(Panjimas.com) – Awal tahun 2015, masyarakat Indonesia dan para tokoh nasional dikejutkan dengan keruwetan peta perpolitikan di Indonesia, mulai dari penurunan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) oleh pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (JK) hingga penetapan status tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada Komjen Pol Budi Gunawan.
Bagaiman tidak terkejut, harga BBM yang diakhir tahun 2014 dinaikkan oleh Pemerintahan Jokowi hingga 200 % setelah tidak lebih dari 2 bulan dirinya menjabat sebagai Presiden, tiba-tiba pada tanggal 31 Desember 2014 atau pada saat pergantian tahun baru 2015 diturunkan kembali. Dan baru berselang 2 pekan, Jokowi kembali menurunkan harga BBM pada Jum’at (16/1/2015) siang di halaman Istana Negara, Jakarta.
Dan terkait penetapan tersangka korupsi oleh KPK terhadap Komjen Budi yang merupakan calon Kapolri tunggal pilihan Presiden Jokowi juga cukup menyita perhatian sejumlah kalangan, termasuk media massa baik cetak maupun elektronik yang begitu massif memberitakanya. Bahkan pemberitaan tragedi AirAsia QZ8501 yang jatuh di Selat Karimata pada akhir bulan Desember 2014 juga mulai redup.
Meski sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi oleh KPK, Jokowi dan partai politik (parpol) pendukung pemerintahan Jokowi, seperti PDIP dan Nasdem tetap nekat mengajukan nama Komjen Budi sebagai Kapolri untuk menggantikan Jenderal Pol Sutarman, dan tidak segera menarik pencalonan Budi meskipun banyak pihak mengkritik sikap Jokowi dan parpol pendukungnya tersebut.
Senada dengan Jokowi dan parpol pendukungnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga tetap menyetujui pencalonan Budi sebagai Kapolri. Publik dan masyarakat bertambah geram ketika dalam fit dan proper test di Komisi III DPR RI pada Rabu (14/1/2015) serta rapat paripurna DPR RI pada Kamis (15/1/2015), pimpinan DPR RI sepakat meloloskan Budi sebagai Kapolri dengan sejuta alasan yang diungkapkan oleh anggota DPR.
Salah satu alasan yang dikatakan oleh para pimpinan dan anggota DPR adalah bahwa status Komjen Budi masih sebagai tersangka. Maka DPR menyatakan bahwa AZAS PRADUGA TAK BERSALAH harus dikedepankan agar tidak mendzalimi calon Kapolri pilihan Jokowi dan didukung penuh oleh Ketua Partai Nasdem Surya Paloh dan Ketua PDIP Megawati Soekarno Putri tersebut.
Tak hanya pemerintahan Jokowi, parpol pendukung Jokowi, para pimpinan parpol pendukung Jokowi dan juga DPR RI yang tetap ngotot memuluskan pencalonan Komjen Budi sebagai Kapolri dengan alasan bahwa yang bersangkutan baru berstatus tersangka, dan yang berhak memutuskan bersalah atau tidak adalah pengadilan, dan bukan KPK.
Media massa elektronik pendukung Jokowi seperti Metro TV juga terlihat begitu provokatif mendukung pencalonan Komjen Budi sebagai Kapolri. Metro TV yang sejak Pemilu 2014 kemarin selalu membuat pencitraan baik kepada Jokowi, seolah-olah Jokowi tidak pernah salah dan seperti Nabi inipun dalam tayangan Editorial Media Indonesia (MI) dalam beberapa hari selalu membela Komjen Budi.
Dan pada tayangan Editorial Media Indonesia (MI) pada hari Kamis (15/1/2015) pagi, secara provokatif Metro TV mengangkat judul “Menghormati Azas Praduga Tak Bersalah”, yang intinya dalam tayangan tersebut masyarakat digiring pemikirannya dan opininya agar menghormati keputusan Jokowi dan DPR yang tetap menyetujui pencalonan Komjen Budi sebagai Kapolri meskipun berstatus tersangka korupsi oleh KPK.
Tayangan Metro TV ini begitu terbalik 180 derajat ketika pemerintahan masih dipegang oleh rezim Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Saat sejumlah kader Partai Demokrat maupun menteri SBY terjerat kasus hukum dan korupsi oleh KPK, Metro TV dengan provokatif juga membuat opini pemberitaan agar SBY segera mencopot menterinya tersebut karena sudah menyandang “GELAR” sebagai TERSANGKA.
Namun disisi lain, baik DPR, Jokowi, Metro TV dan parpol pendukung Jokowi maupun media massa pendukung Jokowi juga tidak konsisten soal AZAS PRADUGA TAK BERSALAH. Jika terhadap tersangka korupsi yang mereka dukung, masyarakat dan para tokoh nasional disuruh menghormati AZAS PRADUGA TAK BERSALAH, tapi jika terhadap TERDUGA TERORISME, rezim Jokowi langsung main bunuh melalui Densus 88 Antiteror Mabes Polri.
Kasus terbaru adalah dibunuhnya seorang seorang pria di Kediri, Jawa Timur (Jatim) pada Jum’at (16/1/2015) bernama Roni (30 tahun) alias Jaka alias Fuad. Roni ditembak mati Densus 88 tanpa adanya perlawanan di Desa Krenceng, Kecamatan Kepung, Kabupaten Kediri, Jatim pada hari Jum’at menjelang siang.
Aparat kepolisian menuding Roni sebagai terduga anggota jaringan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Abu Wardah alias Santoso yang berada di Poso. Selain itu, polisi juga menuduh Roni sebagai pelaku penembakan Kapolsek Bima NTB dan Kanit Reskrim Polsek Bima NTB. Menurut keterangan warga sekitar, Roni ditembak mati Densus 88 Mabes Polri setelah pulang dari sawah, sekitar pukul 09.00 WIB.
PERTANYAAN BESAR YANG HARUS DIJAWAB OLEH DPR, Jokowi, Metro TV dan parpol pendukung Jokowi adalah, kenapa baru Roni yang baru terduga terorisme langsung dibunuh oleh Densus 88?? Dimana AZAS PRADUGA TAK BERSALAH yang digembar-gemborkan oleh DPR, Jokowi, Metro TV dan parpol pendukung Jokowi pada saat membela Komjen Budi yang merupakan orang terdekat mereka???
Apakah Roni sudah menjalani proses persidangan sebelum ditembak mati oleh Densus 88?? Apakah Roni telah diputus bersalah oleh pengadilan??? Jawabannya adalah BELUM. Lalu kenapa perlakuan dan pembelaan yang ditujukan kepada RONI dan KOMJEN BUDI berbeda??? Padahal kedua-duanya merupakan bentuk kejahatan yang digolongkan sebagai extra ordinary crime (kejahatan luar biasa).
Inilah WAJAH MUNAFIK DPR, Jokowi, Metro TV dan parpol dan para pimpinan parpol pendukung Jokowi atas nama AZAS PRADUGA TAK BERSALAH terhadap tersangka kasus korupsi dan terorisme. Sebab sejatinya, terorisme adalah PERANG MELAWAN ISLAM. Sedangkan korupsi adalah PERANG UNTUK MEMPEREBUTKAN KEKUASAAN. [Oleh: Ronin]