(Panjimas.com) – Dua tahun ke depan Jakarta akan kembali diramaikan dengan Pilkada Langsung Gubernur dan Wakil Gubernur. Dalam sejarah perebutan kursi kekuasaan, umat Islam sebagai mayoritas belum mampu mengkonsolidasikan kekuatan untuk menuju integrasi ukhuwah Islamiyyah dan penerapan syariat Islam. Untuk itu, Pilkada Jakarta tahun 2017 harus dimunculkan calon yang memperjuangkan nilai-nilai syariat Islam guna mensyariahkan Jakarta dalam rangka menuju NKRI bersyariah. Bukan hal yang mustahil, jika kursi Gubernur tahun 2017 akan mengantarkan kepada kursi Presiden RI, sebagaimana yang dilakukan oleh Jokowi. Oleh karenanya, seorang calon Gubernur Jakarta adalah harus dari umat Islam dan diusung oleh aliansi Ormas-Ormas Islam, alim ulama, habaib dan tokoh Islam. Seorang kandidat Gubernur versi umat Islam tentu harus memiliki sejumlah kriteria dan persyaratan yang memadai, khususnya kemampuannya dalam mengejawantahkan proyek perubahan (project charter) pembangunan DKI Jakarta yang bersyariah.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang, unsur calon independen kembali diperkenakan. Dengan persyaratan dukungan sekitar minimal 750.000 orang. Apabila kita melihat hasil Pilkada tahun 2012 yang lalu, perolehan suara dua pasang calon independen hanya sebesar 301.925 suara atau 6.96% dari jumlah total DPT 6.962.348. Adapun jumlah Golput sebanyak 2.555.207 (36,6%) pada Putaran Pertama, padahal perolehan suara pasangan Joko Widodo & Basuki T. Purnama hanya sebesar 1.847.157. Sumbangan suara kaum Golput, pada akhirnya telah mengantarkan pasangan Joko Widodo & Basuki T Purnama pada Putaran Kedua sebagai pemenang, dengan perolehan suara sebesar 2.472.130 (53,82%). Di sisi lain angka Golput sebesar 2.349.657 dan perolehan suara pasangan Fauzi Bowo & Nachrowi Ramli hanya sebesar 2.120.815 (46,18%). Beda tipis!, hanya 7.64%, atau sebanyak 351.315 pemilih. Ini artinya, kemenangan Joko Widodo & Basuki T. Purnama lebih disebabkan oleh ketidakpercayaan pemilih terdaftar – yang akhirnya menjadi Golput – terhadap semua calon Gubernur dan Wakil Gubernur, baik dari unsur Parpol maupun independen.
Berdasarkan data di atas, tidak ada jalan lain yang dapat mengantarkan Jakarta pada perubahan yang sangat mendasar yakni harus adanya alternatif pilihan bagi konstituen muslim, khususnya kaum Golput. Di sinilah diperlukan adanya keterpaduan para pimpinan Ormas-Ormas Islam, Alim Ulama, Habaib dan Tokoh Islam untuk bersatupadu memunculkan calon independen Gubenur dan Wakil Gubernur Muslim, sebagai pilihan umat Islam. Kekuatan umat Islam dimulai dan didahului oleh penguatan kelembagaan sebagai mesin pendorong yang mengarahkan konstituen muslim. Tanpa adanya kelembagaan ini, maka dapat diprediksi suara umat akan terpecah-pecah dan kemenangan ada pada calon yang tidak atau belum tentu mewakili kepentingan umat Islam. Penulis yakin dengan adanya kesamaan visi dan misi diantara para stakeholder dalam bentuk bersatunya komponen umat Islam melebur dalam suatu kelembagaan akan dapat menaikkan suara dan memenangkan Pilkada Gubernur Jakarta tahun 2017 yang akan datang. Kelembagaan dimaksud penulis namakan Majelis Tinggi DKI Jakarta Bersyariah.
Majelis Tinggi DKI Jakarta Bersyariah yang bersifat kolegial ini merumuskan kriteria dan persyaratan calon Gubernur dan Wakil Gubernur. Dalam kegiatan administrasi operasionalnya Majelis Tinggi dibantu oleh Badan Pelaksana Harian (BPH) yang dipimpin oleh Sekretaris Jenderal. Melalui lembaga ini pula dibentuk Panitia Seleksi (Pansel) dan Tim Asesor/Penilai. Pansel berupaya menjaring sebanyak mungkin para calon untuk kemudian dilakukan penilaian oleh Tim Asesor yang terdiri dari para pakar independen sesuai dengan bidang keilmuannya untuk menilai dan memberikan rekomendasi beberapa calon (misalnya tiga pasang calon) kepada Majelis Tinggi. Selanjutnya, dipandang perlu untuk dilakukan konvensi umat melalui jajak pendapat guna melihat prosentase masing-masing calon yang akan diputuskan oleh Majelis Tinggi.
Kemudian, Majelis Tinggi mengundang masing-masing calon yang direkomendasikan oleh Tim Asesor/Penilai untuk memaparkan rencana strategis mewujudkan DKI Jakarat Bersyariah. Setelah itu, Majelis Tinggi bersidang guna menentukan calon tetap pilihan umat yang berhak maju dalam Pilkada tahun 2017. Calon terpilih dibebankan kewajiban menandatangani Akta Integritas yang memuat kewajiban pemenuhan amanat Majelis Tinggi sebagai Garis-Garis Besar Haluan DKI Jakarta Bersyariah. Apabila kemudian hari terjadi penyimpangan, maka proses impeachment diberlakuan. Modelnya bisa dalam bentuk penarikan dukungan, melaporkan kepada pihak yang berwajib (jika mengandung unsur pidana), kepada DPRD untuk proses pemakzulan, serta gugatan perdata karena wanprestasi. Yang tersebut terakhir mungkin dianggap aneh, apakah bisa perjanjian dalam Akta Integritas menjadi dasar pengajuan gugatan? Jawabannya adalah tidak ada ketentuan yang melarang untuk itu, sehingga asasnya adalah “kebolehan”, sepanjang memenuhi unsur Pasal 1320 (sepakat, cakap, suatu hal tertentu dan kausa yang halal) jo Pasal 1338 KUHPerdata (pacta sun servanda : perjanjian menjadi undang-undang bagi yang membuatnya). Semua tahapan, mulai dari tahap perekrutan hingga tahap keputusan selalu diketahui oleh umat, untuk itu peranan Masjid, Majelis Taklim, Media Islam, dan lain-lain sangat strategis untuk kegiatan sosialisasi dan sekaligus perubahan mindset pemilih muslim. Ketika, Gubernur dan Wakil Gubernur Muslim terpilih dan dilantik, keberadaan Majelis Tinggi tetaplah eksis. Bahkan lembaga ini menjadi semacam lembaga konsultatif, evaluasi, dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggungjawab Gubernur.
Project Charter yang baik adalah realistis, terukur dan implementatif. Apa yang penulis sampaikan insya Allah mengandung tiga aspek tersebut. Harapan besar (Grand Strategy) adalah mewujudkan NKRI Bersyariah. Jadi pemenangan Pilkada DKI Jakarta bersifat sebagai entry point untuk menuju gagasan yang lebih utama, yakni menjadikan NKRI bersyariah, bebas dari maksiat, bebas dari aliran sesat, bebas dari KKN dan segala bentuk kemudharatan lainnya. Di sisi lain, Pemimpin Nasional Muslim haruslah visioner mengedepankan kemaslahatan, dengan mengupayakan ketersediaan berbagai kebutuhan rakyat. Pemimin Nasional Muslim harus mampu meningkatkan ekonomi (sektor rill) yang melibatkan dan mendayagunakan potensi rakyat. Begitupun peningkatan akses kesehatan, pendidikan dan akhlak, harus menjadi fokus utama.
Sebagai saran, jika Gubernur Muslim terpilih memimpin Jakarta, dalam masa pengabdian harus dapat membangun Universitas Jakarta Besyariah (UJB). Kaum dhuafa atau yang berada di level menengah ke bawah diberikan hak beasiswa. Para pengajar bisa diambil dari seluruh komponen umat yang sebenarnya banyak tersedia, baik itu dosen dan ustadz, lulusan dalam dan luar negeri maupun yang dari unsur Pondok Pesantren.
UJB ini diharapkan menjadi pilot project, seandainya sang Gubernur Muslim Jakarta meningkat posisinya menjadi orang nomor satu di republik ini, maka diharapkan Universitas Besryariah akan hadir di seluruh provinsi di Indonesia. Disinilah kekuatan sinergitas antara Alim Ulama, Zuama, dan Cendekiawan Muslim bersatupadu untuk meninggikan agama Allah, meningkatkan dan mendayagunakan potensi umat untuk kemaslahatan bangsa, negara dan Agama.
Oleh : DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH, MM, Komisi Kumdang MUI Pusat & Ketua TAM-NKRI