini, An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh memberi tukang jagal sebagian hasil sembelihan qurban sebagai upah baginya. Inilah pendapat ulama-ulama Syafi’iyah, juga menjadi pendapat Atho’, An Nakho’i, Imam Malik, Imam Ahmad dan Ishaq.” Syarh Muslim, An Nawawi, 4/453, seperti dikutip Muhammad Abduh Tuasikal, MSc dalam artikel “Bolehkah Menjual Kulit Hasil Sembelihan Qurban?”
Hal-hal yang dilarang dan bahkan mengakibatkan rusaknya ibadah qurban seperti itu hendaknya dihindari benar-benar.
Di samping itu, ada yang sangat perlu diperhatikan, ibadah qurban yang perintahnya saja “li-Rabbika” untuk Tuhanmu itu hendaknya sangat diingat, itu hanya untuk Allah. Maka hal-hal yang dilarang dan tercela sangat perlu dihindari.
Di antara hal yang dilarang dan tercela adalah mental buruk yang mungkin melanda manusia, yakni tidak jujur, suka ngentit dan semacamnya. Bahkan mencari orang yang jujur, konon sudah sulit.
Ibadah qurban adalah ibadah yang mulia. Ketika disertai mental ngentit, maka benar-benar kontras sejatinya, namun kemungkinan justru jadi ujian yang menggoda. Misalnya, orang yang termasuk dalam jajaran panitia qurban dalam lingkungan kampung tempat tinggalnya. Lalu mental ngentitnya pun diaksikan, maka menjadi pemandangan yang sangat tercela. Sebelum waktu pembagian jatah daging qurban kepada masyarakat, misalnya, isterinya datang, lalu diberi tentengan kikil. Sebentar kemudian, anak perempuannya datang, diberi tentengan, sampil. Anak mantu dalam rumahnya datang, diberi iga dan seterusnya dari hasil ngentit.
Ingat, masalah ngentit itu merupakan perkara besar dalam Islam.
Ada hadits tentang ngentit yang mengakibatkan masuk neraka, padahal mati dalam jihad.
Dari Abdullah bin Amr, ia berkata “Pernah ada seseorang yang biasa menjaga perbekalan Nabi SAW, orang tersebut bernama Kirkirah. Kemudian dia pun meninggal dunia, ketika itu Rasulullah SAW bersabda “Dia berada di Neraka”. Maka para sahabat pergi melihatnya dan mereka mendapatkan sebuah mantel yang diambilnya (secara sembunyi- ngentit) dari harta rampasan perang sebelum dibagikan (Shahih Bukhari 4/74 no 3074).
Juga ada hadits diriwayatkan oleh Muslim, (114) dari Ibnu Abbas berkata, Umar bin Khottab memberitahukan kepadaku berkata,
“Ketika waktu perang Khoibar, sekelompok shahabat Nabi sallallahu’alaihi wa salllam menghadap dan mengatakan, “Fulan (mati) Syahid, fulan syahid.” Kemudian mereka melewati seseorang (yang terbunuh), maka mereka mengatakan ‘Orang ini Syahid.’ Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidak, sesungguhnya saya melihat dia di neraka karena selendang (burdah) atau baju penutup yang disembunyikan.” Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Ibnu Khattab! Keluarlah, dan sampaikan kepada orang-orang bahwa tidak akan masuk surga kecuali orang mukmin. Maka saya keluar dan menyeru,”Ketahuilah bahwa tidak ada yang masuk surga kecuali mukmin.” (HR Muslim, (114).
Ingatlah, gara-gara selendang yang dikentit, padahal dia meninggal dalam perang jihad, namun akibatnya fatal sekali, kata Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam:
“Tidak, sesungguhnya saya melihat dia di neraka…”
Betapa mengerikannya. Bagaimana pula kalau yang dikentit itu daging qurban yang juga hasil pengentitan pula yakni hasil korupsi?
Ya, itu sama-sama tidak baiknya. Hasil korupsi lalu untuk berqurban, maka termasuk amalan yang dikenai hadits ini:
“Sesungguhnya Allah Ta’ala itu Maha Baik, Dia tidak menerima kecuali yang baik”.(HR. Muslim).
Dari segi diterimanya amal, ternyata tidak diterima. Sedang dari segi dosa korupsi maka ada petunjuknya dalam hadits tentang Kirkirah yang menyembunyikan ghanimah itu dinyatakan masuk neraka.
Oleh karena itu, mental ngentit yang mungkin selama ini menjangkiti jiwa-jiwa sebagian Umat Islam, mari kita buang jauh-jauh. Agar di kala peristiwa ibadah mulia berupa qurban dan selanjutnya dalam kehidupan sehari-hari tidak lagi terkena mental ngentit yang merugikan pelakunya di dunia dan akherat.
Selamat menjalankan perintah-perintah Allah Ta’ala dan menjauhi segala larangannya.
Oleh: Ustadz Hartono Ahmad Jaiz