Oleh : DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH, MM.
(Panjimas.com) – Organisasi Papua Medeka (OPM) adalah organisasi yang didirikan pada tahun 1965 untuk mengakhiri pemerintahan provinsi Papua dan Papua Barat yang sebelumnya dikenal sebagai Irian Jaya, dan untuk memisahkan diri dari Indonesia. OPM mencapai puncaknya dalam organisasi dan manajemen (dalam istilah modern) karena OPM telah memiliki struktur eksekutif dengan adanya Presiden Pemerintahan Sementara Papua dan kelembagaan legislatif (senat). OPM juga memiiki Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), sebagai sayap militer OPM. TPNPB dibentuk pada 26 Maret 1973, setelah Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat tanggal 1 Juli 1971 di Markas Victoria. Pembentukan TPNPB berdasarkan Konstitusi Sementara Republik Papua Barat yang ditetapkan pada tahun1971 pada Bab V bagian Pertahanan dan Keamanan.OPM juga membentuk Kongres Rakyat Papua tanggal 29 Mei – 4 Juni 2000 intinya menggugat penyatuan (integrasi) dalam wilayah NKRI.
OPM juga telah mendapatkan dukungan dari Amerika Serikat (AS), melalui Kongres AS pada tahun 2005, telah dibuat Rancangan Undang-Undang 2601 yang memuat masalah Papua. Undang-Undang tersebut telah disetujui secara mayoritas dalam sidang Kongres AS. Pada Section 1115 disebutkan adanya kewajiban Menlu AS untuk melaporkan kepada Kongres tentang efektifitas Otonomi Khusus Papua dan keabsahan penentuan pendapat rakyat Papua (Pepera) tahun 1969. Terdapat juga klausul yang mengharuskan Menlu AS melaporkan kepada Kongres terkait dengan pelanggaran-pelanggaran HAM di Papua.
OPM sangat gencar dalam manuver internasionalnya, melalui Free West Papua Campaign tanggal 28 April 2013, Kantor Perwakilan OPM di Oxford Inggris secara resmi telah dibuka. Ini mengindikasikan OPM telah membentuk Kantor Perwakilan Diplomatik sebagaimana negara yang telah berdaulat dan mendapat pengakuan resmi negara lain atas kedaulatannya. Dua bulan setelah peresmian Kantor Perwakilan OPM di Oxford, kelompok Jhon Otto Ondewame Cs melalui organisasi West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL) telah diundang ke KTT ke-19 Forum Negara-Negara Rumpun Melanesia (Melanesian Spearhead Group/MSG) di Noumea, New Caledonia. Tindak lanjut dari dari KTT MSG itu, mereka memantau perkembangan HAM di Papua. Perwakilan OPM di luar negeri ini akan menjadi cikal bakal perwakilan diplomatik (Duta Besar) negara Papua.Selain itu, OPM juga menginduk kepada Unrepresented Nations and People Organization (UNPO) yang bermarkas di Belanda, selain termasuk pula Fretilin, GAM, dan RMS. UNPO sebagai wadah koordinasi tingkat internasional tersebut menunjukkan gerakan separatis dan makar di Indonesia tidaklah berdiri sendiri, melainkan ada pengaruh asing.
Sejak awal diketahui bahwa OPM telah menempuh jalur dialog diplomatik, melakukan upacara pengibaran bendera bintang kejora. Pendukung OPM secara rutin menampilkan bendera Bintang Kejora dan simbol lain dari kesatuan Papua, seperti lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua” dan lambang negara. OPM dalam banyak kasus sering melakukan aksi militan sebagai bagian penciptaan konflik Papua.Semua konflik yang diciptakan adalah dalam rangka mencari dan mendapatkan dukungan internasional. Tidak terkecuali kasus Tolikara akan dimanfaatkan sebagai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat keamaanan dengan tuduhan melakukan penembakan kepada rakyat Papua. Skenario konflik di Papua memang telah menjadi strategi perjuangan OPM. Kemudian isu HAM menjadi “jualan politik” AS dalam mendukung kemerdekaan Papua. Melalui skenario ini Washington akan memiliki dalih untuk mengintervensi penyelesaian konflik di Papua, sebagaimana kasus Timor-Timur. Apa yang dirumuskan dalam Foreign Relation Authorization Act (FRAA) yang secara spesifik memuat pelanggaran-pelanggaran HAM di Papua akan menjadi “pintu masuk” Washington untuk menekan pemerintah RI dari aspek HAM dan kemudian menekan agar dilakukannya referendum pemisahan Papua dari NKRI.
Dalam kasus penyerangan terhadap umat Islam pada saat berlangsungnya shalat Idul Fitri di Tolikara Papua tidaklah terjadi tanpa suatu tujuan tertentu kaum separatis dan teroris salibis OPM. Tindakan itu juga merupakan bagian dari kertas kerja operasi intelejen asing dalam mendukung gerakan OPM untuk memisahkan diri dari NKRI. Dapat dikatakan bahwa telah ada konspirasi dalam bentuk persekutuan, persengkokolan atau perkomplotan antara GIDI (Gereja Injili di Indonesia), OPM dan pihak asing dalam tujuan memisahkan Papua dari NKRI. GIDI telah menempatkan dirinya sebagai negara dalam negara yang mengatur pelarangan ibadah melalui Surat Pelarangan yang sangat kontroversial dan cenderung melakukan penghinaan terhadap Islam.
Oleh karena itu, pihak GIDI yakni Pdt. Nayus Wenda dan Pdt. Marthen Jingga harus ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan guna pemeriksaan lebih lanjut sebagaimana Laporan Polisi kami dari Tim Advokasi Muslim untuk Tolikara Papua kepada Bareskrim Mabes Polri Nomor : TBL/547/VII/2015/BARESKRIM tanggal 20 Juli 2015. Keduanya telah melakukan tindak pidana kekerasan atau ancaman kekerasan merintangi sesuatu pertemuan agama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175 KUHPidana.
Kami, Tim Advokasi Muslim untuk Tolikara Papua meyakini adanya konspirasi terselubung antara GIDI, OPM dan pihak-pihak asing dalam kasus Tolikara. Perlu kami tegaskan bahwa kasus Tolikara adalah hasil rekayasa konspirasi antara GIDI, OPM dan pihak asing terutama Israel dan AS. Dengan demikian, pihak aparat penegak hukum harus melakukan pemeriksaan lanjutan adanya keterlibatan OPM dalam kasus Tolikara.
Keterhubungan GIDI dengan Israel tidak diragukan lagi, afiliasi yang strategis telah diwujudkan dalam pelaksanaan Seminar dan KKR Pemuda GIDI tingkat Internasional. Diketahui di Jayapura dikenal gerakan Zion Kids, suatu gerakan yang kini berhasil menghimpun seperempat umat Kristen di Tanah Papua. Sebagian dari aktivis Papua Merdeka lebih banyak dari kaum Pendeta/Pastor.Kita ketahui bahwa Pdt. Nayus Wenda dan Marthen Jingga adalah petinggi GIDI wilayah Tolikara, mereka adalah agen Zionis Israel.
Dalam kubu aktivis Papua Merdeka, mereka yakin hanya Israel yang mampu mengibarkan Bintang Kejora di Papua Barat pada tahun 2010. Terkait dengan kegiatan Seminar danKKR Pemuda GIDI, maka pengibaran bendera Israel adalah suatu bentuk gerakan Zion Kids yang menginduk kepada Israel. Oleh karena itu, Mossad melalui beberapa pelayan Tuhan dari Yahudi sering datang ke Papua dalam bentuk KKR, jadi bukan hanya di wilayah Tolikara saja. Dapat dikatakan terdapat hubungan emosional antara Zionis Israel, AS, Inggris, Belanda di satu sisi dengan GIDI dan OPM dalam upaya memisahkan Papua dari NKRI.
Sekali lagi kami sebutkan bahwa GIDI telah menjelma sebagai negara dalam negara dengan bukti menghadirkan perwakilan dari Israel dalam seminar internasional tersebut, padahal telah jelas pemerintah RI tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Menghadirkan perwakilan yang tidak memiliki hubungan diplomatik adalah tindakan yang sangat bertentangan dengan konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Terlebih lagi pelaksanaannya dilakukan berbarengan dengan penetapan pemerintah bahwa Hari Raya Idul Fitri adalah Hari Libur Nasional, dan pihak GIDI dengan sengaja dan berani melakukan pelarangan terhadap penyelenggaraan shalat Idul Fitri yang menjurus kepada aksi separatisme dan terorisme kepada umat Islam Tolikara. Penyerangan dilakukan bukan hanya kepada umat Islam, tetapi juga terhadap negara, mengingat tempat pelaksanaan shalat Idul Fitri berada dalam kawasan instalasi militer, yakni lapangan Koramil 1702/WMS. Penyerangan tersebut dapat membangkitkan rasa militansi rakyat Papua yang terprovokasi oleh rekayasa konflik OPM agar semakin berani kepada TNI-Polri. Jika di dalam instalasi militer saja mereka berani melakukan penyerangan, bagaimana jika pelaksanaan ibadah di tempat lain.
Dapat disimpulkan bahwa pelarangan yang dikeluarkan oleh GIDI dan penyerangan pada instalasi militer termasuk perbuatan tindak pidana makar terhadap NKRI. Oleh karena itu, pemerintah dalam hal ini aparat penegak hukum harus mengungkap adanya konspirasi dalam upaya memecah-belah persatuan dan kesatuan NKRI. Tidaklah cukup dengan melakukan proses peradilan terhadap para pelaku yang terlibat. Ancaman nyata kelak dikemudian hari adalah disintegrasi bangsa, khususnya di daerah dimana kaum muslim minoritas.
Penulis adalah Ketua Tim Advokasi Muslim Untuk Tolikara Papua, Pengurus Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI Pusat, Pengkaji Ahli LKS Al-Maqashid Syariah, Konsultan Hukum dan Dosen.