(Panjimas.com) – Memasuki bulan Agustus ada yang berbeda dari “penampilan” sebagian besar wilayah di Indonesia. Mulai dari umbul-umbul berwarna merah putih, bendera, lampu warna-warni, atau bahkan berbagai hiasan yang mengandung unsur merah putih terpasang di sekitar rumah dan di sepanjang jalan. Tentu saja karena rakyat Indonesia merayakan HUT Kemerdekaan RI yang ke-70. Sudah bisa dipastikan pula aneka kegiatan akan turut juga menyemarakkan HUT Kemerdekaan RI ini . Balap Karung, makan kerupuk, panjat pinang, dan lain-lain dianggap cukup mewakili sebagai bentuk perayaan kemerdekaan. Lho apa hubungannya ? entahlah. Yang jelas kegiatan ini diulang terus setiap tahun dari dulu sampai sekarang.
Merdeka. Secara gampang arti merdeka adalah bebas. Benarkah Indonesia sudah merdeka ? Kalau kita masih menyangsikan kemerdekaan Indonesia tentu kita dianggap sebagai masyarakat yang tidak menghargai para pahlawan yang telah berjuang melepaskan negeri ini dari belenggu para penjajah . Betul memang secara fisik kita bangsa Indonesia telah merdeka dari para penjajah. Namun nyatanya Indonesia belum merdeka sepenuhnya. Ya Indonesia masih terjajah secara non fisik atau non militer. Negara adikuasa telah menerapkan penjajahan gaya baru (neo imperialisme ) di Indonesia. Ini yang sangat berbahaya melebihi bahaya penjajahan secara militer. Karena Indonesia nyatanya dijajah dari segala aspek tanpa pernah disadari oleh rakyat Indonesia.
Kalaupun ada sebagian kecil rakyat Indonesia yang menyadari justru malah mendapatkan cemoohan atau bahkan intimidasi dari pihak masyarakat ataupun pemerintah. Di sinilah letak poin penting bahaya dari neo imperialisme. Negara penjajah dengan leluasa menanamkan pengaruh ekonomi, politik, pemikiran, budaya, hukum dan hankam atas wilayah yang dijajah. Dengan tujuan akhir yang sama dengan penjajahan gaya lama, yaitu mengalirkan kekayaan wilayah itu ke negara penjajah.
Dari sisi pembuatan aturan dan kebijakan, banyak sekali UU di negeri ini yang dipengaruhi oleh pihak asing. Di antaranya melalui LoI dengan IMF. Banyak utang—yang sesungguhnya menjadi alat penjajahan—dialirkan ke Indonesia oleh berbagai lembaga donor baik IMF, Bank Dunia, ADB, Usaid dan sebagainya. Perubahan konstitusi negeri ini pun tak lepas dari peran dan campur tangan asing. Banyak dari UU itu disponsori bahkan draft (rancangan)-nya dibuat oleh pihak asing melalui program utang, bantuan teknis, dan lainnya. Di antaranya produk undang-undang di sektor strategis seperti pendidikan, perbankan, energi, kesehatan dan politik seperti UU Sumber Daya Air No.7 tahun 2004, UU Kelistrikan No.20 tahun 2002, UU Pendidikan Nasional No.20 tahun 2003, UU Migas No.22 tahun 2001, UU BUMN No.19 tahun 2003, UU Penanaman Modal No.25 tahun 2007 serta UU Pemilu No.10 tahun 2008.
Kesemua Undang-undang tersebut tentu saja lebih menguntungkan asing dan swasta serta merugikan rakyat banyak. UU bercorak liberal itu hakikatnya melegalkan penjajahan gaya baru (neoimperialisme) atas negeri ini. Karena itu meski sudah 70 tahun “merdeka”, negeri ini masih banyak bergantung pada asing. Bahan pangan baik makanan pokok, garam, gandum, kedelai, susu, dan lain-lain banyak impor. Akibat ketergantungan itu, ditambah permainan para pelaku pasar yang berwatak kapitalis, gejolak harga-harga menjadi fakta keseharian. Melonjaknya harga daging sapi dan cabe saat ini adalah salah satunya.
Akibat UU dan kebijakan neoliberal, sumberdaya alam dan kekayaan negeri ini lebih banyak dikuasai oleh swasta asing. Pengerukan kekayaan negeri demi kemakmuran asing yang dijalankan oleh banyak perusahaan asing pun—mirip zaman VOC dulu—terus berlangsung. Yang paling baru, PT Freeport yang telah mengeruk kekayaan emas di bumi Papua baru saja diberi perpanjangan ijin mengekspor konsentrat tembaga sebanyak 775 ribu ton.
Di sisi lain, juga lahir banyak kebijakan neoliberal yang meminimalkan peran negara dalam mengurus rakyat. Bahkan tanggung jawab negara dialihkan ke pundak rakyat. Tanggung jawab pelayanan kesehatan rakyat, misalnya, dialihkan dari negara ke pundak rakyat melalui asuransi sosial kesehatan (BPJS).
Berbagai sektor juga diliberalisasi. Subsidi BBM dicabut sehingga harganya sering naik. Subsidi listrik juga dicabut sehingga harganya pun dibiarkan naik terus. Ongkos pendidikan mahal. Biaya produksi petani terus naik. Pajak makin bertambah macamnya dan meningkat besarannya. Masih banyak kebijakan neoliberal lainnya. Akibatnya, beban rakyat makin berat. Semua itu hanyalah bukti nyata, kemerdekaan yang dirasakan oleh penduduk negeri ini masih bersifat semu (palsu).
Semestinya, sebagian makna kemerdekaan yang sudah diraih negeri ini dan penduduknya dilanjutkan dengan usaha sekuat tenaga untuk mewujudkan kemerdekaan yang hakiki. Caranya adalah melalui perjuangan sungguh-sungguh untuk menerapkan aturan dan hukum Allah SWT, yakni syariah Islam, untuk mengatur segala urusan kehidupan di masyarakat.
Dengan itu maka kemerdekaan hakiki bisa diwujudkan, kelapangan dunia bisa dirasakan oleh seluruh rakyat dan keadilan bisa dinikmati oleh siapa saja. Hal itu pasti terwujud karena merupakan janji Allah SWT dan kabar gembira dari Rasulullah saw. Wallahu a’lam bi ash showab.
Penulis: Sri Indrianti, Alumni Program Diploma 3 Manajemen Informatika BSI. Tinggal di Jl. LetjenSuprapto no 58 Tulungagung Jawa Timur