Wanita dalam Pandangan Islam
Wanita merupakan pembahasan yang sangat penting terutama terkait eksistensi wanita dalam dalam membangun bangsa ini. Seperti yang kita ketahui selama ini wanita adalah setengah dari bangsa, karena memiliki pengaruh yang sangat dominan bagi keberlangsungan sebuah bangsa, terlebih wanitalah yang akan melahirkan dan mendidik para generasi yang akan datang sekaligus pemberi pengaruh pertama kali bagi kehidupan generasi dan pemimpin bangsa. Dari sekian tugas penting yang dimiliki oleh wanita, kita memahami bahwa wanita bukan makhluk kelas dua setelah laki-laki, hal ini juga telah jelas diatur dalam Islam, yaitu dengan cara membangun sistem, membuat kaidah dan rambu-rambu yang lebih terperinci dalam pembahasan mengenai wanita.
Terkait dengan perhatian dan apa yang telah disumbangkan Islam terhadap kaum wanita, hal ini sudah jelas sekali tertulis dalam Al Qur’an dan Hadits, sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam kutbah Haji Wada :
“Perlakukan kaum wanita dengan baik.” (Al-Hadits)
Wanita bukanlah “budak peradaban”, seperti anggapan orang jahiliyah terdahulu dan perilaku budaya masyarakat sekarang yang merendahkan kaum perempuan. Anggapan seperti ini telah ditepis sejak Islam datang ke muka bumi. Bahkan Rasulullah SAW memuliakan kaum wanita dengan memperlakukan mereka dengan sebaik-baiknya perlakuan dengan memperhatikan perasaan kaum perempuan. Perhatikan kisah Rasulullah bersama istri-istrinya, anak-anak perempuannya dan para shahabiyah.
Begitulah Islam memandang wanita, lantas mengapa di era globalisasi sekarang ini kita masih saja mendengar teriakan seorang wanita yang menuntut hak-haknya. Sehingga lahirlah wacana kesetaraan gender dan feminisme? Islam memberikan kesetaraan hak antara kaum pria dan wanita, berbeda dengan cara pandang feminisme yang dibawa oleh sekelompok aktivis wanita Barat dengan berbagai definisi yang sangat relatif dengan makna yang paling mendasar, yaitu keyakinan bahwa perempuan benar-benar bagian dari manusia, dan bukan jenis yang terpisah. Allah menjelaskan tentang penciptaan manusia, sebagaimana firman-Nya :
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripada Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah mengembangbiakkan pria dan wanita yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (Mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim, Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS An-Nisaa : 1)
Islam juga telah menyamakan hak-hak kaum pria dan wanita dalam firman-Nya :
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dapada isterinya” (QS Al-baqarah:228)
Untuk para wanita, jangan merasa tidak percaya diri, walau dalam ayat ini dinyatakan bahwa suami memiliki satu tingkat kelebihan daripada istrinya sehingga kemudian muncul anggapan bahwa Islam bias gender. Wanita memiliki keunggulan dibandingkan pria dalam hal mengurus rumah tangga dan mendidik anak. Kesemua hal tersebut sudah diatur oleh Allah, sehingga keunggulan wanita tersebut sudah sesuai dengan fitrah jasmani dan kejiwaannya yang penyayang, lemah lembut dan keibuan.
Bahkan Islam juga menyamakan pria dan wanita dalam pelaksanaan kewajiban syar’i dan ganjaran pahala yang didapatkannya. Firman Allah SWT :
“Barang siapa yang mengerjakan amal shaleh, baik pria maupun wanita dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik. Dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (QS An-Nahl : 97)
Perlu dipahami secara mendalam bahwa success story kejayaan umat Islam di masa lalu tidak terlepas dari sukses membangun sinergi antara wanita dengan pria. Bangunan peradaban manusia yang sukses dan bermartabat hanya bisa dibangun dengan kerjasama yang harmonis dan sinergis antara pria dan wanita.
Sebagaimana Allah berfirman :
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagaimana mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh yang makruf dan mencegah dari yang mungkar… “ (QS at-Taubah : 71)
Dilema Muslimah: Keluarga atau Karir?
Sementara Al Qur’an sudah dengan baik menjelaskan tetapi mengapa banyak wanita masih berada di persimpangan jalan? Di satu sisi ingin maju mengikuti gaya hidup bebas namun kehilangan jati dirinya sebagai wanita. Di sisi lain, tetap bertahan dengan jati diri sebagai wanita namun tidak memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri. Menurut penulis perbedaan pandangan ini muncul disebabkan :
Pertama, wanita ingin bebas menentukan nasibnya sendiri tanpa harus bergantung dengan laki-laki karena laki-laki dianggap sebagai sumber masalah, seperti pemikiran kebanyakan kelompok feminis modern sekarang ini. Pandangan ini muncul dikarenakan wanita tidak mendapatkan keadilan gender yang umumnya diyakini di negara-negara Barat.
Kedua, pandangan yang mengharuskan perempuan berada di rumah saja sementara tugas bekerja di luar rumah menjadi tugas laki-laki. Akhirnya, wanita tidak memiliki kesempatan untuk menempuh pendidikan yang layak yang semestinya. Padahal pendidikan menjadi penting agar menjadikan perempuan itu cerdas untuk menjalankan tugas utamanya sebagai istri dan ibu dalam keluarga.
Di zaman modern dengan teknologi canggih seperti sekarang ini, banyak wanita di luar sana yang mendambakan bekerja untuk meningkatkan keahlian, mengembangkan diri dan menambah penghasilan. Bagi sebagian wanita, sosok wanita karir adalah sosok yang diidolakan dan dianggap berhasil. Wanita karir yang dapat bebas pergi kemana saja sesuai kemauannya, mendapatkan penghasilan yang banyak untuk menunjang penampilannya sesuai dengan standar fesyen dan kecantikan. Lantas apakah wanita memang tidak boleh bekerja, atau tidak boleh memegang jabatan publik?
Jawabannya, Islam tetap memperbolehkan wanita bekerja atau memegang jabatan-jabatan publik tetapi tetap dalam menjaga adab syar’i dan batas etika yang wajar dalam Islam. Banyak pandangan yang keliru tentang wanita bekerja, salah satunya adalah pandangan yang keliru menganggap wanita yang bekera di luar untuk memperoleh nafkah penghasilan lebih baik daripada mengerjakan kewajiban sebagai seorang istri yang berdiam di rumah dan hanya mengurus anak dan keluarga.
Jika wanita keluar rumah dengan niat untuk mencari nafkah maka ia akan mengeluarkan uang lebih banyak untuk keperluan merias diri seperti pakaian, parfum, kosmetik dan perhiasan. Misalkan pegawai kantoran, yang mau tidak mau harus merias diri dan berpenampilan menarik, dan kesemua hal tersebut membutuhkan banyak uang untuk memenuhinya. Oleh sebab itu pilihlah lapangan pekerjaan dan mitra kerja yang sesuai dikerjakan oleh wanita dan sesuai dengan etika Islam.
Menurut pandangan penulis, bagi seorang muslimah tuntutan untuk berdedikasi di luar rumah hanya cocok pada beberapa profesi. Misalnya menjadi guru, dosen, dokter, perawat, bidan, penulis, bisnis online atau pekerjaan yang serupa dengan hal tersebut dan kemudian dapat meminimalisir adanya kontak atau interaksi dengan kaum pria.
Walaupun ada beberapa pilihan profesi pekerjaan yang cocok untuk diambil oleh wanita, tapi tetap saja ada beberapa norma yang harus diperhatikan oleh wanita yang bekerja : Pertama, adanya izin yang diberikan oleh suami (untuk istri) atau ayah (untuk gadis). Kedua, menjauhi pergaulan yang bersifat campur baur antara laki-laki dengan perempuan, apalagi hingga larut malam. Ketiga, jika keluar rumah untuk bekerja menggunakan pakaian yang sopan, menutup aurat dan sesuai etika Islam.
Terutama untuk jabatan publik, jika kita perhatikan dalam Al Qur’an, kita tidak akan menemukan ayat-ayat yang melarang wanita untuk memegang amanah di jabatan publik. Selama jabatan tersebut relevan dengan fitrah wanita dan ia mampu menunaikannya secara optimal dan maksimal. Beberapa contoh jabatan publik tersebut misalnya adalah Menteri Pemberdayaan Perempuan, atau anggota DPR yang menangani isu-isu pendidikan, kesehatan, wanita dan anak.
Perlu diingat kembali bahwa, (1) tugas-tugas wanita dalam konteks sosial bukanlah sekedar membuat tulisan, makalah, atau laporan dokumentasi namun juga bekerja secara serius dan proaktif dalam mengaktualisasi kemampuan diri, (2) mampu untuk membimbing dan mendidik generasi penerus yang berkualitas, (3) memiliki kepekaan terhadap kondisi masyarakat dan masalah sosial yang ada, (4) memiliki kepekaan terhadap masalah yang dihadapi kaum wanita dan kelompok marjinal, (5) memiliki kepribadian yang unggul dan prestatif, dimulai dari perihal keagamaan, pemikiran, perilaku, cara berpakaian hingga etika dalam kehidupan sehari-hari.
Inspirasi Istri Rasulullah dan Shahabiyah
Ada banyak contoh inspirasi di masa lalu tentang aktivitas luar biasa dalam ranah publik yang digeluti oleh wanita muslimah. Sebagai contoh kisah seorang wanita yang diceritakan dalam kitab Ath-Taqabat karangan Ibn Sa’id, mengisahkan tentang Ummu Qailah dari Bani Ammar pernah datang kepada Rasulullah SAW untuk meminta petunjuk mengenai pengelolaan jual beli. Istri Rasulullah SAW, Zainab binti Jahsy, juga aktif bekerja menyamak kulit binatang, menjualnya dan hasil usahanya sebagian disedekahkan. Ada lagi kisah seorang wanita yang pandai menulis bernama Asy-Syifa, yang ditugaskan oleh Khalifah Umar bin Khattab r.a. sebagai petugas yang mengatur manajemen perdagangan kota Madinah. Tidak lupa ibunda Khadijah, istri Rasulullah SAW, yang sangat terkenal dengan kepiawaiannya dalam mengelola perdagangan bahkan sampai level perdagangan lintas negara.
Selain aktivitas perekonomian, tidak sedikit pula wanita muslimah yang sangat menonjol pengetahuannya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Aisyah r.a. adalah contoh wanita muslimah yang sangat dalam pengetahuan agamanya, meriwayatkan banyak hadist serta dikenal kritis dan cerdas. Asy-Syaikhah Syuhrah yang digelari sebagai Fakhr An-nisa (kebanggan perempuan) adalah salah seorang guru dari Imam Syafi’i. Ratu Rukhayah, istri dari Raja Akbar dari dinasti Mughal di India, terkenal karena kemampuannya menguasai banyak bahasa dan kecerdasannya dalam mengelola negara bersama Raja Akbar. Terdapat juga Ummu Salamah yang terkenal cerdas dan berjasa memberikan masukan kepada Rasulullah SAW pada momen Perjanjian Hudaibiyah. Kemudian Ummu Hani’ yang sikapnya dibenarkan oleh Rasulullah SAW ketika memberikan jaminan keamanan kepada sebagian orang musyrik.
Dari kisah-kisah di atas terlihat jelas bagaimana aktivitas muslimah pada masa itu menggambarkan perempuan yang taat beragama, cerdas, terpelihara martabat kewanitaannya dan harmonis dalam kehidupan keluarganya. Hal ini dibuktikan sebelum memutuskan suatu hal yang penting, para wanita muslimah bertanya lebih dahulu kepada Rasulullah SAW, agar keputusan yang mereka buat tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan mendapatkan restu dan keridhaan Rasulullah SAW.
Begitulah teladan luar biasa dari istri-istri Rasulullah dan para shahabiyah, semoga kita dapat meneladani mereka dengan baik. Bekerja ataupun terlibat dalam aktivitas di luar rumah seperti aktivitas sosial dan aktivitas dakwah dapat dilakukan oleh wanita muslimah selama tidak melanggar batasan syar’i dan aturan-aturan Islam. Idealnya wanita muslimah dapat beraktivitas secara proporsional untuk kemudian bersinergis dengan masyarakat dalam membangun peradaban yang Islami.
Wallahu a’lam bis shawwab
Tentang Penulis, Yollanda Vusvita Sari, M.Pd. Dosen STKIP Kusuma Negara, Aktivis Perempuan.