PANJIMAS.COM – Lee Kuan Yew meninggal dunia pada usia 91 tahun pada Senin (23/3/2015) dini hari, sekitar pukul 03.18 waktu setempat. Sejak 5 Februari lalu, ayah dari PM Singapura Lee Hsien Loong ini menjalani perawatan di Singapore General Hospital (SGH) karena menderita penyakit pneumonia parah.
Lee Kuan Yew lahir 16 September 1923 di Singapura. Ia bersekolah di SD Telok Kurau, Raffles Institution dan Raffles College. Kuliahnya tertunda akibat Perang Dunia II dan pendudukan Jepang di Singapura pada 1942–1945. Pada masa itu, ia menjual Stikfas, sejenis lem yang dibuat dari tapioka, di pasar gelap. Lee yang sejak 1942 mengambil mata pelajaran bahasa Mandarin dan bahasa Jepang bekerja sebagai penulis laporan kilat Sekutu bagi Jepang serta menjadi editor bahasa Inggris untuk koran Jepang Hobudu (alat propaganda) dari 1943–1944.
Setelah perang berakhir, Lee mengambil jurusan hukum di Fitzwilliam College, Inggris. Ia kembali ke Singapura pada 1949 untuk bekerja sebagai pengacara di biro Laycock & Ong.
Pada 1954, Lee bersama sekelompok rekan kelas menengah yang berpendidikan di Inggris membentuk Partai Aksi Rakyat (PAP) untuk mendorong berdirinya pemerintahan Singapura yang berdaulat sehingga kolonialisme Britania Raya dapat berakhir. Lima tahun kemudian, pada 1959, Lee terpilih sebagai Perdana Menteri pertama Singapura, menggantikan mantan Kepala Menteri Singapura, David Saul Marshall. Lee kembali terpilih menjadi PM untuk ketujuh kalinya berturut-turut dalam kondisi Singapura yang bercondong kepada demokrasi terbatas (1963, 1968, 1972, 1976, 1980, 1984 dan 1988), hingga pengunduran dirinya pada November 1990 kemudian menjabat sebagai Menteri Senior pada kabinet Goh Chok Tong. Pada Agustus 2004, tatkala Goh mundur dan digantikan oleh anak Lee, Lee Hsien Loong, Goh menjabat sebagai Menteri Senior, dan Lee Kuan Yew menjabat posisi baru, yakni Menteri Penasihat.
Israel di Balik Negara Singapura
Pria berjuluk bapak pembangunan Singapura ini, telah mengubah kota pelabuhan kecil itu menjadi salah satu negara terkuat di Asia.
Menurut pengakuannya sendiri, Lee Kuan Yew meniru nagara penjajah Zionis Israel dalam membangun negaranya.
“Seperti Israel, kami harus melompati tempat-tempat lain di kawasan dan menarik perusahaan-perusahaan internasional,” ujarnya.
Bahkan, sebelum Singapura menjadi negara makmur seperti sekarang, Zionis Israel telah memiliki kedekatan dengan founding father negara tersebut.
Herry Nurdi, aktivis Islam anti Zionis mengemukakan dalam artikelnya, Mordechai Kidron, duta besar Israel di Bangkok sejak tahun 1962 sampai 1963 telah mencoba untuk mendekati Lee Kuan Yew dan menawarkan jasa untuk menyiapkan pasukan bersenjata. Tapi saat itu, Lee Kuan Yew menolaknya dengan beberapa alasan, salah satunya adalah pertimbangan Tuanku Abdul Rahman dan masyarkat Muslim di wilayah Singapura yang kemungkinan tidak akan setuju. Dan jika mereka tidak setuju, menurut Lee, bisa memancing kerusuhan yang tidak terkendali dan merugikan bagi rencana kemerdekaan Singapura.
Tapi akhirnya, Lee melirik tawaran ini. Di saat yang sama, Lee Kuan Yew juga mengirim dan menunggu jawaban dari India dan Mesir. Ia mengirim surat ke Perdana Menteri India, Lal Bahadur Shastri dan Presiden Mesir, Gamal Abdul Nasser. Dari Mesir Lee Kuan Yew mendapat jawaban, bahwa Nasser menerima dan mengakui kemerdekaan negara Singapura, tapi tidak memberikan jawaban pasti atas permintaan bantuan militer. Dan itu yang memicu kekecewaan Lee Kuan Yew yang langsung memerintahkan untuk memproses proposal Israel untuk menyiapkan militer Singapura. Tokoh lain yang berpengaruh dalam hubungan Singapura-Israel adalah Goh Keng Swee. Lee Kuan Yew memerintahkan Keng Swee untuk menghubungi Mordechai Kidron, duta besar Israel yang berkedudukan di Bangkok pada tanggal 9 September 1965, hanya beberapa bulan setelah pemisahan Singapura dari Malaysia. Dan hanya dalam beberapa hari, Kidron telah terbang ke Singapura untuk menyiapkan keperluannya bersama Hezi Carmel salah seorang pejabat Mossad.
Bertahun-tahun kemudian Hezi Carmel dalam sebuah wawancara mengatakan bahwa Goh Keeng Swee berujar kepadanya hanya Israel lah yang bisa membantu Singapura. Israel adalah negara kecil yang dikepung oleh negara-negara Muslim di Timur Tengah, tapi memiliki kekuatan militer yang kecil tapi kuat dan dinamik. Bersama Keng Swee, Kidron dan Hezi menghadap Lee Kuan Yew.
Perlu digarisbawahi di sini, bahwa proposal Israel yang telah diajukan sejak tahun 1960, adalah sebuah hasil dari kajian mendalam tentang masa depan Singapura dan percaturan politik di Asia Tenggara. Bukan Singapura yang aktif untuk meminta Israel masuk, tapi Israel lah yang pertama kali menawarkan diri agar bisa terlibat secara aktif di wilayah Asia Tenggara. Tentu saja ini bukan semata-mata kebetulan, tapi berdasarkan perencanaan yang matang dari gerakan Zionisme internasional. Menempatkan diri bersama Singapura, sama artinya menjadi satelit Israel dan kekuatan Yahudi di Asia Tenggara.
Lee Kuan Yew Bertangan Besi
Selain itu, Lee Kuan Yew juga dikritik karena gaya kepemimpinannya yang bertangan besi.
Lee dianggap sebagai seorang otoriter yang condong kepada kaum elit. Lee sendiri pernah dikutip mengatakan bahwa ia lebih suka ditakuti daripada disayangi rakyatnya.
Lee melaksanakan beberapa peraturan keras guna menekan kaum oposisi dan kebebasan berpendapat, misalnya penuntutan perkara pemfitnahan hingga membangkrutkan musuh-musuh politiknya.
Di bawah kepemimpinannya, kebebasan berbicara dibatasi dan lawan politik menjadi sasaran oleh pengadilan.
Salah satu warisan Lee adalah pembatasan kebebasan pers. Pembatasan ini terus berlaku hingga hari ini. Pada tahun 2014, Singapura masuk ke dalam daftar 150 negara dalam Reports Without Borders World Press Freedom Index, di bawah negara-negara seperti Rusia, Myanmar, dan Zimbabwe.
Hingga saat ini, partainya tetap berkuasa di Singapura. Di parlemen, hanya ada enam politisi oposisi.
“Siapa pun yang mengatur Singapura harus bertangan besi, atau menyerah,” katanya pada tahun 1980.
Kebencian Lee Kuan Yew kepada Islam
Menurut WikiLeaks, dalam laporan komunikasi bocor oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) di Singapura, mantan Perdana Menteri (PM) Singapura Lee Kuan Yew Lee berkata Islam adalah ‘agama yang beracun’ (venomous religion).
Lee menyampaikan hal tersebut saat bertemu Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton yang tengah berkunjung ke negaranya. Ketika itu, Clinton masih seorang senator.
Bocoran dokumen dari WikiLeaks ini merupakan salah satu dari 700 dokumen yang berasal dari Kedubes AS di Singapura.
Lee juga menyatakan pandangan kontroversial terhadap umat Islam Singapura yang termaktub dalam buku “Lee Kuan Yew: Hard Truths to Keep Singapore Going”.
Dalam buku itu, Lee menegaskan bahwa kaum muslim Singapura menghadapi kesulitan berintegrasi karena kepatuhan mereka kepada ajaran-ajaran Islam, dan mendesak umat Muslim untuk menjadi kurang ketat dalam menjalani ketaatan Islam.
“I would say today, we can integrate all religions and races except Islam.”
“Saya akan katakan sekarang bahwa kita bisa mengintegrasikan semua agama dan ras, kecuali Islam,” kata Lee dalam bukunya itu.
Selain itu Lee Kuan Yew, yang saat itu menjadi menteri senior Singapura, pada 28 Februari 2002 menyatakan Indonesia, khususnya kota Solo sebagai sarang teroris. Salah seorang yang dituding sebagai teroris yang dimaksud adalah Ustadz Abu Bakar Ba’asyir yang waktu itu menjadi Amir Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), yang disebut juga sebagai anggota Jamaah Islamiyah.
Sejak saat itu, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir harus keluar-masuk penjara dengan berbagai tuduhan yang dikaitkan dengan terorisme. Hingga kini, Ustadz Ba’asyir harus menjalani vonis zalim 15 tahun penjara dan mendekam di LP Pasir Putih Nusakambangan, Cilacap. [AW/dbs]