(Panjimas.com) – Ketika diminta menjadi salah satu pemateri dalam Diskusi Hari Kebebasan Pers Internasional bertajuk “Kebebasan dan Penistaan” pada hari Senin (4/5/2015) di gedung Dewan Pers Jakarta, saya terpaksa menceritakan ulang kasus pemblokiran situs-situs Islam yang terjadi hampir satu purnama lalu.
Bukan bermaksud mengungkit lagi hal yang telah dianggap selesai, tapi sekadar membuat kilas balik agar di masa mendatang tak terjadi lagi. Saya mulai paparan dengan pertanyaan sederhana yang belum tuntas betul jawabnya. Pertanyaan mendasar itu adalah mengapa pemblokiran yang gegabah—bila meminjam istilah Wakil Ketua DPR Fadli Zon—ini bisa terjadi?
Pertanyaan ini menjadi penting dijawab agar pertanyaan selanjutnya—yang juga tak kalah penting—bisa dicari jawabnya, yakni bagaimana cara agar di masa mendatang kejadian ini tak terulang? Saya menilai ada satu kata kunci yang menjadi muasal terjadinya pemblokiran tempo hari, yakni kata radikal. Ada beberapa pertanyaan menyangkut kata kunci ini yang perlu dijawab dan disepakati bersama.
Pertama, apa definisi radikal dan tepatkah istilah itu dipakai? Kedua, apa kriteria sebuah media massa atau konten media massa dikategorikan radikal dan apa pula batasannya?
Sebenarnya, dalam Islam tidak dikenal istilah radikal. Yang ada istilah ghuluw, artinya berlebih-lebihan dalam beragama. Sikap memaksakan kehendak dalam beragama boleh jadi terkategori ghuluw. Ghuluw sudah pasti bermakna negatif, sedangkan radikal bisa jadi positif.
Makna positif radikal ini saya dapatkan ketika berdiskusi dengan Saud Usman Nasution, kepala Badan Nasional Penangunggulangan Terorisme (BNPT) awal April lalu, di acara Aliansi Jurnalistik Independen Jakarta. Kata beliau saat itu, radikal bisa bermakna positif, bisa juga negatif. “Radikal positif, misalnya, berperang melawan penjajah,” kata beliau ketika itu.
Beberapa ulama yang saya tanya makna radikal juga menyatakan hal positif. Mereka mengaitkan jawabannya pada asal kata radikal itu sendiri, yakni radiks, yang berarti akar. Jadi, Islam radikal artinya ber-Islam hingga ke akar-akarnya. Ini jelas positif. Sebab, memahami Islam hingga ke akar-akar justru membuat orang semakin saleh, bukan semakin jahat. Nah, definisi ini tentu bertentangan dengan makna radikal yang dimaksudkan sebagai alasan pemblokiran.
Lalu saya menemukan lagi definisi radikal menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Di dalam kamus itu disebutkan bahwa radikal berarti—salah satunya—amat keras menuntut perubahan. Ini agak relevan dengan batasan radikal yang dicetuskan BNPT.
BNPT, setelah ditanya para wartawan awal April lalu, merilis empat definisi radikal. Pertama, ingin melakukan perubahan secara cepat menggunakan kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Kedua, menyebarkan pemahaman takfiri (mengafirkan orang lain). Ketiga, mendukung, menyebarkan, dan mengajak bergabung dengan ISIS. Keempat, memaknai jihad secara terbatas.
Bila menilik definisi ini—selain poin keempat yang masih terkesan bias—radikal yang dimaksud BNPT ini memang berpotensi menimbulkan bahaya. Cuma ternyata BNPT sendiri tak kunjung menunjukkan pada berita mana di Hidayatullah.com—dan juga situs Islam lainnya—yang dianggap memenuhi kriteria radikal tadi.
Baru sepekan kemudian, dalam pertemuan yang difasilitasi AJI tersebut, Saud Usman menyebutkan ada dua berita di Hidayatullah.com yang dianggap radikal dan berbahaya. Lalu beliau menunjukkan kedua berita itu kepada saya, dan tak bersedia menunjukkannya kepada semua wartawan yang hadir di acara itu.
Setelah melihat dua berita itu, muncul kembali pertanyaan di benak saya, bagaimana bila konten yang dianggap radikal tadi sebenarnya telah memenuhi kode etik jurnalistik? Apakah ia tetap terkategori radikal? Saya sendiri merasa kedua berita yang disebutkan oleh Saud Usman sudah memenuhi kode etik jurnalistik.
Atau, jika pertanyaannya dibalik, apakah mungkin sebuah karya jurnalistik yang telah memenuhi standar kode etik jurnalistik divonis radikal dan berbahaya? Jika jawabnya mungkin, berarti ada yang tak sempurna pada kode etik tersebut.
Pertanyaan berikutnya, apakah sebuah media massa yang memuat satu atau dua konten yang dianggap radikal harus ditutup/diblokir/diberedel, atau cukup konten radikalnya saja yang ditarik/dicabut?
Pemerintah melandaskan pemblokiran ini pada Peraturan Menkominfo (Permen) No 19 Tahun 2014. Itu artinya pemblokiran ini memiliki landasan hukum. Namun faktanya, pemblokiran ini telah menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat. Hak masyarakat untuk mendapatkan informasi dari media-media Islam kesayangan mereka telah dicabut. Kegaduhan ini tentu bertolak belakang dengan tujuan diterbitkannya Permen itu sendiri.
Kita patut bersyukur karena pemerintah—dalam hal ini Kominfo—kemudian membentuk tim panel yang bertugas memberikan masukan terkait konten radikal. Saya kira ini cukup memberi solusi terhadap persoalan blokir atas nama radikalisme yang sempat menghantui kebebasan pers di Tanah Air ini.
Namun, jika tim ini tidak tuntas menjawab pertanyaan tadi, saya khawatir hasilnya akan sama dengan sebelumnya. Sebab, subjektivitas atas dasar suka atau tidak suka antarkelompok akan memengaruhi keputusan tersebut.
Satu hal lagi, saya setuju negara ini harus ada pagar yang membatasi ruang gerak berekspresi masyarakatnya, termasuk insan pers. Sebab, kebebasan yang sebebas-bebasnya akan menghasilkan kebablasan yang sebablas-bablasnya.
Saya khawatir kebablasan yang sebablas-bablasnya ini kelak akan melanggar fitrah kita sebagai manusia. Jika sudah begini, bencana akan menanti kita.
Namun, pagar ini harus sempurna dan kokoh, bukan pagar yang rapuh. Kita tak ingin Indonesia menjadi negara yang membolehkan menggambar kartun Rasulullah SAW demi apa yang disebut kebebasan berekspresi. Kita ingin bangsa ini kuat dan beradab. Wallahu a’lam..
Mahladi – Pemimpin Redaksi Kelompok Media Hidayatullah