Ibu Bahagia Menjelang Akhir Hayatnya
Oleh Hartono Ahmad Jaiz
PANJIMAS.COM – Ibu, anakmu ini seakan sudah engkau maklumi walau tak mampu membahagiakanmu dengan modal harta.
Dan memang engkau ibu yang tidak haus harta. Cukup bersyukur dengan apa yang ada. Istilahnya bersikap qana’ah menurut ahli akhlaq.
Dengan syukurmu itu Ibu, aku sangat memahami, aku tidak tertuntut untuk banting tulang demi kehidupnamu Bu. Karena adik-adikku yang banyak telah membahagiakanmu semampu mereka.
Hanya saja engkau terpaksa hidup sendirian di samping adikku yang di desa, berdempet dengan rumahmu. Aku sebagai anak tertua merasa bersalah tak mampu menemanimu setiap waktu di masa tuamu.
Qadarullah, anakmu yang tertua ini tiba-tiba diminta secara halus oleh adik-adikku dan isteriku untuk menemanimu. Bermalam denganmu, berdua denganmu, tanpa ditentukan waktu. Padahal jarak rumahku dan rumahmu 510 kilometer, bagai Makkah dan Madinah.
Tugas itupun aku lakukan. Malam pertama, kedua, dan ketiga, engkau banyak memberi nasihat-nasihat. Nasihat yang di malam ketiga, engkau katakan, orang kafir ketika dicabut nyawanya bagai karung goni ditaruh di duri-duri lalu ditarik. Sedang orang mukmin ketika dicabut nyawanya maka dibawakan kain dari surga dan minyak wangi.
Aku sahut pada malam itu, ya Bu. Itu ada di hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang meriwayatkannya adalah sahabat yang bernama al-Bara’ bin ‘Azib.
Pagi hari, sebagaimana biasa engkau mengaji Al-Qur’an dari ba’da shubuh sampai waktu boleh shalat isyraq atau dhuha awal. Sehari-hari engkau mengaji al-Qur’an, hingga setiap bulan khatam 4 kali. Aku ngiri Bu. Dan ngiri jenis ini dibolehkan. Kenapa anaknya yang masih segar bugar tidak mampu melaksanakan, sedang ibu yang umur 84 tahun justru mampu.
Yang engkau katakan kepadaku dan kepada menantumu pagi itu, bahwa engkau telah menyapu seluruh rumah dan pekarangan, agar nanti ketika orang-orang melayat, keadaannya sudah bersih.
Dengan ucapan yang seperti itu, seakan menunjukkan kegembiraanmu menjelang meninggal, dan itu semoga seperti yang ada dalam hadits Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Aisyah radhiallahu anha dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ أَحَبَّ لِقَاءَ اللَّهِ أَحَبَّ اللَّهُ لِقَاءَهُ وَمَنْ كَرِهَ لِقَاءَ اللَّهِ كَرِهَ اللَّهُ لِقَاءَهُ فَقُلْتُ يَا نَبِيَّ اللَّهِ أَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ فَكُلُّنَا نَكْرَهُ الْمَوْتَ فَقَالَ لَيْسَ كَذَلِكِ وَلَكِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا بُشِّرَ بِرَحْمَةِ اللَّهِ وَرِضْوَانِهِ وَجَنَّتِهِ أَحَبَّ لِقَاءَ اللَّهِ فَأَحَبَّ اللَّهُ لِقَاءَهُ وَإِنَّ الْكَافِرَ إِذَا بُشِّرَ بِعَذَابِ اللَّهِ وَسَخَطِهِ كَرِهَ لِقَاءَ اللَّهِ وَكَرِهَ اللَّهُ لِقَاءَهُ
“Barangsiapa senang berjumpa dengan Allah, maka Allah pun senang berjumpa dengannya dan barangsiapa yang benci berjumpa dengan Allah, maka Allahpun benci berjumpa dengannya.”
Lalu aku (Aisyah) bertanya, “Wahai Rasulullah, kalau masalah benci kepada kematian, setiap kita tentu membenci kematian?” Beliau bersabda, “Bukan begitu, akan tetapi seorang mukmin apabila telah diberi kabar gembira dengan rahmat dan keridhaan Allah, maka ia senang berjumpa dengan Allah dan Allah pun senang berjumpa dengannya. Dan sesungguhnya orang kafir apabila telah diberi kabar dengan siksaan dan murka Allah, maka ia benci berjumpa dengan Allah dan Allah pun benci berjumpa dengannya.” (HR. Al-Bukhari no. 6026 dan Muslim no. 2684). Demikianlah yang ada dalam hadits.
Bu, terhadap perkataanmu: “… agar nanti ketika orang-orang melayat (ta’ziyah), keadaannya sudah bersih,” itu aku tidak bertanya apa-apa kepadamu. Bahkan aku tetap membacakan Laa ilaaha illallah di dekat kupingmu, istilahnya talqin, menuntun baca Laa ilaha illallah kepada orang yang sakaratul maut. Dan aku mencegahmu mengingat apa-apa, ingat saja Allah, dan tirukan bacaan Laa ilaaha illallah…
Ibu pun menirukannya, dan pada setiap akhir kalimah Allah, maka terdengar suaranya dikeraskan.
Saking tak mau terganggu dalam membacakanmu kalimah thayyibah yang engkau tirukan dalam keadaan entah berapa detik lagi engkau berpisah denganku, aku tak tahu, tiba-tiba hp berbunyi. Sampai-sampai pertanyaanku kepada penelepon, aneh: “Kenapa nelepon?”
Ternyata adikku yang tinggal di Jakarta yang jaraknya 500 km lebih itu jengak dengan pertanyaanku. Singkat kata, kukatakan intinya gawat.
Di tengah kesibukanku menalqinmu Bu, engkau suruh aku menelepon adikku yang jarak rumahnya 65 Km. Lalu engkau tanyakan, sudah sampai mana. Dan tahu-tahu kemudian justru adik yang nelepon pertama itu memberi aba-aba kepada adikku yang sedang tugas, jaraknya 17 Km.
Tiba-tiba di tengah sibuk menalqin dengan Laailaaha illallah itu ada telepon lagi. Pertanyaan penelepon kepadaku singkat, apakah aku kehilangan. Saya jawab, ya. Lalu penelepon berjanji untuk mengantarkan barang hilang itu.
Langsung aku khabarkan ke Ibu yang sedang saya talqin dalam keadaan tiduran dan menutup mata itu, bahwa ada kabar gembira. Duit yang Ibu titipkan kepadaku untuk adik-adik sekian juta kemarin ternyata tidak hilang di perjalananku dari desa ini ke Jakarta. Tapi hanya tertinggal di mobil orang yang berbaik hati mengantarku, dan sekarang akan diantarkan ke sini.
Alhmadulillaah… jadi kamu tidak usah menggantinya Le (nak) … ucap ibu berbinar-binar, sangat gembira dan bahagia. Bersyukur karena uang itu tidak hilang, hingga anaknya ini tidak usah payah-payah untuk menggantinya. Dan sangat bersyukur, baik ibuku maupun apalagi aku, di zaman begal sekarang ini ternyata masih ada orang-orang yang insya Allah disayangi Allah, hingga tetap jujur. Dan kejujuran di zaman begal ini sangat mahal sekali, apalagi di saat seseorang yakni ibuku beberapa menit lagi dipanggil Allah Ta’ala.
Ibu, aku tak mampu membahagiakanmu, apalagi di saat-saat ajalmu tiba. Namun aku bersyukur, sebagai tukang pembawa berita belaka (yang separuh umur yang kujalani ini hanya seolah jadi tukang berita), ternyata berita paling berharga di hadapanmu adalah berita yang kubawa menjelang ajalmu ini Bu.
Talqin pun terus saja saya ulang-ulang lalu ditemani dua adik saya, hingga jelas ibu tirukan, dan akhirnya entah hanya berapa menit tampaknya nafas terakhir lewat mulut keluar pelan. Inaa lillahi wa innaa ilaihi raji’un.
Bu, engkau dilahirkan 84 tahun lalu setelah ibumu mengaji Al-Qur’an, Bu, dan engkau wafat setelah mengaji Al-Qur’an, dan engkau tinggalkan dunia ini dengan sangat lega, karena sesuatu yang agak mengganjal pun telah terhapus bahkan dengan berita gembira itu tadi. Bahkan sesaat sebelum akhir hayatmu telah engkau sebut, duitmu di bawah tempat tidurmu sejumlah sekian, ternya Alhamdulillah cukup bahkan lebih ketika untuk mengurusi pemakaman dan untuk bersedekah kepada sanak kerabat dan para tetangga.
Bacaan Al-Qur’anmu yang setiap bulan khatam empat kali dan kadang dengan terjemah Bahasa Jawa itu, insya Allah menjadi bekal yang sangat berharga bagimu Bu, yang kini engkau dikubur di sisi ayahku yang telah mendahuluimu beberapa tahun lalu. Kecintaanmu mengaji Al-Qur’an di antaranya juga menirukan ayahku yakni suamimu, Bu. Dia di waktu sakit pun biasanya justru lebih rajin mengaji Al-Qur’an. Bahkan lebih sering cepat khatam, karena ketika sakit tidak diselingi dengan bekerja.
Kebiasaan baik itu rupanya engkau teruskan Bu, sampai akhir hayatmu. Semoga benar-benar jadi bekal kebaikan di alam yang kini engkau alami Bu.
Allahummaghfir lahaa warhamhaa wa’afiha wa’fu ‘anha waj’alil jannata matswaha. Allahumma laa tahrimnaa ajraha walaa taftina ba’dahaa waghfir lanaa walahaa. Aamiin ya Rabbal ‘alamiin.
Jakarta, Kamis 5 Jumadil Akhir 1436H/ 26 Maret 2015
Hartono Ahmad Jaiz