PANJIMAS.COM – Dipermalukan di depan khalayak pasti tak enak sekali rasanya. Marah, kesal, sakit hati, dan juga malu tak ketulungan. Ternyata pada jaman Rasulullah hal seperti itu pernah juga dialami oleh shahabat Bilal bin Rabah radhiyallahu ‘anhu.
Suatu ketika para shahabat berdiskusi serius tanpa dihadiri oleh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam. Dalam majelis tersebut hadir antara lain Khalid bin Walid, Abdurahman bin Auf, Abu Dzar, serta Bilal bin Rabah.[1]
Abu Dzar mengeluarkan pendapatnya tentang apa yang seharusnya dilakukan tentara muslimin untuk menghadapi kedatangan musuh yang menyerang. Kemudian saat datang giliran bicara, Bilal mengeluarkan pendapat yang sama sekali berbeda dengan pendapat Abu Dzar. Abu Dzar marah besar karena merasa pendapatnya diremehkan. Lalu Abu Dzar pun mengeluarkan kata-kata yang membuat Bilal sakit hati, “Berani-beraninya kau menyalahkan pendapatku, hai anak orang hitam!”
Bilal pun diam tak melawan, lalu bangun dari tempat duduknya dan berkata, “Demi Allah aku akan adukan hal ini kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Lalu berangkatlah Bilal ke rumah Rasulullah dan menceritakan apa yang telah terjadi serta penghinaan yang dilontarkan Abu Dzar. Berubahlah wajah Rasulullah saw mendengarkan aduan Bilal. Lalu beliau berdiri dan segera pergi menuju tempat di mana Abu Dzar berada. Tapi beliau tidak masuk, hanya lewat dan langsung pergi ke masjid.
Melihat Rasulullah lewat menuju masjid, Abu Dzar pun langsung menghampirinya. Ia tahu betul bahwa Rasulullah marah kepadanya. Setelah Abu Dzar memberi salam, Rasulullah berkata kepadanya, “ Wahai Abu Dzar, kamu telah menghina Bilal dan menghina asal-usulnya. Ketauilah wahai Abu Dzar sesungguhnya kamu asal-usulnya adalah orang jahiliyyah sebelum Islam.”
Abu Dzar merasa terpukul dam sangat menyesal, dan iapun menangis di hadapan Rasulullah. “Wahai Rasulullah, maafkan kesalahanku dan mintalah kepada Allah untuk mengampuniku,” ujarnya.
Lalu sambil menangis ia keluar menuju Bilal. Ia menempelkan sebelah pipinya di atas tanah di muka kaki Bilal seraya berkata, “ Demi Allah wahai Bilal, aku tidak akan angkat pipiku dari tanah kecuali kamu injak pipiku yang sebelah lagi dengan kakimu. Demi Allah, sesungguhnya kamu orang terhormat dan aku yang terhina.”
Apa yang dilakukan Bilal? Ia dekatkan mukanya ke pipi Abu Dzar lalu menciumnya berkali-kali, kemudian diangkatnya dari tanah. Mereka berdua berpelukan dengan penuh kasih sayang dan saling bertangisan.
Betapa mulianya akhlak kedua shahabat tersebut. Mengakui kesalahan dan meminta maaf secara ksatria bukan hal yang mudah. Meminta maaf memerlukan kesadaran hati dan perasaan berdosa. Abu Dzar melakukannya dengan sepenuh hati.
Betapa memaafkan orang yang telah mempermalukan kita bukanlah perkara mudah. Hanya orang yang berakhlak mulia yang mampu melakukannya, seperti Bilal. Bilal tidak hanya memaafkan, bahkan juga membalasnya dengan kebaikan yang tak pernah disangka oleh Abu Dzar sendiri. Dan hal tersebut justru semakin mempererat hubungan silaturahim antara keduanya, dan mereka berdua adalah shahabat yang sangat setia.
Segala amarah, kebencian, kedengkian dan perusak perjuangan runtuh oleh akhlak mulia saling memaafkan sesama muslim. [AW]
_________________