Oleh: Siti Rubiyah, Pendidik di SDI al-Irsyad Tulungagung
(Panjimas.com) – Kembali, peristiwa kekerasan terhadap anak menghebohkan publik Indonesia. Terbunuhnya Angeline, bocah cantik usia 8 tahun yang ditemukan terkubur di halaman belakang ibu angkatnya 10 Juni kemarin, menuai banyak kontroversi publik baik di media maupun sosial media terkait siapa sebenarnya pembunuhnya. Kasus ini menampar para pengambil kebijakan di negeri ini ternyata kasus kekerasan terhadap anak terus terjadi.
Tak lama berselang, kekerasan terhadap anak kembali terjadi. Kali ini, kekerasan menimpa seorang anak berusia 12 tahun berinisal GT di Cipulir, Jakarta Selatan. Bukan kasih sayang yang ia terima, tetapi perlakuan buruk dari ibu kandungnya sendiri berinisial LSR (47). Sekretaris Jenderal Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Erlinda mengatakan, kekerasan yang terjadi terhadap GT sangat keji. GT digergaji lengan kirinya. Selain itu, GT sering menerima perlakukan kasar dari ibunya, seperti dipukul, atau dilempar mangkuk.”Kejadian yang dialami anak ini sudah bertahun-tahun lamanya. Mulai dipukul, ditonjok, disundut rokok, dilempar mangkuk, hingga giginya kini dua lepas (hilang). Badannya pun lebam-lebam,” ujar Erlinda saat dihubungi, Jumat, 3 Juli 2015. Erlinda mengatakan, hingga saat ini KPAI belum mengetahui motif di balik kekerasan tersebut. Dugaan kuat, sang ibu stres karena harus menghidupi keluarganya.
Kasus Engeline memang menyorot perhatian masyarakat luas. Fenomena kekerasan pada anak diduga jauh lebih banyak yang tak terungkap, lantaran kurangnya kesadaran untuk melapor. Dengan adanya pukulan berat, diharapkan bahwa kejadian serupa tidak akan pernah terulang kembali. Komisi Perlindungan Anak Indonesia menyatakan angka kekerasan terhadap anak terus meningkat sejak tahun 2011. Mayoritas pelaku bahkan didominasi orang-orang dekat dengan korban. “Trendnya ada 15 sampai 20 persen dari semua tingkat kecuali kekerasan kepada anak itu melonjak lebih dari 20 persen,” ujar Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Asrorun Ni’am, Selasa 30 Juni 2015. Berdasarkan data dari KPAI, setiap tahunnya telah terjadi sekitar 3.700 kasus kekerasan pada anak. Termasuk kekerasan seksual, pembunuhan, perdagangan manusia, narkoba, dan sebagainya. Angka itu pun dirasa akan lebih tinggi, melihat kesadaran melapor yang rendah di masyarakat.
Sebenarnya wabah kekerasan terhadap anak adalah gejala yang melekat pada peradaban sekuler Barat, yang diimpor ke negeri-negeri Muslim dan menulari komunitas masyarakat Muslim. Di Amerika Serikat, sejak tahun 2000 setiap tahunnya lebih dari 5 juta anak mengalami kekerasan fisik, seksual, verbal, diabaikan, dan ditinggalkan, kemudian wabah ini juga berlanjut ke negeri-negeri Asia Timur; Korea Selatan sebanyak 6.700 kasus pada tahun 2013 kemudian naik 36% tahun 2014 menjadi 10.240 kasus. Jepang bahkan lebih buruk dalam hal ini, total 73.765 kasus kekerasan terhadap anak di 2013.
Sungguh, ideologi Kapitalisme sekuler telah menyebarkan wabah ini dari barat hingga ke timur. Nilai-nilai sekuler, kebebasan dan materialistik telah melumpuhkan dan mendehumanisasi bangunan keluarga. Gejala negara-negara maju di Barat “mencapai kemajuan ekonomi namun mengalami kerusakan peradaban” akhirnya semakin dirasakan di negeri-negeri Muslim akibat para penguasa rezimnya yang terus membebek nilai-nilai sekuler dan kebebasan yang dipacu oleh sistem ekonomi kapitalistik. Tak dinyana lagi, pembangunan pesat senantiasa diiringi dengan krisis sosial, keruntuhan institusi keluarga, meluasnya kriminalitas, serta wabah kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Para penguasa Muslim harus menyadari bahwa obat dari wabah penyakit ini sesungguhnya hanyalah Islam. Sejarah gemilang peradaban Islam terbukti menjamin kesejahteraan dan kehormatan anak-anak generasi penerus Islam. Sistem hukum, sosial dan politik ekonominya berpadu menjaga dan menjamin tumbuh kembangnya generasi emas yang kuat, produktif dan bertaqwa. Pembunuh anak akan diqishas, yakni balas bunuh, atau membayar diyat sebanyak 100 ekor unta yang bila dikonversi saat ini senilai kurang lebih 150,000 US$. Bahkan satu gigi pun dikenakan diyat 5 ekor unta atau sekitar 7500US$. Termasuk juga melukai kemaluan anak kecil dengan persetubuhan dikenai 1/3 dari 100 ekor unta, selain hukuman zina.
Dengan hukuman seperti ini, orang-orang yang akan melakukan penganiayaan terhadap anak akan berpikir beribu kali sebelum melakukan tindakan. Sistem sosial Islam juga akan menjaga bangunan keluarga secara harmonis dan menjauhkannya dari dehumanisasi fungsi Ibu, hingga anak-anak terjaga dengan baik di rumah. Negara juga akan menjamin pendidikan bebas biaya bagi anak-anak melalui sekolah-sekolah dengan kurikulum berbasis Aqidah Islam yang membentuk watak dan kepribadian Islam. Selain itu politik ekonomi Islam juga akan menghindarkan masyarakat Islam dari kesenjangan ekonomi yang menghantarkan pada eksploitasi ekonomi kaum Ibu sebagai pencari nafkah hingga anak-anak terabaikan.
Penerapan sistem Islam secara komprehensif seperti ini akan terus menjaga suasana taqwa terus hidup di tengah masyarakat.Anak-anak di seluruh dunia saat ini sangat membutuhkan sebuah model alternatif sistem untuk melindungi mereka dari tata dunia yang rusak, sakit, dan gagal ini. Sistem satu-satunya yang mampu memberikan ini semua adalah Khilafah yang berdasar metode kenabian yang menerapkan sistem hukum Islam secara komprehensif.